Meluruskan Miskonsepsi Merdeka Belajar

“Secanggih apapun kurikulum dirancang, ia hanya akan terlihat gagah di atas kertas, tetapi mandul di tangan para guru yang tidak punya kualitas dan integritas.”

Sudah sekitar dua tahun ini, sebagian besar sekolah di Indonesia menerapkan kebijakan Merdeka Belajar (Implementasi Kurikulum Merdeka), yang berpijak pada aturan yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nomor 044 Tahun 2022. Dalam beberapa kesempatan, Mendikbudristek Nadiem Makarim memberikan penjelasan bahwa Kurikulum Merdeka disusun untuk memberi keleluasaan bagi setiap sekolah untuk mendesain kurikulum operasional yang adaptif dan kontekstual sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.

Hadirnya kurikulum merdeka, selain untuk memulihkan learning loss pasca pandemi, juga merupakan jawaban atas berbagai keluhan para pelaku pendidikan, yakni bahwa selama ini kurikulum masih sarat beban dan cenderung berputar pada urusan administratif belaka. 

Untuk membantu percepatan implementasi Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek telah memfasilitasi melalui beberapa program seperti sekolah penggerak, kepala sekolah penggerak, guru penggerak, maupun organisasi penggerak. Di sisi lain, kegiatan sosialisasi, bimbingan teknis, maupun pelatihan tentang implementasi Kurikulum Merdeka juga sangat gencar dilakukan di setiap jenjang satuan pendidikan, termasuk melalui berbagai organisasi profesi guru atau komunitas guru mata pelajaran.

Berbagai ikhtiar tersebut sudah semestinya disertai harapan agar pelaksanaan kurikulum merdeka di setiap satuan dan jenjang pendidikan dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sungguhpun demikian, meski telah berjalan hampir setahun, ternyata implementasi merdeka belajar belum berjalan seperti yang diharapkan.

Salah satu yang menjadi fokus perhatian adalah masih banyak ditemukan miskonsepsi kurikulum merdeka di kalangan pelaku pendidikan, terutama para guru. Fenomena seperti ini tentunya sangat disayangkan karena dapat menjadi batu sandungan dalam penerapan merdeka belajar, mengingat guru merupakan ujung tombak bagi kesinambungan kurikulum ini. 

Setidaknya, ada lima miskonsepsi Kurikulum Merdeka yang masih sering ditemukan di lapangan.

#1 Kurikulum Merdeka dianggap sebagai tujuan akhir dalam pendidikan

Padahal, kurikulum adalah sebuah alat, rencana, cara, atau metode untuk meraih keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan. Dengan asumsi demikian, akhirnya banyak sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban, atau cukup dengan menyusun dokumen kurikulum di atas kertas belaka, sementara substansi kurikulum merdeka yang menitikberatkan pada optimalisasi tumbuh kembang potensi siswa menjadi kurang diperhatikan.

#2 Anggapan bahwa ada kriteria benar dan salah secara absolut dalam menerapkan Kurikulum Merdeka

Padahal, Kurikulum Merdeka diimplementasikan secara kontekstual sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Setiap sekolah memiliki perbedaan dalam tujuan, kebutuhan, karakter, potensi, lingkungan, termasuk dalam sarana dan prasarana, maka wajar apabila setiap sekolah menggunakan cara-cara yang berbeda yang akan memberikan hasil yang berbeda pula.

Kurikulum Merdeka akan berhasil jika sekolah mampu memfasilitasi tumbuh kembang siswa dengan berbagai latar belakang yang berbeda untuk mencapai tujuan belajarnya. Artinya, tidak ada cara yang baku dalam menerapkan kurikulum ini. 

#3 Anggapan bahwa implementasi Kurikulum Merdeka harus menungggu pelatihan dari Kemendikbudristek atau Dinas Pendidikan setempat

Asumsi ini salah besar karena Implementasi Merdeka Belajar bisa dilakukan secara mandiri atau berkolaborasi. Sekolah dapat memunculkan inisiatif untuk mengembangkan kapasitasnya secara mandiri. Peran pemerintah hanya memberikan pedoman pelaksanaan secara umum, sumber belajar, dan perangkat pembelajaran saja. 

Untuk membantu percepatan implementasi Kurikulum Merdeka, Kemendikbudristek juga telah menyiapkan aplikasi gratis dalam bentuk Platform Merdeka Mengajar (PMM) untuk mempermudah pemahaman terhadap Kurikulum Merdeka. Guru, kepala sekolah, pengawas, maupun pelaku pendidikan dapat mengakses dan mempelajari berbagai hal esensial terkait implementasi kurikulum merdeka, mulai dari perangkat ajar atau modul, buku guru dan buku siswa, bukti karya, bentuk asesmen, hingga pelatihan mandiri. 

PMM mempunyai tiga fungsi, yaitu membantu guru untuk mengajar, belajar, dan berkarya. Di dalamnya juga terdapat toolkit asesmen untuk mengukur capaian belajar siswa. Harapannya, PMM dapat menjadi referensi bagi guru dalam mengembangkan praktik pembelajaran.

#4 Anggapan bahwa Kurikulum Merdeka hanya menekankan pada pembelajaran mandiri tanpa bantuan guru

Namanya saja merdeka, berarti semua terserah siswanya. Anggapan ini jelas tidak tepat, karena kurikulum ini tetap membutuhkan sosok guru dalam memberikan bimbingan dan pengawasan siswa. Hanya saja, guru diharapkan lebih fokus untuk memberikan pembelajaran yang menarik, menyenangkan, dan bermakna sesuai dengan kebutuhan dan tujuan belajar siswa. 

#5 Pemahaman bahwa penerapan Kurikulum Merdeka membutuhkan sarana dan prasarana yang lengkap

Kurikulum Merdeka sejatinya hadir dengan memberikan ruang interpretasi bagi setiap sekolah untuk menerapkannya secara kontekstual. Sekolah dan guru bisa menerjemahkan substansi kurikulum ini secara fleksibel agar sesuai dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan sekolah.

Substansi Kurikulum Merdeka adalah pada pertumbuhan keterampilan literasi, numerasi, dan penguatan profil pelajar Pancasila, serta fokus pada materi esensial saja. Dengan tuntutan yang tidak sebegitu kompleks dibandingkan kurikulum sebelumnya, sebenarnya implementasi Kurikulum Merdeka justru lebih mudah. Hanya saja, memang dibutuhkan para guru yang kreatif dan inovatif untuk merancang berbagai pembelajaran yang sesuai dengan kodrat alam dan kodrat jaman siswa. Diakui atau tidak, dalam hal ini, sebagian besar guru Indonesia cenderung masih gagap dalam berkreasi dan berinovasi. 

Kurikulum Merdeka dirancang untuk menciptakan kemerdekaan belajar bagi siswa dan kemerdekaan mengajar bagi guru. Meskipun demikian, keberhasilan pelaksanaan kurikulum tetaplah bergantung kepada para guru. Secanggih apapun kurikulum dirancang, ia hanya akan terlihat gagah di atas kertas, tetapi mandul di tangan para guru yang tidak punya kualitas dan integritas.

Muhammad Makhdum, guru SMP di Kabupaten Tuban. 

[red/bp]

One thought on “Meluruskan Miskonsepsi Merdeka Belajar

  1. Sangat setuju, Pak Guru.
    Sebagaimana memasak, pemerintah telah menyiapkan bahan pilihan terbaik. Tinggal bagaimana guru meracik dan mengolahnya, kemudian menyajikan hidangan kepada peserta didiknya. Demi menghasilkan masakan yang istimewa, di situlah dibutuhkan keterampilan, kreativitas, dan inovasi dari seorang guru.
    Semoga lebih banyak lagi guru yang kreatif, inovatif, dan berintegritas demi mewujudkan pendidikan Indonesia lebih baik.

    Tabik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *