Melatih Jiwa Kompetitif

ghibahin

Belajar untuk bersaing juga bisa dipandang sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa depan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang.

Seorang teman dalam komunitas menulis pernah mengatakan bahwa saya “langganan juara”. Ungkapan tersebut membuat saya sejenak mengambil haluan kembali ke belakang, mengenang tentang persaingan dalam perjalanan hidup saya. 

Jika saya napak tilas kembali, sejak duduk di bangku sekolah dasar, saya tidak termasuk deretan murid-murid kebanggaan yang sering berprestasi. Bahkan, saya pernah kena hukuman berdiri di depan kelas karena belum hafal perkalian. Bukan prestasi yang patut dikenang, memang. 

Seumur-umur, kompetisi yang secara pribadi pernah saya ikuti dan menangkan, adalah lomba mengarang waktu SMA. Itu saja senangnya minta ampun, deh. Padahal hadiahnya hanya berupa karangan saya ditayangkan di mading sekolah. 

Begitulah, jiwa kompetitif saya memang berada di level rendah. Saya tidak suka berkompetisi. Bahkan setelah ikut tes Talent Mapping pun, rupanya bakat kompetitor saya berada di urutan ke-33 dari 35, dan berwarna hitam. 

Artinya, bakat bersaing saya mendekati nol. Tetapi entah kenapa, setahun belakangan ini saya suka ikut lomba menulis. Hanya lomba menulis. Meski waktu terbatas, kemampuan hasil belajar juga masih pas-pasan, tapi dengan pedenya saya tetap ikut.

Niat saya cuma satu, dengan mengikuti lomba, berarti saya dituntut untuk menyelesaikan target dalam tenggang waktu yang diberikan oleh penyelenggara. Artinya, usaha saya melatih konsistensi dalam menulis akan terpenuhi secara pasti. 

Pemahaman saya tentang persaingan berubah, saat saya mendengar ustaz anak saya di pondok mengatakan, “perlombaan ini bukanlah persaingan di antara kalian. Persaingan ini hanyalah jalan menuju kreativitas dan dedikasi dalam mencapai tujuan”. 

Saat itu, pimpinan pondok tempat anak saya belajar sedang memberikan sambutan saat penutupan acara olimpiade seni dan olah raga, dalam lingkup pondok mereka. Tentu saja, tujuan pimpinan pondok tersebut adalah agar santri-santri tidak merasa minder dan rendah diri, jika tidak mendapatkan gelar juara atau menjadi pemenang. 

Terbersit pemikiran, bahwa selama ini saya selalu mengalami ketakutan jika harus bersaing. Sebisa mungkin, saya sangat menghindari perlombaan apa pun. Belum lagi kekhawatiran yang muncul jika kecewa karena kalah saat ikut lomba. Salah satu cara saya menghindari kekecewaan adalah dengan tidak mengikuti perlombaan tersebut. 

Begitulah cara saya memandang persaingan, meski persaingan yang positif sekalipun. Namun kalimat pimpinan pondok tersebut mendorong saya mengubah mindset yang selama ini tertanam dalam diri saya. 

Dalam kehidupan pertemanan dan dunia kerja, persaingan juga merupakan hal yang sangat saya hindari. Persaingan mendapatkan promosi jabatan dari atasan, atau persaingan membentuk circle tertentu saja, adalah hal-hal yang sangat mengganggu mental. 

Terlebih, di zaman digital saat ini ada semakin banyak panggung sebagai tempat menampilkan persaingan. Persaingan yang ditampilkan di media sosial, sejatinya hanyalah sebuah jalan untuk aktualisasi diri, memenuhi keinginan untuk diakui, atau bahkan cara untuk menampilkan sisi egois kita.

Kompetisi adalah proses belajar

Tidak suka bersaing sebenarnya bukan berarti tidak mampu. Ada beberapa cara menumbuhkan jiwa kompetitif di dalam diri kita. Tentu saja rasa kompetitif yang dimaksud haruslah yang bernuansa positif, dan dapat meningkatkan kapasitas diri kita sendiri. 

Pertama, tentukan tujuan. Seperti kalimat ustaz di pondok pesantren tadi, persaingan adalah jalan menuju kreativitas. Niat melatih dan memunculkan kreativitas akan dilihat oleh orang lain sebagai persaingan. 

Dalam setiap perlombaan, misalnya perlombaan tujuh belasan, ada persaingan untuk mendapatkan posisi terbaik. Sedangkan untuk meraih posisi terbaik, dibutuhkan kreativitas yang tinggi. Bisa dibilang, tujuan awal meningkatkan semangat bersaing adalah untuk menciptakan kreativitas yang bagus, sehingga tercipta persaingan yang sehat. 

Dalam persaingan sehat, para peserta berkeinginan untuk menciptakan hal-hal yang baru, inovatif dan unik. Jika tidak mendapat posisi terbaik, alih-alih merasa marah, mereka akan mengakui bahwa karya mereka masih kurang inovatif dan unik. Perasaan sportif seperti ini tentu saja membuat kita lebih bersemangat dalam menghadapi persaingan selanjutnya. 

Kedua, tentukan target melalui persaingan. Saya sendiri telah berada di fase ini. Saya menerapkan persaingan sebagai jalan untuk mencapai target. Saat ini target saya adalah memenuhi komitmen untuk menulis minimal 2 buah karya tulis dalam jangka waktu satu bulan. 

Di sela-sela kesibukan yang padat, meluangkan waktu khusus untuk menulis secara sukarela tentu agak sulit. Belum lagi godaan bermain dengan gadget dengan alasan sambil beristirahat. Namun dengan mengikuti lomba menulis yang telah ditentukan batas waktunya, saya harus menyempatkan diri untuk menulis sebelum batas waktu berakhir. 

Menang kalah adalah urusan kedua puluh tujuh. Meski demikian, saya akan memakai waktu rehat saya, atau memaksa diri menyelipkan waktu untuk menulis. Tujuannya agar komitmen saya untuk konsisten menulis bisa tercapai, tanpa target atau batasan waktu, saya tidak akan bela-belain memakai waktu rehat saya. 

Ketiga dan terakhir, pandanglah persaingan sebagai bagian dari proses belajar. Dalam agama, belajar itu bukan hanya di masa kecil dan di ruang sekolah. Namun belajar juga bisa dilakukan dengan cara melihat pengalaman orang lain dan menilai pengalaman sendiri. 

Belajar untuk bersaing juga bisa dipandang sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi tantangan di masa depan. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang. Namun kita dapat belajar untuk mempersiapkan diri dan bersikap proaktif. 

Yang terlihat dari masa depan adalah persaingan-persaingan. Persaingan dalam mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada saat ini, persaingan untuk mendapatkan kesehatan mental, spiritual dan fisik, dan persaingan yang paling berat tentu saja adalah persaingan dengan diri sendiri. 

Pada akhirnya, diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita ingin bersaing atau tidak. Tulisan ini hanyalah uneg-uneg saya tentang persaingan. Seperti kalimat di bagian awal, saya tidak suka persaingan, namun seringkali kehidupan menuntut kita untuk bersaing.

Risnawati Ridwan, Ibu rumah tangga yang nyambi jadi abdi negara. Tinggal di Aceh.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *