Site icon ghibahin.id

Kita dan Keangkuhan yang Diam-diam

Cloud and Sky

Foto oleh Trung Nguyen dari Pexels

Apakah memang benar bahwa syukur dan angkuh itu memiliki perbedaan yang tipis?

Soto sapi plus bakso dan satu gelas es teh berhasil menyelamatkan perut saya yang sedari pagi kosong. Selembar tisu saya gunakan untuk mengelap meja yang sedikit basah karena es teh.

Lalu, saya dan dua orang teman saya ngobrol menghabiskan jeda makan siang.

Di tengah basa-basi kami mengobrol, ada satu pertanyaan yang membuat saya terhenyak. Kami membahas soal usaha sampingan atau hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Namun, sebisa mungkin saya harus tetap menguasai keadaan. Salah seorang teman saya bertanya, “Maaf ya, Mbak. Nggak tahu ini sopan atau enggak. Emang gaji Mbak di sini ga cukup? Kurang?”

Kami berada di satu lingkup pekerjaan yang sama. Dia juga tahu bahwa saya memiliki waktu yang cukup senggang.

Saya tersenyum, tipis. Pelan-pelan saya menjawabnya. Di situ saya menyadari, bagaimanapun saya menjelaskan apa yang menjadi harapan dan doa-doa panjang saya ke depan, itu tidak akan bisa disamakan dengannya. Toh, tidak mungkin menyampaikan kepadanya visi dan misi hidup saya.

“Alhamdulillah cukup, Mbak. Cukup. Saya memiliki waktu senggang, jadi mengapa tidak mencoba hal baru?” Jawaban saya singkat. Kawan saya tidak menanggapinya.

Bukan soal perkara cukup tidak cukup. Kalau dibilang kurang, ya, jelas kurang. Ini soal sifat dasar manusia yang tidak pernah puas. Tapi, lebih dari itu, ini adalah soal bertumbuh dan mencari sebaik-baiknya hal baik yang saya yakini. Banyak hal, bukan cuma “Bayaran kamu emang nggak cukup?” Ini bukan soal besaran angka yang saya terima.

Saya jadi memikirkan pertanyaan kawan saya. Bagaimana bisa dia mempunyai pikiran seperti itu. Dia pikir, karena gaji saya tidak cukup menghidupi, membuat saya begitu rakus untuk mencoba hal-hal baru. Kok, dia tidak bisa berpikir mendalam seperti saya?

Menarik napas panjang, saya menganggap pemikiran dia begitu cethek. Kok, pikiran dia sependek itu? Kok, pikiran dia sedangkal itu? Mengapa dia tidak berpikir panjang?

***

Pikiran-pikiran saya yang seperti itu mungkin menandakan kalau saya angkuh. Menganggap bagaimana bisa seseorang tidak memikirkan, oh ya, mungkin orang tersebut ingin mengeksplor hal-hal baru; oh ya, mungkin orang tersebut ingin terus meng-upgrade dirinya di waktu yang mungkin tidak ia dapatkan lagi; oh ya, mungkin memang orang tersebut ingin mengejar cuan karena suatu hal, dan berbagai jawaban panjang dan mendalam lainnya, misalnya. 

Kenapa dia tidak bisa berpikir sampai situ? Tentu karena tidak semua orang tumbuh dengan kebiasaan-kebiasaan yang membentuk kita hari ini.

Kejadian tersebut membuat saya terus berpikir, apakah kawan saya yang pemikirannya cethek atau saya yang angkuh?

Bukan hanya itu, ada kejadian lain yang membuat saya merasa begitu angkuh. Mengaku bisa berpikir mendalam padahal ada keangkuhan di dalamnya. Apakah memang benar bahwa syukur dan angkuh itu memiliki perbedaan yang tipis?

***

Saya tergabung sebagai relawan pengajar anak-anak TK dan SD di suatu tempat di Kulon Progo. Kegiatan saya di sana berlangsung setiap hari Sabtu dan Minggu. Suatu kebahagiaan yang luar biasa saya bisa sedikit berbagi dengan mereka.

Pada saat itu, hati saya sedang berantakan. Sebelumnya, saya sempat menangis di hadapan kawan baik saya, sebut saja Mbak Dina. Dia  mengajak saya untuk belajar bersama adik-adik pada hari Minggu, di tempat berbeda, dengan alasan agar saya ada kegiatan. Dengan senang hati saya mengiyakannya.

Ketika sampai di tempat, dua anak kecil menyambut kami. Mereka dandan dengan cantik. Untuk pertama kalinya, saya menginjakkan kaki di tempat dan suasana berbeda.

Suasana pegunungan sangat bisa saya rasakan. Di sana ada enam anak. Dari materi sekolah hingga belajar iqra, kami membersamai mereka. Mereka sangat antusias.

Di tempat kami belajar, ada dua orang ibu, simbah, dan seorang laki-laki yang juga termasuk kerabat dari pemilik rumah, yang kira-kira usianya hampir 30 tahun.

Kami belajar di ruang tamu, lesehan. Di sampingnya, kira-kira tiga meter dari kami, ada meja kursi. Kami belajar kurang lebih dua jam. Sepanjang itu pula, laki-laki pemilik rumah tadi setia menunggu kami di kursi panjang sambil tiduran bermain HP. Sesekali dia berbincang dengan ibu-ibu yang ada di situ. Yang masih saya ingat adalah, dia mengatakan, “Aku nang kene nunggoni wong ‘do sinau.” 

Bagaimana mungkin ketika ada tamu, tapi dia malah enak-enak tiduran di kursi? Sesekali, dia juga meledeki saya. Basa-basi klise, pada umumnya.

Selama itu pula mood saya tambah berantakan. Saya hanya tersenyum dan memikirkan bagaimana dia bisa bersikap demikian.

Kok bisa, ketika ada orang belajar dia malah tiduran menunggu kami sembari mengajak bicara anak-anak di situ? Di mana sopan-santunnya? Di mana letak rasa sungkannya? Di mana etikanya?

Saya melepas masker, dan sesekali menyeruput teh. Saya digeruduk pertanyaan oleh seorang ibu dari salah satu anak tersebut. Dari alamat rumah, jurusan sekolah, pekerjaannya apa, dan berbagai pertanyaan lain. Bahkan beberapa pertanyaan harus dijawab oleh kawan saya. Sial, batinku. Suasana hati sedang berantakan, di tempat ini keadaan saya juga semakin berantakan.

***

Kami berdua pamit pulang. Sepanjang jalan menuju tempat motor kami, saya berpikir; suatu hari, bagaimana jika saya tidak kembali ke sana hanya karena satu dua orang yang membuat saya tidak nyaman? Padahal, anak-anak di sana membutuhkan kehadiran saya. Bagaimana mungkin saya bisa jengkel pada mereka? Sedangkan kami dari latar belakang yang berbeda.

Saya merasa begitu angkuh. Angkuh karena saya tidak bisa menurunkan ego hanya karena kejadian sepele yang mengganjal di hati. Angkuh karena saya mengerti bagaimana seharusnya bersikap ketika ada tamu. Angkuh dengan segala pemikiran yang saya miliki. 

Lalu, saya menyadari bahwa kita masing-masing tumbuh pada lingkungan, latar belakang, nilai, dan pola pikir yang berbeda-beda.

Saya terlalu angkuh untuk mengakui bahwa sayalah yang seharusnya menurunkan ego. Kalau saya tidak tumbuh di lingkungan saya seperti sekarang ini, mungkin saya bisa menjadi orang yang tidur di kursi ruang tamu ketika ada banyak orang. Bisa jadi sayalah yang melemparkan pertanyaan yang menyinggung privasi orang lain. Bisa jadi saya berpikiran sependek kawan saya, bahwa hidup ini hanya soal perkara cukup dan tidak cukup atas gaji yang diterima.

Konon, padi semakin berisi, semakin merunduk. Artinya, kita mesti mampu menurunkan ego, menaruh paham ketika ada orang yang tidak sesuai dengan pola pikir kita. 

Lalu, privilese yang mana lagi, yang membuat kita angkuh dan sombong seperti sekarang ini? [red/sk-bp]

Ratna Syifa Nastiti, clouds and sky admirer.

Exit mobile version