Site icon ghibahin.id

Kesenjangan Pengetahuan yang Berisiko

Kesehatan

Foto oleh Mikhail Nilov dari Pexels

“Kesenjangan pengetahuan ini akan senantiasa menjadi masalah jika tidak pelan-pelan diatasi. Seperti kedua bapak tadi, mereka adalah gambaran masyarakat awam yang tidak paham kegawatdaruratan, apalagi tentang proses penyembuhan tulang.”

“Pak, ini seharusnya segera dibawa di Rumah Sakit, gawat kalau di rumah terus.”

Saya sudah khawatir, kondisi dehidrasi yang diderita nenek itu sudah berat. Omongannya sudah ngelantur, lemas, matanya cowong. Ketika saya cubit, kulitnya tidak kembali seperti semula. Air yang seharusnya masih ada di jaringan kulit dan lapisan di bawahnya, sudah tertarik ke pembuluh darah. 

Kompensasi itu pun belum cukup. Beliau perlu cairan lebih untuk menolongnya keluar dari kondisi kritis ini. Entah berapa tensinya, kebetulan saya tidak membawa. Mungkin sudah menyentuh angka 70 mmHg palpasi, tanda dia sudah syok. 

“Kalau dibawa ke rumah sakit? Apa tidak bahaya? Nanti malah di-Covid-kan dok.”

Terlihat keraguan di mata bapak itu. Saya sadar beliau dalam kebimbangan. Beliau juga tidak tahu bagaimana langkah yang terbaik untuk ibunya. 

“Kalau dipanggilkan mantri, terus diinfus di rumah sini, apa bisa?” beliau menyambung kalimatnya. 

Saya hanya tertegun, logika bapak tersebut memang benar. Tetapi masalah bukan hanya pada penggantian cairan. Beliau jatuh ke kondisi syok akibat kehilangan cairan lewat diarenya. Jika infeksi di sana tidak diatasi, percuma, cairan yang masuk lewat pemasangan infus hanya lewat dan akan segera terbuang juga. 

Dengan nada yang lebih tinggi, saya menyergah: “Masalahnya bukan di situ Pak, nenek perlu antibiotik lewat infus yang lebih cocok, kemarin sudah diberi antibiotik minum kan? Dan nyatanya tidak manjur.” 

“Tapi nanti malah di-Covid-kan, dok?” Bapak tersebut masih ngeyel.

Di titik itu saya sadar, ada kesenjangan pengetahuan yang lebar antara kami berdua. Dalam bayangan bapak tersebut, mungkin ibunya bisa bertahan hanya dengan cairan infus. Tapi dalam bayangan tenaga medis, ibu tersebut mungkin tidak bisa bertahan panjang jika tidak ada monitoring cairan ketat, dan bantuan pemberian antibiotik lewat akses vena. 

Dilema. Kali itu saya bisa sabar menjelaskan, tetapi ketika kondisi sudah semakin kritis, mungkin saja saya bisa mengeluarkan kata-kata yang lebih frontal. Menjelaskan bahwa keadaan tersebut mengancam nyawa. Persetan Covid, upaya penyelamatan nyawa lebih penting daripada status positif atau negatif. 

***

Pada hari lain, saya pernah bertemu bapak yang dengan entengnya minta rujukan ke spesialis ortopedi. 

“Lho kenapa kok tiba-tiba minta rujukan, Pak?” tanya saya.

Bapak tersebut menjawab enteng. “Ini dok, anak saya dua bulan yang lalu jatuh dari pohon, sekarang tangan kanannya masih susah digerakan.”

“Lho, kenapa kok baru minta rujukan sekarang, Pak?”

“Iya dok, kemarin awalnya ke sangkal putung.”

Seketika saya lemas. Dari keterangan tambahan yang saya gali pada bapak tersebut, anaknya mungkin mengalami patah tulang selangka. Beliau mengaku, jika awalnya ingin ke dokter langsung, namun, tetangga dan kerabat disekitarnya membuatnya ragu. 

Alih-alih mempercayakan kesembuhan anaknya kepada tenaga medis, bapak tersebut nekat membawa anaknya ke sangkal putung di luar kota. 

Dan asal Anda tahu, sangkal putng yang beliau pilih berada di pusat kota di lain propinsi. Dengan kata lain, bapak tersebut sudah menghabiskan banyak rupiah untuk biaya transportasi dan lainnya. 

Padahal, jika beliau mau membawa ke dokter, dan segera ditangani, mungkin sekarang kondisi anaknya sudah jauh lebih baik. Tinggal beberapa bulan lagi menuju kesembuhan.

Namun karena keputusan sebelumnya, dan kenyataan di bulan kedua belum ada perbaikan, mungkin tulang tersebut belum menyambung, atau menyambung dalam posisi yang salah. Langkah perbaikan menjadi normal kembali akan memakan waktu yang lebih lama.

Sekali lagi, hal tersebut terjadi karena adanya kesenjangan pengetahuan. Yang menurut bapak tersebut biasa, padahal menurut tenaga medis, itu adalah hal yang seharusnya tidak boleh terjadi. Bagaimanapun, tangan merupakan fasilitas dari Tuhan supaya manusia bisa berdaya dan bermanfaat. 

Tidak terbayang bukan, jika tangan anak tersebut tidak bisa kembali ke normal? Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan pekerjaan dan keluarganya kelak?

Pun, karena sudah telat dan bapaknya terlihat merasa baik-baik saja dengan anaknya. Saya hanya bisa mengatakan hal seadanya tentang pemeriksaan dan terapi yang mungkin anaknya jalani nanti. 

***

Entah, jika saya sendiri bukan tenaga medis, mungkin saya juga akan terjebak dengan asumsi-asumsi beresiko seperti kedua bapak di atas. Memang lebih mudah mendengarkan pendapat awam daripada pendapat tenaga medis yang seringnya malah bikin ketakutan.

Pesan berantai di media sosial dan argumen-argumen marketing pengobatan alternatif memang seringkali membuat terjerumus. Apalagi anggapan bahwa datang ke rumah sakit malah memicu ketakutan dan sakit yang lebih parah, membuat pendekatan dari sisi medis terasa susah dijalankan di masyarakat. 

Dalam titik ini, saya hanya bisa berdoa dan konsisten ikut mengenalkan. Kesenjangan pengetahuan ini akan senantiasa menjadi masalah jika tidak pelan-pelan diatasi. Toh tidak ada yang bisa sepenuhnya disalahkan. Seperti kedua bapak tadi, mereka adalah gambaran masyarakat awam yang tidak paham kegawatdaruratan, apalagi tentang proses penyembuhan tulang. 

Selain itu, tenaga medis juga terkesan memberi jarak. Mungkin mereka juga sedang sibuk karena tugas di fasilitas kesehatan yang tidak ada habisnya. 

Jadi, siapa yang patut disalahkan? Entah, masih sebuah dilema.

Prima Ardiansah, Dokter internship di RSU Aisyiah Ponorogo dan Puskesmas Jenangan Ponorogo.

Exit mobile version