Kepepet Adalah Koentji Menggali Potensi Diri

kepepet runner

Perempuan bertubuh mungil berotot yang langganan juara lomba lari itu, ternyata tidak terlahir dengan kesehatan sempurna. Justru sebaliknya, sejak bayi ia sudah menderita asma yang sering menghadiahinya sesak napas.

Pemicunya bermacam-macam. Alergi debu, cuaca yang kurang bersahabat, makanan, dan masih banyak lagi. Saking seringnya terserang sesak napas, ke mana pun ia pergi, inhaler asma tidak pernah lupa dibawa. Benda lain boleh ketinggalan, inhaler asma jangan. Kondisi ini terus berlanjut hingga ia dewasa.

Suatu ketika, sang ibu memperingatkan. Kondisi buruk ini akan berlanjut seumur hidup, jika orangnya tidak mau berubah, dan tidak mau berolahraga. Merasa kepepet, akhirnya Debby Meylia pergi ke trek lari. Di sana, ia hanya sanggup lari sejauh beberapa ratus meter sebelum terpaksa berhenti karena ngos-ngosan kehabisan napas.

Orang lain mungkin akan berpikir, ah olahraga lari tidak cocok untukku. Aku mau lanjut rebahan saja. Namun bagi seorang Debby, berhenti bukanlah pilihan. Kalau ia berhenti, serangan asma seumur hidup sudah siap menanti. Merasa kepepet, Debby pun terus berlari, bersama pelatih dan teman-temannya.

Sang Waktu akhirnya mengungkap rahasia. Berlari merupakan jalan hidup Debby Meylia. Betapa tidak, dalam waktu yang terhitung singkat, perempuan yang langganan sesak napas ini menjelma menjadi atlet lari yang langganan juara. Tanggal 11 Oktober 2021 lalu Debby berlari sejauh 42,195 kilometer dalam Boston Marathon, Amerika Serikat, dan berhasil finish dalam 3 jam 38 menit saja.

Obat asmanya kini hanya menjadi pajangan, bersama dengan berbagai medali dan piala juara yang ia raih.

Berawal dari kepepet, kini Debby menjadi inspirasi bagi banyak orang. Sebelum pandemi, ia sering berkeliling ke berbagai tempat untuk berbagi kisah. Mendengar kisahnya yang from zero to hero, siapa yang tidak tergugah? Berangkat dari kondisi sakit-sakitan hingga meraih prestasi di bidang olahraga lari yang jelas menuntut stamina serta fisik yang prima.

Kepepetnya Debby Meylia berbeda dengan saya. Hasil akhirnya apalagi. Ia juara, saya pelari hura-hura. Namun bicara soal kepepet, kami bisa dibilang hampir sama. Bedanya, Debby ingin bebas dari penyakit asma. Sedangkan kepepetnya saya sederhana saja, ingin kurus tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.

Pernah saya mengunjungi seorang kenalan yang baru saja melahirkan, di rumah sakit bersalin. Kenalan saya ini yakin bisa kembali langsing usai hamil dan melahirkan, dalam waktu relatif singkat. Pasalnya, klinik kecantikan anu menawarkan paket istimewa. Paket sekian kali treatment peluruh lemak dibandrol dengan harga sekian puluh juta. Kata kenalan saya, “Aku mau ambil paket itu aja.”

Rasanya saya ingin copy and paste, kalau bisa. Masalahnya, puluhan juta rupiah itu entah bagaimana cara paste-nya.

Setelah hamil dan melahirkan, berat badan saya tidak bisa kembali seperti semula. Diet juga tidak berhasil karena saya pada dasarnya doyan makan. Jika harus mengurangi porsi makan, saya pasti stres. Jika stres, kasihan anak saya dong. Masak ia diasuh dan dibesarkan oleh seorang ibu yang stres. Kesehatan mental itu kan sangat penting.

Satu-satunya cara, ya, olahraga. Namun, lagi-lagi, karena keterbatasan dana, tidak banyak jenis olahraga yang bisa saya pilih. Kalau mau rutin olahraga di gym misalnya, saya harus membayar biaya pendaftaran dan iuran bulanan yang tidak bisa dibilang murah. Sama halnya jika ingin berlatih yoga dan pilates di studio. Saya tidak sanggup.

Lari menjadi satu-satunya pilihan. Bisa dibilang, pelari pemula cukup satu kali mengeluarkan uang untuk membeli sepasang sepatu lari, dan celana khusus untuk lari. Pilih saja produk yang harganya terjangkau.

Kaos atau jersey lari bahkan tidak perlu dibeli, karena bisa didapat jika kita ikut race. Tinggal pintar-pintarnya kita memilih race yang penyelenggaraannya bagus, kaosnya juga bagus, dan biaya pendaftarannya tidak mahal.

Awalnya saya memang memilih olahraga lari karena ingin kurus dan biayanya paling murah. Namun lama-lama saya jatuh cinta pada olahraga yang satu ini. Saya sangat menikmati setiap menit berlari di udara terbuka, merasakan hembusan angin sambil melihat pemandangan.

Lambat laun tujuan saya berubah. Persetan dengan menjadi kurus! Saya ingin jadi marathoner! Saya ingin bisa berlari sejauh 42,195 kilometer dalam waktu kurang dari 7 jam.

Mulanya ibu saya ngeri mendengarnya. Lha jarak Muntilan-Jogja yang sekitar 26 kilometer saja dirasa jauhnya ampun-ampunan dan harus ditempuh naik mobil. Ini anaknya mau menempuh jarak 42 kilometer kok pakai kaki, kan gila namanya! “Jangan aneh-aneh. Kalau ikut race yang 10 kilometer saja. Itu juga sudah jauh banget.”

“Nggih, Bu,” jawab saya cekak. Itu pun dalam hati.

Supaya ibu saya tidak ngeri, saya tidak banyak bercerita tentang kegiatan lari. Baru cerita saat race-nya sudah selesai dan saya dalam kondisi baik-baik saja. Perlahan tapi pasti, ibu saya tidak khawatir lagi. Ia percaya bahwa anaknya tidak ugal-ugalan. Kalau mau ikut race 21 atau 42 kilometer, latihan dan persiapannya minimal 3 bulan.

Maraton pertama saya tempuh di Jakarta tahun 2016, dalam waktu 6 jam 49 menit. Mepet, tapi tidak sampai melebihi batas waktu 7 jam. Maraton keenam kembali saya tempuh di Jakarta bulan Oktober 2019 lalu, dalam 5 jam 17 menit. Itu catatan waktu terbaik saya. Yang ketujuh saya tempuh tiga minggu kemudian di Borobudur, bulan November 2019, dalam waktu 5 jam 50 menit.

Berikutnya, saya ingin mencoba mendaftar untuk Tokyo Marathon 2023 atau 2024. Tergantung kapan pandemi usai. Semoga bisa mendapatkan ballot entry, dan finish sebelum 5 jam. Ganbatte kudasai!

Lari telah membuka mata saya. Bahwa potensi manusia itu tidak terbatas, dan selalu bisa meningkat serta berkembang jika diasah dan dilatih terus-menerus. Dan semuanya itu berawal dari kepepet ingin kurus tapi nggak punya duit.

Santi Kurniasari, Marathoner, ibu rumah tangga yang suka berlari, menulis, dan menyanyi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *