Keluar dari Toxic Relationship

Esai

“Tidak semua pasangan memiliki hubungan yang sehat. Ada juga yang memiliki hubungan toxic, dan hanya takut kesepian tanpa mempedulikan kesehatan mental.”

Kisah toxic relationship di bawah ini saya dapatkan dari sahabat saya. Ada orang yang merasa hampa jika tidak memiliki pasangan. Mungkin itu yang dirasakan sahabat saya ketika dia tidak memiliki pacar. Mindset seperti itu yang mendorong Dini, sahabat saya, untuk mencari pacar, agar dia tidak merasa hampa dan merasa memiliki orang yang sayang dan tulus kepadanya.

Dini selalu berjuang setiap kali hubungan dengan pacarnya bermasalah. Tidak peduli siapa yang memulai, Dini-lah yang selalu memohon-mohon dan meminta agar hubungan mereka tidak berakhir. 

Pada dasarnya, di dalam suatu hubungan, kedua orang yang terlibat harus saling memberi, menghargai, dan menyayangi. Sementara Anton, pacar Dini, tidak pernah melakukan itu. Lain halnya dengan Dini yang selalu memberi kabar setiap kali hendak pergi, menanyakan makan apa hari ini, hingga mengatakan I love you setiap pagi. 

Respon yang Dini dapatkan dari pacarnya bukanlah sikap romantis atau pujian, melainkan sebaliknya. Dia dihujat alay, serta dicap sebagai pacar yang sering mengekang dan selalu merepotkan. Tak mau memperbesar masalah, Dini pun membalasnya dengan candaan, agar nantinya tidak ada masalah yang timbul di dalam hubungan mereka. 

Saya merasa sangat muak melihat perlakuan si pacar terhadap sahabat saya. Namun apa daya, bukan saya yang menjalani hubungan itu. Di samping itu, memang Dini-lah yang selalu ingin mempertahankan hubungan tersebut, dengan alasan sayang dan takut kesepian jika pacarnya tidak ada di sisinya. 

Dalam hati saya timbul pertanyaan, mungkinkah kekasih Dini merasakan hal yang sama? Apakah usaha yang selama ini Dini lakukan akan mengubah sifat pacarnya itu?

Saya tidak yakin.

Tak terasa, hubungan mereka sudah berjalan satu tahun lamanya. Seperti biasa, selalu Dini yang bucin, tetapi pacarnya sama sekali tidak. Pernah, satu kali saya melihat Dini dimaki dengan bahasa yang kasar, dan dipukul kepalanya di depan umum. Namun respon Dini tetap santai dan tidak membalas dengan perbuatan dan perkataan apapun. Rasanya, jika saya yang diperlakukan seperti itu, akan saya tonjok mukanya. Saya juga akan menjauh agar lelaki sampah seperti itu tidak muncul lagi di hadapan saya.

Saya teringat akan ungkapan seorang motivator di Instagram, “If you don’t find happiness with him, don’t hesitate to leave and look for your happiness that may come from yourself.” “Jika kamu tidak menemukan kebahagiaan bersamanya, jangan ragu untuk pergi dan mencari kebahagiaanmu yang mungkin datang dari dirimu sendiri.” Walaupun itu tidak spesifik ditujukan untuk satu orang, menurut saya kalimat itu sangat relate dan cocok untuk sahabat saya, Dini.

Lalu, apa yang harus dilakukan agar bisa keluar dari toxic relationship? 

Keluar dan pergi dari toxic relationship tidaklah mudah. Menurut seorang psikolog yang bernama Jennyfer, meninggalkan toxic relationship itu sulit karena adanya traumatic bonding. Kondisi ini terjadi saat sesorang terus membangun ikatan dengan orang yang telah melakukan tindak kekerasan maupun pelecehan terhadap mentalnya. Keinginan untuk bertahan ini biasanya didasari oleh rasa simpati dan kasih sayang terhadap pasangan yang berlebihan. 

Beberapa tanda adanya traumatic bonding di dalam toxic relationship:

  1. Mencoba menutupi tindakan pelaku kekerasan fisik/mental dari orang lain.
  2. Membela pelaku dan menjauhkan diri dari orang-orang yang hendak memberi bantuan.
  3. Keberatan/rasa takut yang berlebihan untuk meninggalkan pasangan toxic meskipun sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban.

Dari situ Dini mulai memahami dan sadar bahwa hubungan toxic yang selama ini ia pertahankan membawa dampak buruk bagi dirinya. Dini merasa bahwa jika hubungan ini dilanjutkan, ia akan lebih sulit pergi karena rasa sayang kepada pacarnya akan bertambah besar. Sejak saat itu, Dini mencoba mencintai dirinya sendiri. Ia juga fokus memikirkan kehidupan serta kesehatan mentalnya di masa mendatang. 

Dalam proses keluar dari toxic relationship, Dini tidak sendiri. Beberapa kali saya menemani Dini untuk konseling ke psikolog. Di sana, Dini bebas bercerita dari awal hingga adanya toxic relationship di dalam hubungannya. Psikolog selalu siap sedia mendengarkan cerita Dini, dan membantu memberi solusi tanpa menghakimi.

Sebagai sahabat, saya bersyukur bisa menemani Dini dalam proses itu. Upaya Dini untuk keluar dari toxic relationship ternyata tidak perlu waktu lama. Setelah beberapa kali konseling ke psikolog, Dini sudah bisa menerima dan menyadari bahwa sebesar apapun rasa sayang dan cinta kita terhadap seseorang, kita juga pantas untuk bersama dengan orang yang bisa menghormati, menghargai, dan menyayangi kita dengan tulus. 

Akhirnya Dini berhasil pergi dan keluar dari hubungan yang toxic itu. Setelah keluar dari toxic relationship, ia lebih mencintai dirinya sendiri. Ia tidak lagi mengemis-ngemis cinta kepada orang yang tidak tulus kepadanya. Dini merasa orang yang tulus mencintainya akan datang tepat pada waktunya. Tentang cinta, Dini sudah tidak seambisius dulu lagi.

Melalui pengalaman yang dialami Dini, saya merasa mendapatkan pelajaran berharga. Saya jadi bisa menata mindset tentang bagaimana nantinya saat saya membangun hubungan dengan seseorang. Saya pun berjanji kepada diri sendiri, untuk tidak ragu keluar dari toxic relationship

Deby Juni Sulistiyowati, mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta, tinggal di Madiun.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *