Kekerasan Emosi Mematahkan Harapan dan Masa Depan

Kekerasan emosional, apa pun bentuknya, memiliki dampak yang tidak boleh kita remehkan.

Perundungan telah banyak memakan korban, tetapi belakangan justru semakin marak dan viral. Perundungan juga tidak melulu berupa tindakan kekerasan yang menyebabkan luka fisik pada korban saja, tetapi juga menyebabkan luka batin.

Ketika perundungan menyebabkan luka batin, proses pemulihannya membutuhkan waktu yang panjang,  bahkan mungkin seumur hidup. Perundungan macam inilah yang biasa disebut sebagai kekerasan emosional. Inilah “luka tumpul” yang tak terlihat oleh mata, juga tidak berdarah-darah, tetapi bisa menghancurkan mental seseorang.

Kekerasan yang samar-samar

Kekerasan emosional biasanya menyasar perasaan dan karakter korbannya. Memang, tubuh korban tampak baik-baik saja, akan tetapi hancur dari dalam. Perundungan yang melibatkan kekerasan emosional, jika dilakukan terus-menerus, bisa mematahkan harapan korban dalam mewujudkan impian dan masa depannya. 

Kekerasan emosional sebenarnya terlihat sederhana, misalnya berupa penghinaan, pengabaian, tatapan kebencian, atau sikap penolakan atas keberadaan korban. Dalam bukunya yang berjudul Kintsugi, Tomas Navarro, seorang psikolog, mengatakan bahwa luka yang disebabkan oleh bentuk-bentuk kekerasan emosional adalah luka paling buruk dan terpedih bagi korban perundungan. 

Kekerasan emosional adalah kekerasan yang cenderung lebih halus, lebih sulit diidentifikasi dari kekerasan fisik. Kita sering tidak ngeh saat kekerasan ini sedang berlangsung di sekitar kita. Hubungan antara pelaku dan korban juga biasanya memiliki hubungan yang cukup dekat, bisa terjadi di antara rekan kerja di perkantoran, antara orang tua dan anak, hubungan pertemanan, atau bahkan pasangan. 

Pada pasangan kekasih, kekerasan emosional bisa terlihat pada pengulangan kalimat semacam, “Aku ingin hidup denganmu, tapi….” Sepintas, kalimat ini terdengar baik-baik saja, tetapi sebenarnya mengandung kritikan. Kalimat ini sesungguhnya adalah pernyataan yang mengontrol dan memanipulasi pikiran, sehingga korban merasa dirinya tidak layak dan tidak berharga.

Dalam pasangan, kekerasan emosional juga bisa berupa sikap merendahkan, meremehkan, mengintimidasi, cemburu yang berlebihan, atau mengabaikan keberadaan korban. Kekerasan emosional cenderung membuat korban merasa bingung, dan perlahan membuat korban kehilangan rasa percaya dirinya.

Dampak kekerasan emosional

Dengan seringnya kasus perundungan terekspos akhir-akhir ini, sebaiknya kita bersikap lebih waspada. Penting untuk mendeteksi secara dini adanya tanda-tanda terjadinya kekerasan emosional di lingkungan sekitar kita sendiri. Kekerasan emosional, apa pun bentuknya, memiliki dampak yang tidak boleh kita remehkan, mulai dari hilangnya kemampuan bersosialisasi, gangguan stres pasca-trauma, depresi, hingga kecenderungan bunuh diri. Banyak dari kita yang belum mengetahui bahwa mengalami kekerasaan emosional bisa membuat hidup seseorang menjadi lebih rapuh. Faktanya, depresi yang disebabkan kekerasan emosional dapat menghancurkan harapan hidup seseorang. 

Seseorang yang mengalami depresi lebih banyak menghabiskan energi untuk sekadar bertahan hidup. Pemahaman mengenai bertahan hidup jelas berbeda dengan menjalani hidup. Korban melewati hari-hari dengan tenggelam dalam ketakutan, di antaranya juga rasa khawatir berlebihan atas reaksi yang akan diterima dari lingkungan sosial tempat ia tinggal. Tidak ada yang tersisa selain mata yang sayu, serta pikiran yang lumpuh dan tidak berdaya.

Bantuan untuk korban perundungan

Untuk mengatasi dampak buruk kekerasan emosional, kita bisa mencari dukungan dari orang lain. Setidaknya, dukungan orang lain dapat mengurangi efek jangka panjang dari kekerasan ini. Dengan mendapatkan dukungan dari orang-orang yang tidak menghakimi, proses pemulihan mental bisa berlangsung lebih lancar. Jika memungkinkan, korban dapat bergabung dengan komunitas atau sekelompok orang dengan pengalaman yang sama. 

Selain itu, aktif bergerak dan berolahraga secara rutin dapat membantu mengurangi risiko depresi. Berolahraga menghasilkan hormon endorfin, sehingga membuat tubuh lebih segar dan pikiran lebih rileks. Dengan berolahraga, tidur juga menjadi lebih nyenyak, sekaligus mengurangi risiko gangguan tidur. 

Menarik diri dari lingkungan sosial bukanlah jawaban, justru memperbesar risiko korban mengalami depresi. Korban kekerasan emosional justru harus terus berkumpul bersama teman-teman yang baik, atau keluarga yang peduli dan bisa memberikan semangat untuk terus hidup. Selain itu, membicarakan hal-hal positif bisa memberi semangat bagi korban agar mau memperjuangkan impian dan masa depannya, juga menciptakan rasa optimis terhadap harapan untuk bangkit dari keterpurukan. 

Korban kekerasan emosional cenderung memiliki pola makan yang tidak teratur sehingga memberikan efek buruk bagi kesehatan tubuh mereka. Pola makan yang teratur dan mengonsumsi makanan bergizi dapat meminimalisir perubahan suasana hati. Selain itu, beberapa teknik relaksasi bisa dilakukan, seperti menghirup aroma therapy, mendengarkan musik, yoga, dan meditasi. Teknik relaksasi ini mampu mengurangi stress, menciptakan sensasi ketenangan, dan membantu korban fokus dalam berpikir. 

Jika usaha-usaha tadi belum merasakan adanya perubahan, sebaiknya berkonsultasilah kepada tenaga profesional. Bantuan profesional adalah bagian utama yang terpenting dalam penanganan gangguan kesehatan mental.

Oleh sebab itulah, korban kekerasan emosional membutuhkan energi dan dukungan lebih besar, untuk memperjuangkan keberlangsungan hidup mereka. Kita semua tentu berharap mereka mampu bangkit dari keterpurukan. Sudah sepatutnya bagi kita untuk memberikan dukungan-dukungan yang menguatkan mereka, sehingga mereka mampu mewujudkan indahnya masa depan.

Arum Weni Abygail, entrepreneur, tinggal di Pontianak.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *