Site icon ghibahin.id

Kegelisahan Tentang Kemudahan Berutang dan Teror Debt Collector 

Debt Collector

Foto oleh Shazaf Zafar dari Pexels

Dibutuhkan aturan serius, berkenaan dengan perilaku oknum debt collector eksternal yang lebih mirip preman daripada penagih utang.”

Bagi saya, di dunia ini ada tiga hal yang benar-benar mengganggu kenyamanan orang hidup, yaitu lalat, orang ketiga pengganggu rumah tangga, dan debt collector. Tentu sebagian besar dari Anda pernah tahu bagaimana rasanya diteror oleh penagih utang padahal bukan kita yang meminjam. 

Nah, keresahan semacam ini masih merajalela. Bahkan tak cuma versi online-nya, versi offline pun ada. baik internal maupun eksternal. Iya, Anda nggak salah baca. Debt collector dengan embel-embel eksternal—sudah mirip hard disk aja pakai eksternal segala. Nama yang kebarat-baratan itu nggak membuatnya berbeda dari debt collector pada umumnya. Intinya sih tugasnya adalah sebagai preman bayaran eh penagih utang. 

Dalam keadaan ekonomi serba sulit, sebagian orang akan memandang pinjaman online dan jasa pembiayaan lain menjadi secercah harapan. Sebuah solusi instan yang cukup mudah untuk diakses saat ini. Walaupun begitu, pinjaman untuk kebutuhan primer seperti pendidikan, masih lebih bisa dimaklumi dibandingkan dengan pinjaman untuk hal yang nggak penting. Namun, apakah jasa pembiayaan selalu memiliki peran bak malaikat penolong? Menurut saya, tidak. 

Perlu saya jelaskan dulu bahwa saya bukanlah pegiat antiriba. Kegelisahan saya muncul ketika saya melihat betapa maraknya reklame jasa pembiayaan. Syaratnya pun biasanya sangat mudah. Tawaran untuk berutang bisa muncul dan menggoda siapapun lewat berbagai media. Misalnya saya, sebagai seorang penjual produk teh pabrikan di lokapasar Shopee.

Belakangan saya perhatikan meningkatnya pembelian menggunakan Shopee Paylater. Ada banyak pembeli yang untuk membeli satu pack teh seharga Rp 30.000,00 menggunakan jasa pembiayaan dari Shopee tersebut. 

Itu baru Shopee Paylater. Belum lagi EasyCash, AdaKami, KreditPintar, Indodana, Adira, dan sederet nama lain yang inti bisnisnya adalah sebagai penyedia jasa pembiayaan. Kalau masalah pinjam meminjamnya, saya nggak terlalu ambil pusing. Toh, selain untuk pengembangan usaha rasanya saya nggak berminat sama sekali untuk mengajukan pinjaman. Namun masalahnya, nggak harus punya pinjaman untuk bersinggungan dengan pihak penyedia jasa pembiayaan. 

Jika Anda tinggal di Gotham City of Yogyakarta, Babarsari, adegan action berupa pepet-pepetan motor antara rombongan debt collector eksternal dengan targetnya adalah hal yang biasa. Kadang, memang si target merupakan pelaku pengemplang utang terhadap perusahaan leasing.

Namun, ya nggak selalu begitu. Kadang, yang menjadi target bukan si pengendaranya, tapi motornya saja. Sementara si pengendaranya bisa saja cuma orang yang apes, nggak tahu kalau motor yang sedang dikendarai sudah jadi target operasi dari para debt collector eksternal. 

Saya pernah menyaksikan orang dipepet oleh debt collector di jalan raya. Waktu itu saya melihat, seorang pria yang motornya diminta paksa. Apakah baku hantam atau si mas menyerah pasrah memberikan motornya? Saya nggak berhenti untuk lanjut memperhatikan peristiwanya. Apalagi, sebagai orang yang saat itu tak terlibat utang, saya sungguh nggak relate dengan korban dari peristiwa sita paksa tersebut. 

Di hari lain, saya kembali menyaksikan seorang ibu berdaster yang juga dipepet debt collector di jalan raya. Rasanya tak bisa membayangkan jika suatu hari kejadian semacam itu –dipepet preman– terjadi pada saya. Walau, ya bisa juga si ibu lalai tak membayar cicilan tepat waktu. Tapi bukankah menyita kendaraan di pinggir jalan adalah perbuatan yang tak sesuai dengan SOP penagihan dalam dunia leasing

Pada akhirnya, semesta membuat saya bisa relate dengan para korban dari ulah oknum debt collector eksternal. Begini ceritanya. Beberapa waktu lalu kerabat saya mengalami sendiri bagaimana diciduk paksa oleh debt collector eksternal, saat sedang berada di kios buah. Kerabat saya ini seorang ibu yang sudah punya cucu. Ia sedang khusyuk memilih buah-buahan saat tiba-tiba beberapa oknum berpenampilan seram, mendekati dan mengerubunginya. 

Siang itu, ia dipaksa ikut ke kantor leasing dengan cara diboncengkan oleh salah satu debt collector eksternal. Sedangkan motornya, yang kata para debt collector eksternal itu sudah menjadi target operasional, dikendarai oleh salah satu dari para penyergap itu.

Di sini letak kelemahan posisi kerabat saya. Motor miliknya ternyata sudah dijadikan sebagai jaminan atas utang orang tak dikenal. Ceritanya bisa terlalu panjang jika saya tuliskan. Yang jelas nama kerabat dan nama peminjam yang disebutkan debt collector eksternal tak sama. 

Kerabat saya terlalu terkejut untuk berpikir nalar, bagaimana bisa motornya dijadikan jaminan utang oleh orang yang tak dikenalnya. Saudara bukan, tetangga juga bukan. Singkat cerita. Siang itu kerabat saya mengalami hal traumatis. Motornya akhirnya disita.

Peristiwa yang menimpa kerabat saya itu, membuat saya sadar bahwa siapa pun bisa saja menjadi korban sita paksa. Dan saya tak mengada-ada. Dalam lingkup kecil saja, lewat unggahan member grup Info Cegatan Jogja (ICJ), jika Anda browsing dengan kata debt collector, akan bermunculan berbagai kasus serupa dengan yang dialami kerabat saya. 

Tentu saja, marah kepada si pengutang sialan yang membebankan akibat dari kelalaiannya ke orang lain itu sudah jelas. Namun, yang kedua, dibutuhkan aturan serius, berkenaan dengan perilaku oknum debt collector eksternal yang lebih mirip preman daripada penagih utang. Kalau nggak ada aturan serius yang disosialisasikan, bisa-bisa model sita paksa bar-bar akan terus terjadi di jalanan. Apalagi saat ini perusahaan leasing online maupun offline benar-benar menjamur. 

Perlu SoHib ketahui bahwa penarikan kendaraan oleh pihak perusahaan leasing memang diperbolehkan, jika terjadi keterlambatan cicilan sesuai kesepakatan (cidera janji). Namun, bukan sembarang pepet, lalu diminta paksa. Oh, tidak seperti itu caranya, Bung!

Saya melansir dari situs djkn.kemenkeu.go.id, disebutkan bahwa ada 4 syarat untuk menarik kendaraan. Debt collector entah internal atau eksternal harus membawa kelengkapan berikut untuk bisa menarik kendaraan: 1. Adanya sertifikat fidusia. 2. Surat kuasa atau surat tugas penarikan. 3. Kartu sertifikat profesi. 4. Kartu Identitas.

Sayangnya, pengetahuan seperti itu kadang tak diketahui oleh orang banyak. Kalau kendaraan sudah hilang, kepada siapa harus mengadu? Balik ke kantor leasing lagi dan mencak-mencak membawa penasihat hukum, juga mustahil menjadi pilihan bagi jelata yang jelita seperti kerabat saya. 

Pada akhirnya, teriak-teriak minta tolong di jalan raya menjadi solusi paling efektif seperti yang disarankan para member ICJ. Maklumlah, hidup di negara ini, memang diharapkan terlatih mengandalkan bantuan dari sesama warga negara. Dikuntit debt collector eksternal adalah hal meresahkan dan nggak perlu dialami oleh siapa pun, cukup kerabat saya saja, Anda jangan. 

Lalu, bagaimana dengan teror debt collector online yang masih saja menyasar secara acak ke nomor-nomor pribadi? Sama saja, hadapi sendiri. Anda dan saya memang diminta untuk tabah dan berani menghadapi masalah yang seharusnya tidak menjadi permasalahan kita. Meminjam lirik lagu Tulus, “Manusia-manusia kuat, itu kita.” (red/rien)

Butet RSM, Ibu tiga anak yang tinggal di Bantul.

Exit mobile version