Kebhinekaan yang Kadang Terasa Semu

“Apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberi panggung seorang anak bersuku Jawa memang patut dikritisi. Tapi bukan karena anak itu berasal dari suku Jawa.”

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah esai di Ghibahin.Id yang ditulis oleh Syadza Z. Nufus dengan judul “Hari Merdeka, Farel, dan Pertanyaan tentang Keberagaman Indonesia”. Lewat esai itu, saya melihat kegelisahan Syadza soal kebhinekaan dan nasionalisme. Syadza juga memberi beberapa contoh, bagaimana masyarakat dan bahkan pejabat menunjukkan identitas kesukuannya alih-alih identitas yang lebih nasionalis. 

Beberapa hal yang digelisahkan Syadza pernah juga menjadi hal yang membuat saya resah. Narasi seperti yang ia tulis dalam esainya adalah narasi yang tak asing buat saya yang lahir dalam keluarga Batak-Jawa. Sama sepertinya, saya pun hingga kini nggak bisa ikut tertawa saat keluarga besar bapak berkumpul dan terkekeh dengan candaan berbahasa Batak. Bapak saya pun sempat disalah-salahkan karena tidak berhasil mengenalkan anak-anaknya dengan bahasa Batak.

Saya juga pernah mengalami sikap tidak menyenangkan dari beberapa orang dengan fanatisme berlebihan ke sukunya. Saat itu, saya dicibir karena tak bisa berbahasa Batak. Ketika saya menjelaskan bahwa ibu saya seorang Jawa tulen, eh ya malah ada yang meledek.

Kadang, ya nggak terlalu saya pikirin kalau sikap dan ujaran nyelekit soal suku itu muncul dari luar keluarga. Tapi saat munculnya dalam keluarga (dan pernah terjadi di saat saya masih SD), hal itu membekas betul sebagai luka dalam ingatan.

Masalah ledek-ledekan berbau SARA tadi, tak hanya saat saya mencoba masuk ke sirkel suku bapak saya saja. Kejadian serupa juga saya alami saat saya membaur ke sirkel suku dari ibu saya. Label-label galak, judes, suara keras, hingga ledekan soal kuatnya patriarki dalam keluarga Batak kadang jadi bahan ledekan juga. Saya pun kadang nggak nyaman dengan ledekan-ledekan yang keterlaluan. Namun, kadang, supaya si peledek segera berhenti menghina, saya malah ikut pula meledek bapak saya. Hahaha. Nggak asertif, ya?

Tapi begitulah hal yang saya alami sebagai anak berdarah Batak dan Jawa. Kata orang, punya keluarga berdarah campuran itu asyik. Kenyataannya, dalam sebuah keluarga, seringkali muncul ego ketika sudah menyangkut adat dan budaya. Kadang, saat orang-orang dewasa di sekitar saya khilaf, ujaran-ujaran mereka pun melebar. Tak jarang, orang dewasa di sekitar saya dulu GR bahwa mereka adalah suku terbaik.

Kenangan-kenangan kurang menyenangkan yang hadir di keluarga saya membuat saya memahami kemuakan Syadza yang tersirat dalam tulisannya tentang glorifikasi salah satu suku. Mungkin hal yang tersirat itu merupakan akumulasi pengalaman yang kurang menyenangkan saja. Mirip dengan yang saya alami dan rasakan di masa kecil.

Di masa remaja, saya sempat enggan menyebut diri saya dari suku mana. Muak rasanya saat terbayang sinisnya perkataan orang yang menghina kedua suku yang gennya mengalir dalam tubuh saya. Mau ngaku dari suku mana aja, sama, kok. 

Saya pun bertanya-tanya, apakah benar sentimen soal suku terjadi semata karena pembangunan yang kurang adil dan merata? Atau, lebih kompleks dari itu, soal fanatisme terhadap suku sebenarnya masih dipelihara diam-diam dalam ruang-ruang keluarga. Seperti yang saya alami itu.

Di ruang-ruang pribadi masih banyak yang memelihara kejumawaan identitas SARA-nya dengan alasan mengenalkan anak pada identitasnya. Atau, sebenarnya keduanya saling terkait dan membuat kebanggaan akan kebhinekaan ini kadang terasa semu.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberi panggung seorang anak bersuku Jawa memang patut dikritisi. Tapi bukan karena anak itu berasal dari suku Jawa. Bukan pula karena lagunya menggunakan bahasa daerah. Soal trending-nya lagu-lagu berbahasa Jawa, tak pantas untuk diributkan. Kita tahu, penggemar lagu-lagu berbahasa Jawa meningkat sejak era Didi Kempot.

Dalam artikel Syadza, ada tuntutan kurang mashook buat saya, untuk membuat lagu yang trending itu ke berbagai bahasa. Hmm … saya juga nggak suka lagu-lagu begitu, tapi ya santai saja. Tinggal ganti saluran, beres. 

Tentu Anda masih bisa mengkritik tingkah pemerintah terkait Farel. Sebuah upacara kemerdekaan yang di sekolah diajarkan sebagai seremonial formal menjadi ajang goyang pejabat, lebih masuk akal untuk dikritisi tinimbang membicarakan kesukuan. Atau, jika jiwa parenting modern Anda meronta-ronta, Anda juga bisa mengkritik pilihan lagunya yang nggak anak-anak banget itu. Atau, seperti Iga Massardi dalam IGS-nya, Anda bisa mempertanyakan soal penetapan Farel sebagai duta kekayaan intelektual. 

ig story igamassardi

Belum lama ini, saya sempat berpikir tentang lagu-lagu berbahasa Jawa yang sedang naik daun sejak era Didi Kempot itu. Saya pikir, betapa indahnya penerimaan dari bangsa kita terhadap lagu-lagu itu. Contoh-contohnya begitu nyata di sekitar saya. Salah satunya, saat ada seorang teman yang keturunan Betawi asli, tiba-tiba membuat unggahan dengan lirik lagu berbahasa Jawa. 

Bagi saya, hal itu menjadi awal mula terang-terangan penerimaan bahasa daerah di luar daerahnya sendiri. Saya juga belum bisa lupa dengan penerimaan publik terhadap film Ngeri-Ngeri Sedap yang Batak abiz. Bukan tidak mungkin kita akan menerima suguhan-suguhan di kancah nasional yang menonjolkan kesukuan. Dan ternyata, bukankah lebih asyik menikmati ragam kebhinekaan lewat dunia seni dan hiburan dibanding dicekoki tentang kebhinekaan lewat buku-buku hafalan? 

Penyelenggara negara memang belum berhasil melaksanakan pemerataan fasilitas buat seluruh anak bangsa. Kita tahu generasi penerus bangsa tersebar di semua pulau, bukan di Jawa saja. Tapi, marilah mulai mengurangi perkataan-perkataan yang nggak perlu.

Seiya-sekata menuntut fasilitas untuk anak-anak di pulau-pulau selain Jawa akan lebih indah dan greget dibanding dengan pertanyaan kenapa orang Jawa melulu yang begini dan begitu. Jangan lupa pula untuk memulai mengenalkan tentang kebhinekaan sejak dari ruang-ruang pribadi di rumah Anda, jika Anda memang cukup peduli dengan jargon persatuan Indonesia. Tapi ya, saya pun paham bahwa dianaktirikan memang menyakitkan.

Butet RSM, ibu dari tiga anak.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *