Site icon ghibahin.id

Kateter dan Rapuhnya Pagar Rumah Kita

“Kita masih saja tidak bisa membedakan mana konten-konten yang mestinya hanya bisa diterima oleh kalangan tertentu saja”

Belum lama ini, sebuah akun Twitter @AREAJULID membagikan tangkapan layar dari sebuah video yang belakangan cukup bikin heboh. Isinya, curahan hati seorang mahasiswi yang sedang magang sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit, mengenai isi benaknya saat ia memasang kateter kepada seorang pasien yang seumuran dengannya. 

Excited, begitulah yang dia rasakan saat memasang kateter (alat bantu kencing pasien) kepada seorang pasien laki-laki, yang seumuran, dan ternyata good looking pula. Seandainya saya dalam posisi demikian, pasti saya akan merasakan hal yang sama. Untungnya tidak. Hmm ….

Hasil selanjutnya bisa diprediksi, kritik dan kecaman bak hujan deras, membuat konten tersebut akhirnya menghilang, akun yang membuatnya nonaktif, dan diikuti klarifikasi serta permohonan maaf dari pihak-pihak yang berhubungan dengan si nakes. Hingga satu lagi yang paling ditunggu kemunculannya, tanggapan para selebritas.

Tak lama selepas netizen mendapatkan apa yang mereka inginkan, muncul “laporan” netizen lainnya tentang hal serupa. Semua laporan ini nyaris sama, mengeluhkan curhat pribadi yang disebarluaskan ke ruang ruang publik tanpa tedeng aling-aling

Suatu saat, pernah ada feed yang muncul di Instagram saya, isinya tentang seseorang yang dengan begitu fasih mengajarkan berbagai cara merawat alat vital laki-laki, membuatnya tahan lama, tahan banting, dan mungkin juga tahan tekanan atasan.

Tidak masalah apabila yang mempresentasikan hal tersebut adalah laki-laki semacam saya. Namun, apabila presenternya adalah perempuan, good looking pula, sepertinya akan ada sesuatu yang lain yang saya rasakan.

Hal yang demikian ini rupanya semakin membanjiri FYP saya, yang baru belakangan saya tahu bahwa artinya adalah for your page. Bisa jadi, feed ini adalah hasil jerih payah algoritma media sosial membaca isi hati dan jempol saya, tapi siapa juga yang tidak tertarik dengan konten dengan nuansa yang seperti itu. Terlebih, yang saya gunakan adalah gawai pribadi saya sendiri. Saya tinggal pasang anti spy screen guard, dan memasang password yang rumit, agar tidak ada yang mencuri lihat isi gawai saya. Tapi sialnya saya malah membicarakannya di sini. Hahaha ….

Di sinilah, menurut saya, masalah utamanya terjadi. Kita masih saja tidak bisa membedakan mana konten-konten yang mestinya hanya bisa diterima oleh kalangan tertentu saja. Dan bila konten tersebut tersebar ke ruang publik, yang terjadi adalah kiamat tak terduga. Kita bisa sebutkan satu per satu konten yang sebenarnya hanya diperuntukkan oleh kalangan tertentu saja.

Misalnya, kita masih ingat ceramah Ustad Abdul Somad tentang adanya jin pada lambang peribadatan agama tertentu. Boleh jadi, memang ada sandaran dalil yang digunakan oleh UAS (sapaan akrab Ustad Abdus Somad) atas apa yang dia fatwakan. Masalahnya adalah ketika ada pihak-pihak yang bisa jadi tidak sepakat atau bahkan berpotensi tersinggung ketika mendengar khotbah beliau tadi, yang sayangnya juga mempunyai akses khotbah tersebut melalui media sosialnya masing-masing. Di situlah masalahnya.

Tidak berhenti pada kontroversi lokal, tapi keributan yang disebabkannya bahkan mampu membuat UAS ditolak ketika mengunjungi negara lain. Benar-benar apes. Saya membayangkan diri saya sendiri ketika berada pada posisi itu, ditolak negara lain, dan mungkin juga dicegat di mana-mana hanya karena berfatwa khusus untuk orang yang “paham” saja. Betapa menyesalnya saya jika itu benar-benar terjadi. Mungkin saya akan mengutuki diri sendiri dan ingin segera menghilang dari muka Bumi.

Jika hal yang demikian benar-benar terjadi, mampukah saya memperbaikinya? Tentu saja, untuk melakukannya butuh waktu yang tidak sebentar. Kalau tidak begitu, saya akan memilih jalur kepalang tanggung, mengecam orang atau negeri yang menolak saya. Mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, kan?

Tentu, urusan privat yang menyeberang menjadi konsumsi publik sudah seringkali terjadi. Dan dua kejadian di atas hanyalah contoh kecil seberangan-seberangan wilayah pribadi–atau setidaknya, kalangan sendiri–yang terekspos kepada khalayak umum.

Semenjak begitu mudahnya konten dibuat dan diunggah ke media sosial, kita lupa dengan pagar yang sudah kita bangun untuk menjaga rumah kita. Pagar rumah kita tidak hanya untuk menghindari orang-orang yang memang berniat mengintai atau menguntit, tidak.

Pagar rumah mestinya mengingatkan bahwa kita membutuhkan privasi, justru karena ada hal-hal yang kita inginkan terkunci rapat dan tidak jadi konsumsi publik. Dengan mengingat fungsi pagar rumah ini, mestinya bisa menjadi belenggu bagi jempol kita untuk menjaga agar area privat kita tak tersebar luas ke ranah publik.

Jika semua dijadikan konten, dan tak ada lagi batas bagi privasi kita, lalu ngapain juga kita masih repot memakai baju? Bukankah menelanjangi diri sendiri adalah konten yang pasti masuk FYP? Masa iya mau kaya gitu?

Ahmad Natsir, pelanggan siomay sebelah UIN Satu Tulungagung.

[red/bp]

Exit mobile version