Kalau Semua Sudah Ditakdirkan, Apakah Masih Harus Bekerja Keras?

Beberapa hari yang lalu saya menamatkan sebuah web novel sepanjang 1500 chapter lebih. Membaca novel panjang-panjang gitu memang dapet apa sih?

Tidak banyak sebenarnya.

Awal-awal membaca, saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Saya membaca karena suka, dan di antara aktivitas cari hiburan—nonton drakor, baca komik, dengerin musik, baca berita dll—saya memang paling nyaman membaca novel, terutama web novel China dengan tema dunia persilatan.

Selama hampir tiga tahun ini, saya sudah menamatkan beberapa judul, dengan setiap judul antara ratusan sampai ribuan chapter. Dan setelah membaca kata-kata sebanyak itu, entah kamu berharap atau tidak, kamu pasti akan mendapatkan sesuatu, dan terkadang itu mungkin sesuatu yang tidak pernah kamu duga.

Selama ini saya menjalani hidup dengan tidak terlalu bersemangat. Tidak pernah berusaha terlalu keras, tidak terlalu punya tujuan dan tidak merasa itu adalah sesuatu yang salah. Pangkal masalahnya, kalau mau dibilang, mungkin adalah pemahaman saya soal hidup ini.

Saya berkenalan dengan Islam bisa dibilang sejak belum bisa mengingatnya. Lahir di lingkungan muslim, sejak kecil mengaji di musala, saat SMA masuk pesantren, bisa dibilang saya agak tau soal Islam.

Di antara pokok ajaran Islam yang saya percayai adalah takdir. Bahwa semua sudah ditakdirkan. Semua sudah ditulis. Kaya miskin surga neraka, semua sudah ditetapkan. Saya percaya semua itu, tapi entah kenapa sampai umur yang hampir empat puluh ini saya merasa saya tidak pernah benar-benar memahaminya.

Saya kesulitan menjembatani konsep “semua sudah ditetapkan” dengan “keharusan untuk bekerja keras”. Kalau semua sudah ditetapkan, kenapa harus bekerja keras?

Ketidakmampuan itulah yang (saya kira) kemudian membawa saya pada diri saya yang seperti ini: tidak pernah bersungguh-sungguh menjalani hidup.

Saya merasa, karena sudah ditakdirkan, kenapa harus berusaha terlalu keras? Bukankah santai-santai juga kalau sudah ditakdirkan tetap akan masuk surga?

Kalian mungkin tidak pernah mengalaminya, tapi begitulah yang terjadi pada saya.

Konsep Tuhan Maha Kuasa, Tuhan mengatur segalanya, semua sudah ditakdirkan, semua sudah selesai ditulis, surga dan neraka sudah ditetapkan, mespikun saya mengimani semua itu, saya rasa itu adalah jenis iman tanpa pemahaman. Saya tidak pernah benar-benar memahaminya.

Dan percaya atau tidak, saya justru merasa bisa memahami semuanya setelah membaca novel-novel China yang atheis itu. (Yang atheis novelnya ya, tolong jangan disalahpahami.)

Sekarang saya memandang hidup saya seperti sebuah novel. Hidup ini adalah sebuah novel yang ditulis oleh Tuhan. Tentu saja tidak persis seperti itu, tapi analoginya kira-kira seperti itu. Hidup ini adalah sebuah novel yang ditulis oleh Tuhan, dan saya adalah salah satu tokohnya.

Kalau dibilang Tuhan Maha Kuasa, maka itu benar. Kalau dibilang Tuhan mengatur segalanya, maka itu benar, seperti pengarang yang mengatur semua yang ada dalam novelnya. Siapa yang jadi MC, siapa yang jadi penjahat, siapa akan lahir, siapa akan mati, apa saja yang akan mereka alami, apa saja yang mereka lakukan, Tuhan memutuskan semuanya seperti pengarang memutuskan semuanya.

Saya merasa begitulah kira-kira hidup ini. Kita semua ini hanyalah karakter di dalam sebuah cerita yang sudah selesai ditulis oleh Tuhan.

Dengan pemahaman seperti itu, konsep semua sudah ditetapkan jadi tidak terasa aneh lagi. Dan antara “semua sudah ditakdirkan” dan “bekerja keras mencapai apa yang diinginkan” jadi tidak bertentangan lagi.

Kenapa saya bisa memahami seperti itu?

Saya menyamakan diri saya dengan tokoh-tokoh dalam cerita. Kisah hidup mereka sudah selesai ditulis, dengan akhir cerita yang sudah ditetapkan (ada yang bahagia, ada yang sengsara, ada yang mati ditebas pedang musuhnya), tapi (tanpa mengetahui semua itu) mereka tetap bekerja keras untuk mencapai apa yang mereka inginkan.

Saya pikir saya bisa memposisikan diri saya seperti mereka. Meskipun cerita hidup saya sudah selesai ditulis, dengan surga dan neraka yang sudah ditetapkan, saya bisa tetap bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang saya inginkan.

Pemahaman seperti ini entah benar atau tidak, tapi saya merasa nyaman dengannya. Dan setelah sedikit merenung, saya merasa saya sudah bisa memutuskan. Apa yang saya inginkan di dunia, apa yang saya inginkan di akhirat, saya akan berusaha mendapatkannya.

Memang apa bedanya dengan, misalnya, jika kamu tidak memahami atau tidak meyakini semua itu, toh ujungnya sama-sama–jika menginginkan sesuatu tetap harus berusaha? Ya setidaknya salah satu masalah yang selama ini mengganjal tentang rukun iman sudah terselesaikan. Dan dengan memahami bahwa semua sudah ditetapkan, tidak ada lagi yang perlu saya khawatirkan.

Masjudi, manusia biasa, tukang tambal ban.

[red/yes]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *