Jeda dan Perjalanan Kembali

Jeda

“Masa bepuasa saat ini bisa menjadi jeda yang cukup baik bagi kita semua. Jeda yang membawa kita kembali pada diri kita yang sejati, sebelum kita kembali pada pemilik hidup kita.”

Beberapa waktu lalu, saya melakukan perjalanan ke beberapa kota, mengunjungi beberapa anggota Kompleks Ghibah Hasanah, pencetus, dan pengelola ghibahin.id.

Perjalanan itu dilakukan dalam waktu singkat. Perpindahan dari kota satu ke kota lain dilakukan dengan transportasi publik. Hal itu membuat saya punya waktu lebih untuk berpikir, merenung, dan menyadari diri saya seutuhnya.

Memiliki waktu untuk sesekali kembali pada diri sendiri, rupanya menjadi hal yang langka. Setidaknya untuk saya dan mungkin beberapa orang yang lain.

Meski terlihat sepele, meluangkan waktu untuk melihat diri sendiri secara utuh, cukup jarang saya lakukan. Kesibukan mengisi atau menjaga kehidupan dilakukan nyaris tanpa jeda. Hidup kemudian dipenuhi target dan keinginan mewujudkan mimpi-mimpi.

Hingga pada akhirnya, banyak orang tidak lagi bisa membedakan kesibukan yang sungguh bermanfaat, atau hanya supaya terlihat sibuk saja. Begitulah. Kesibukan itu kemudian bisa menjadi sesuatu yang akhirnya kontraproduktif. 

Semua keriuhan mengisi kehidupan itu sedikit terjeda, seperti sekarang, saat umat Islam mendapat kesempatan untuk bertemu bulan Ramadan. Bukan cuma umat muslim, saat ini umat Katolik juga menjalani masa puasa menjelang Hari Paskah.

Meski berbeda cara, pada dasarnya kedua agama ini meminta penganutnya untuk melakukan retret agung. Retret yang bermakna kembali pada diri sendiri, mengendalikan hawa nafsu, menyadari kesalahannya, dan melakukan pertobatan.

Dalam masa ini, setiap orang yang menjalankan puasa berhadapan dengan dirinya sendiri. Kemampuan mengendalikan diri tidak hanya sebatas urusan makan, tetapi juga keinginan duniawi lain.

Puasa memiliki makna menahan diri. Menahan dari keinginan dan berbagai macam godaan yang cukup rumit. Soalnya, selain makanan, godaan untuk mengomentari orang lain juga cukup sulit dikendalikan. Apalagi di media sosial yang semua orang bebas berekspresi. Atau godaan ingin terlihat menjadi ahli sedekah dengan berbagi makanan berbuka, misalnya. Saya jadi bertanya pada diri sendiri, apakah saya benar-benar berpuasa?

Apalagi kita sedang dihadapkan pada berbagai peristiwa sosial yang sedikit banyak mempengaruhi reaksi kita. Diantaranya: kenaikan harga minyak, wacana tiga periode, pemindahan ibu kota, pembelian film biru di onlyfans, juga klitih yang mengubah slogan kota Yogyakarta menjadi “Jogja Berhenti Nyaman”.

Dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian dan kejelasan seperti sekarang, masa puasa memberi waktu bagi kita untuk menyadari semua situasi sosial itu. Demikian juga dengan cara bereaksi terhadap permasalahan yang datang silih berganti.

Puasa tidak hanya menuntut kita kembali dekat pada Sang Khalik. Tapi lebih dari itu, masa ini menuntut kita kembali dekat pada ciptaan-Nya. Dan salah satunya adalah diri kita sendiri.

Dengan menjalani masa pengendalian diri ini, kita berada pada perjalanan menuju pertobatan. Pada masa inilah, kita mempunyai waktu untuk memperbaiki segala hal yang berpotensi menjadi akar permasalahan kita dalam berelasi. Termasuk di dalamnya adalah cara kita memperlakukan diri kita dengan layak.

Wujud mencintai diri sendiri itu muncul salah satunya dalam kemampuan mengendalikan hasrat berbuka. Berbagai sajian berbuka yang menggugah selera itu bisa jadi bukan sesuatu yang baik, atau malah sebenarnya tidak dibutuhkan tubuh.

Sama seperti perjalanan saya di beberapa kota itu, waktu terus berjalan sementara saya mesti segera menuntaskan perasaan akibat pertemuan di satu kota. Tentu saja agar saya siap untuk menjalani pertemuan baru di kota lain. 

Dan masa puasa ini, menjadi jeda yang cukup baik bagi kita semua. Jeda yang bisa dimanfaatkan untuk menata hati di perjalanan selanjutnya. Jeda yang membawa kita kembali pada diri kita yang sejati, sebelum kita kembali pada pemilik hidup kita.

Selamat menjalankan ibadah puasa, SoHib. Selamat menjalankan retret. Meski dalam keadaan sulit, semoga kita dapat menemukan ketenangan diri, agar tenang juga dalam menjalani kehidupan. Saat ini dan nanti. (red/rien-pap)

Amin Fadlillah, di balik kemudi ghibahin.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *