Jastip Tita: Skema Ponzi Kembali Memakan Korban

“Pada kasus Jastip Tita, bisa dibilang miriplah dengan skema Ponzi. Walaupun secara gamblang, ya itu jelas-jelas penipuan.”

Beberapa hari ini, timeline saya ramai membicarakan kasus penipuan jastip (jasa titipan). Diduga kerugian berjumlah puluhan miliar. Korbannya hampir bisa dipastikan adalah ibu-ibu yang tergiur dengan penawaran barang elektronik bermerek terkenal dengan harga super miring.

Adalah seseorang yang bernama Tita yang menawarkan barang elektronik bermerek M. Nah, harga murah yang ditawarkannya membuat banyak orang mulai tergiur, dan seketika membuat jumlah member/konsumennya membludak. 

Entah bagaimana caranya, Tita bekerja sama dengan empat orang sebagai pimpinan grup-grup (mungkin bisa dikatakan sekelas manajer) yang dia buat. Sementara Tita sendiri menjadi CEO-nya.

Model transaksinya adalah dengan “open PO” (membuka pre-order, istilah yang digunakan untuk mengumpulkan pesanan). PO tahap 1 berjalan dengan baik, konsumen menerima barang pesanan. Hal ini membuat para manajer tadi percaya diri melanjutkan PO tahap berikutnya. 

Kurang jelas kapan dimulainya, namun beberapa minggu terakhir Tita mulai memberikan banyak alasan ketika barang tak kunjung sampai di tangan konsumen. Alasan klise seperti libur lebaran, terjadi masalah pada proses pengiriman, hingga alasan pabrik overload pun bermunculan. Konsumen mulai mempertanyakan dan banyak yang minta uangnya dikembalikan alias refund.

Suasana semakin bergejolak, hingga hari Sabtu 9 Juli 2022, Tita akhirnya menghilang. Keempat manajer kalang kabut. Konsumen murka. Hingga hari ini, belum ada titik terang.

Sekilas, kisah ini mirip sekali dengan kasus penipuan nasabah F***t Travel, bukan? Mereka menawarkan harga di bawah harga pasar, menjaring sebanyak mungkin nasabah via agen, dan kemudian, boom! Uang dibawa kabur oleh pemilik. Siapa lagi yang menjadi bulan-bulanan nasabah, jika bukan agen-agen tadi?

Orang-orang ramai membicarakan bahwa kasus travel tadi sebenarnya masuk dalam skema Ponzi. Menurut Wikipedia, skema Ponzi adalah salah satu modus investasi palsu. Pelaku membayar keuntungan investor dengan dana yang berasal dari si investor sendiri atau dengan dana yang dibayarkan oleh investor berikutnya, bukan dari keuntungan yang dijanjikan oleh si pelaku atau lembaga yang menjalankan operasi ini. 

Skema ini dicetuskan oleh Charles Ponzi dari Italia, yang kemudian menjadi terkenal pada tahun 1920. Kasus jastip Tita bisa dibilang mirip dengan skema Ponzi. Walaupun jika dilihat secara gamblang, ya itu jelas-jelas penipuan.

Mungkin sobat ghibah mulai bertanya, lah kok, kejadian ini terulang lagi? Kurang fantastis apa coba, kejadian F***t Travel itu? Bukannya Otoritas Jasa Keuangan juga sudah mengatur bahwa skema Ponzi ini dilarang? Kok, masih ada saja yang menjadi korban? 

Begini, SoHib. Dalam ilmu ekonomi, sudah lama dipelajari bahwa keputusan seseorang dalam melakukan kegiatan ekonomi, termasuk bertransaksi dan berinvestasi, juga dipengaruhi oleh aspek psikologis. Hal-hal ini dibahas mendalam dalam studi Behavioural Economics.

Sebuah studi terbaru dari Universitas Padjajaran, oleh Taofik Hidajat, dkk. (2021), menemukan alasan mengapa orang terjebak dalam skema Ponzi dan skema piramida. 

Penelitian dengan responden warga Indonesia tersebut menyimpulkan bahwa optimisme (bias emosional) terbukti mempengaruhi keputusan orang untuk berinvestasi dalam skema Ponzi dan skema piramida. Investor dalam skema ini optimis bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan, namun mengabaikan kemungkinan risiko kerugian. Optimisme terjadi karena efek kontrak, bias kontrol diri, efek impas, dan bukti bahwa orang-orang di sekeliling si investor mendapatkan manfaat dari skema investasi tersebut. 

Jadi bagaimana dengan ibu-ibu korban jastip Tita tadi? Apakah mereka aware akan risiko jastip ini? Saya yakin mereka pasti aware. Apakah mereka orang-orang yang kurang memiliki kontrol diri? Bisa jadi. Namanya juga lagi kepengen sesuatu. Murah lagi. Hal-hal yang menggiurkan kadang membuat kita jadi permisif terhadap hal-hal yang kurang masuk akal. 

Coba sobat ingat-ingat lagi, pernah tidak membeli sesuatu hanya karena kepengen saja. Belum tentu bermanfaat, belum tentu harganya sesuai manfaatnya, dan juga belum tentu akan dimanfaatkan. Kepengen aja gitu. Pasti pernah, kan? Nah, keadaan yang sama juga terjadi pada konsumen jastip Tita ini.

Dalam skema Ponzi, optimisme terjadi setelah seseorang mengetahui hasil dari suatu skema investasi (Eisenberg dan Quesenberry, 2014). “Bukti” bahwa orang lain telah mendapat untung, bisa mempengaruhi kondisi emosional dan menciptakan optimisme bahwa skema investasi tersebut dapat memberikan manfaat nyata (Hidajat, dkk., 2020). Optimisme ini beralasan, karena PO tahap 1 memang terjadi sesuai janji Tita. Barangnya nyata, tiba di rumah konsumen. Jika ditelisik, ini adalah karakter utama skema Ponzi, investasi pertama akan memberikan hasil. Itu pasti.

Jadi, bagaimana dengan ratusan korban Tita itu, yang sudah berharap barang elektronik baru namun harus menelan kecewa? Menurut saya, mungkin saja mereka akan lebih mudah merelakan. Ingat, masyarakat Indonesia ini pemaaf sekali.

Yang kita perlu perhatikan adalah para admin grup jastip Tita alias manajer yang menggawangi grup-grup kecil tadi. Mereka harus menanggung malu, mengganti uang konsumen, dan belum lagi harus menghadapi teror yang datang terus-menerus. Persis dengan apa yang terjadi terhadap agen-agen F***t Travel.

Sudahlah, saya kira kita tidak perlu menghakimi mereka atas keputusannya menjadi perpanjangan tangan Tita. Ya, namanya juga cari makan, Bun. Mana yang paling mendatangkan cuan, ya kita kerjakan. Iya, nggak?

Listra Mindo. Seorang ibu yang sering sambat.

[red/rien/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *