Hari Merdeka, Farel, dan Pertanyaan tentang Keberagaman Indonesia

“Sementara anak-anakmu yang berada di bangku birokrasi sibuk menunjukkan kejawaannya melalui lambang-lambang kegiatan skala Internasional.”

Dirgahayu Indonesia-ku. Kau begitu tua sekarang, sudah 77 tahun. Menurut standar orang-orang, di usia inilah seseorang sedang religius-religiusnya. Kerjanya beribadah dan kalau beruntung bisa menghabiskan waktu bersantai dengan cucu-cucu di teras rumah. Kebetulan umurmu sedang menginjak angka kembar. Izinkan aku memberikan satu saran agar anak-anakmu nanti tetap rukun hingga usiamu menginjak 100 tahun atau bahkan lebih.

Aku, satu di antara anakmu, terlahir dari sepasang manusia yang bersuku Jawa dan Banjar. Sebagai seseorang yang tinggal di Kalimantan, aku tak pernah menggunakan bahasa Jawa di keseharian. Saat berkunjung ke rumah Mbah di Jawa, perasaan tersisih selalu ada. Mulai dari Om hingga ke adik-adik sepupu berbicara dengan bahasa Jawa.

Jika sedang berkumpul, aku harus menunggu seseorang untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Bayangkan kalau sedang bercerita lucu dan aku harus menunggu supaya ikut tertawa di puncak cerita. Nggak enak, kan?

Aku juga nggak mungkin protes kepada mereka sambil membacakan Sumpah Pemuda, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa. Pastinya, aku akan ditertawakan. Mungkin bapakku juga akan tertawa miris karena gagal mempengaruhi anak-anaknya dengan budaya Jawa.

Ngomongin bahasa sebagai pemersatu bangsa, justru hari ini ada yang aneh di hari perayaan ulang tahunmu, Indonesia. Seorang anak kecil, Farel Prayoga, mampu membuat para menteri ikut berjoget riang. Presiden pun tertawa lebar karena namanya diselipkan dalam lirik lagu yang dinyanyikan oleh Farel. Kalau mau cocoklogi sih, ini curahan hati dari presiden karena capek dibanding-bandingkan melulu. Bercanda ya, Pak? Hehe.

Tapi yang harus dikhawatirkan adalah apakah dirimu sibuk mengkotak-kotakkan diri, Indonesia? Anak-anakmu yang lain memaksakan peraturan melalui seragam sekolah. Beberapa lainnya malah sibuk ngomongin kafir dan bid’ah.

Sementara anak-anakmu yang berada di bangku birokrasi sibuk menunjukkan kejawaannya melalui lambang-lambang kegiatan skala Internasional. Jadi apakah ini persatuan yang kau inginkan untuk anak-anakmu, Indonesia? 

Fenomena hari ini sebenarnya cukup menarik. Farel mungkin nggak nyangka bisa mendapatkan kesempatan bernyanyi di perayaan ulang tahunmu. Berawal dari ketenarannya di media sosial, membuat banyak orang menggunakan suaranya saat menyanyikan lagu Ojo Dibandingke sebagai latar musik.

Kita semua juga paham sih, kalau dangdut adalah musik yang menggambarkan identitasmu sebagai bangsa. Sejak Via Vallen menyanyikan lagu tema Sea Games 2018, subgenre dari musik dangdut, koplo, jadi sangat diminati oleh anak-anakmu.

Mungkin kita harus banyak belajar dari India, teman sepermainanmu yang juga punya banyak kesamaan kisah hidup. Kebetulan aku penikmat hiburan dari Negeri Prindavan itu. Walaupun India terkotak-kotak menjadi India Utara dan India Selatan tetapi hal ini membuat warna tersendiri dalam industri hiburannya.

Pranavalaya dan Sirinevella, dua lagu yang menjadi soundtrack film Shyam Singha Roy, benar-benar meninggalkan kesan magis untukku. Tetapi ada fakta yang menarik, yakni bahwa adalah kedua lagu tersebut awalnya berbahasa Telugu, dan kemudian dinyanyikan kembali menjadi bahasa Tamil, Malayam, dan Kannada. 

Walaupun ini bisa diartikan sebagai strategi marketing karena bahasa-bahasa tersebut mewakili pasar film di sana, tetapi efeknya lebih dari itu. Banyak komentar-komentar positif dari penutur asli di kolom komentar YouTube yang merasa bangga karena bisa mengenali lebih banyak bahasa dari bahasa sehari-hari mereka.

Aku menganggap ini adalah hal positif, karena anak-anak di sana diajarkan untuk mengenali keberagaman budaya walaupun hanya sebagian kecil saja. Berdasarkan Wikipedia, India memiliki 30 bahasa yang digunakan oleh sejuta penduduk dan 122 bahasa yang digunakan lebih dari 10.000 orang. 

Sementara di negerimu, Indonesia, ada 718 bahasa daerah. BPS juga mengeluarkan data di tahun 2015, bahwa terdapat 14 bahasa daerah dengan total penutur di atas 1 juta orang atau 69.22% dari 252,2 juta penduduk negerimu. Jangan lupa juga tentang 12 aksara lokal yaitu Jawa, Bali, Sunda Kuno, Bugis atau Lontara, Rejang, Lampung, Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, Mandailing, dan Kerinci.

Rasanya, dengan kekayaan seperti ini, sungguh sangat sayang jika hanya mengeksplorasi bahasa Jawa sebagai produk dari dunia hiburan kita. Aku sih masih anak-anak, baru 26 tahun. Seharusnya tak layak memberikanmu saran untuk menjaga persatuan.

Tetapi, karena aku anakmu juga, aku ingin kau mengerti bahwa Indonesia tidak melulu Jawa dan banyak anak-anakmu yang ingin diperhatikan. Jadi, apakah Farel siap bernyanyi dangdut koplo lagi buat ulang tahunmu dengan 12 bahasa daerah yang berbeda?

Syadza Z. Nufus. Penyuka serangga, takut hantu.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *