Site icon ghibahin.id

Guru, Buruh yang Tak Boleh Mengeluh

“Guru adalah priayi, profesi yang menempati kedudukan sangat tinggi dalam tatanan sosial masyarakat.”

Menurut saya, tanggal 25 November di kalender mestinya berwarna merah. Tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Guru Nasional yang seharusnya diperingati lebih meriah dari Hari Pahlawan.

Mengapa demikian? Bukannya saya berniat mengecilkan jasa pahlawan, tapi bayangkanlah, bukankah para pahlawan yang diperingati setiap 10 November itu banyak diantaranya sudah tidak lagi bersama dengan kita? Meskipun Hari Pahlawan diperingati secara besar-besaran, mereka tak akan bangkit dari pusaranya untuk ikut merayakan kemeriahannya bersama kita, bukan? 

Sebaliknya, para guru masih terus membersamai kita. Beberapa dari guru saya semasa sekolah dulu mungkin sudah memasuki usia pensiun, tetapi mereka tentu masih bisa merasakan gegap gempitanya perayaan. Jasa mereka pun tak hanya melekat dalam kenangan, namun terus menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan. Menurut saya, para guru sangat layak menerima penghargaan yang lebih tinggi.

Budhe Suratni, kakak kandung ibu saya, adalah seorang guru Bahasa Indonesia. Bukan guru tetap, bahkan hingga akhir hayatnya tak pernah diangkat. Namun, dedikasi terhadap profesi yang melekat pada dirinya sungguh luar biasa, meskipun statusnya hanya guru honorer saja. Dengan menjadikan sosoknya sebagai role model, saya semakin menghargai profesi seorang guru.

Sebagai guru honorer, tentu saja penghasilan Budhe tak menentu. Tergantung berapa banyak mata pelajaran yang dipercayakan sekolah untuk diampunya. Penghasilannya dihitung dari total berapa jam dia mengajar dalam seminggu, dikalikan sekian rupiah yang bahkan tak cukup untuk membeli makanan mewah.

Budhe saya adalah manusia yang bersahaja. Tentu saja makanan mewah tak pernah menjadi kebutuhannya. Sehari-hari dia cukup mengkonsumsi nasi pecel atau sambal tumpang tahu yang harganya sangat terjangkau. Itu pun cukup dua kali sehari saja beliau makan. Alasannya mengurangi frekuensi makan jelas bukan karena sedang diet, karena Budhe sudah sangat langsing. 

Budhe saya adalah guru yang idealis. Ketika bertutur, bahasa yang keluar dari bibirnya selalu bahasa baku. Waktu saya masih remaja dan mendapat tugas mengarang dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Budhe mengkritik keras bahasa gaul yang saya gunakan dalam cerita itu, meskipun bahasa gaul hanya saya terapkan dalam kutipan percakapan saja.

“Anak jaman sekarang suka merusak bahasa,” omelnya senantiasa. Saya sudah biasa mendengarnya.

Selain mengajar Bahasa Indonesia, Budhe juga mengajar agama. Pantas saja bila tindak tanduknya sangat tertata, tidak sembarangan seperti saya. Cara berpakaiannya pun rapi, selalu mengenakan setelan resmi. 

Padahal sekolah swasta tempatnya mengajar berlokasi sangat jauh di pelosok desa, hingga perlu beberapa kali berganti moda angkutan umum untuk tiba di sana. Bayangkan, betapa tidak nyamannya mengenakan setelan padahal harus berdesakan di angkutan umum, di tengah terik matahari pula.

Budhe memberikan gambaran atas kehidupan seorang guru ideal di benak saya. Dia mengatakan bahwa sejatinya guru hanyalah buruh, namun tak boleh mengeluh. Karena bila seorang guru sudah mengeluh, maka dia akan menularkan keluhan kepada semua orang. Hal itu akan membuat jumlah orang yang bersyukur menjadi semakin kurang.

Seumur hidupnya, saya tak pernah mendengar Budhe mengeluh. Saya hanya berpikir bahwa Budhe adalah orang yang sederhana, tak pernah terbesit dalam hati saya bahwa Budhe sebenarnya hidup berkekurangan. Semua keponakannya bahkan mengira Budhe pelit, karena tak pernah memberikan uang jajan.

Saya pernah memendam cita-cita menjadi seorang guru ketika masih duduk di sekolah dasar dulu, tak kesampaian karena seusai SMA tak bisa langsung meneruskan kuliah. Untuk bisa menjadi guru, tentu saja harus memiliki ilmu. Bukankah profesi guru itu tak bisa dilakukan oleh sembarang orang? Tak cukup hanya bermodal niat untuk menjadi seorang guru.

Rata-rata, anak di usia sekolah dasar memang berkeinginan menjadi guru karena belum terpapar oleh informasi mengenai profesi-profesi lain. Namun seiring waktu berlalu, cita-cita menjadi guru bisa saja memudar, berganti dengan pilihan profesi lain yang lebih menjanjikan.

Apakah menjadi guru bukan pilihan profesi yang menarik? Bukan seperti itu konsepnya. Guru masih selalu menjadi profesi yang pertama kali dipilih oleh anak-anak yang pikirannya masih polos, karena mereka terinspirasi oleh guru yang mengajarinya di sekolah. 

Namun, hanya guru yang baik saja yang bisa menanamkan inspirasi seperti itu di benak anak-anak. Para murid tentu ingin menyerupai gurunya bila gurunya baik, pintar, dan bijaksana. Di mata anak-anak, guru yang baik akan terlihat serba bisa, mereka menjadi superhero. Sudah jamak bila anak-anak lebih menuruti perintah guru di sekolah daripada mematuhi orang tuanya di rumah. 

Di komunitas menulis, saya berteman dengan beberapa orang guru. Ada di antara mereka yang sudah sepuh dan tetap konsisten menjalani profesinya untuk mencerdaskan bangsa. Mereka adalah manusia-manusia bijaksana yang banyak bersyukur dalam hidupnya, dan sangat menikmati pekerjaannya.

Mereka telah berkontribusi positif pada semesta, sehingga semesta membalas dengan membuat hidup mereka bahagia. Hal itulah yang mereka yakini, sehingga mereka tak pernah mengeluh, seperti Budhe saya.

Ada juga teman saya, seorang guru, yang usianya masih sangat muda. Penampilan pun tak kalah dengan youtuber masa kini di sosial media. Ketika saya bertanya mengapa dia mau menjadi guru, padahal banyak pilihan profesi lain yang bisa dilakukannya, dia hanya tertawa. “Sudah nasibku dilahirkan sebagai guru,” ujarnya.

Guru ternyata merupakan profesi yang diwariskan secara turun temurun dalam keluarga besarnya. Karena tinggal di pedesaan, profesi guru masih menjadi idaman bagi masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Guru adalah priayi, profesi yang menempati kedudukan sangat tinggi dalam tatanan sosial masyarakat. 

Menjadi guru, selain membanggakan, juga menyenangkan baginya. Dia memiliki banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk menulis karya sastra. Selain itu, menjadi guru juga membuatnya tetap awet muda. Kok, bisa? Sebagai guru, ia selalu bergaul dengan siswa yang usianya jauh lebih muda. Bukankah kemudaan itu menular? Setidaknya, semangat muda dalam jiwanya akan selalu terjaga.

Saya senang sekali saat mendengar penuturannya. Saya membayangkan, bila banyak anak muda yang berpikir sepertinya, maka profesi guru tak akan punah di Indonesia. 

Selamat hari guru nasional. Kepada semua guru yang tak ragu membagikan ilmu, saya sampaikan penghargaan tertinggi.

Margaretha Lina Prabawanti, penulis musiman, pernah bercita-cita menjadi guru.

[red/bp]

Exit mobile version