Site icon ghibahin.id

Girl in the Picture dan Siklus Kekerasan dalam Keluarga

Foto oleh MART PRODUCTION dari Pexels

“Semengerikan itu memang siklus kekerasan ini, hingga membuat korban merasa layak dan menerima segala kekejian terhadap dirinya.”

Setelah membaca tulisan Mbak Butet RSM beberapa waktu lalu, saya jadi tertarik menonton Girl in the Picture. Film dokumenter Netflix ini membuat saya terdorong untuk memahami lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus tersebut.

Sebelumnya, Mbak Butet menggambarkan betapa tak terbayangkannya derita hidup Tonya (alias Sharon, yang ternyata bernama asli Suzan). Ia harus bertahan dari kekerasan brutal yang dialaminya sehari-hari, serta manipulasi bapak tirinya yang seorang sosiopat. Kematiannyalah yang kemudian mengungkap siapa dia sesungguhnya, walaupun butuh waktu hingga tiga puluh tahun lamanya untuk menyingkap sebuah kebenaran.

Jika Mbak Butet membayangkan betapa menyakitkan hidup Tonya, dan betapa ia tak pernah sedikitpun merasakan kebahagiaan, saya berpikir jangan-jangan Tonya memang sudah pada tahap tak tahu apa itu rasa sakit. Mati rasa. Kekerasan yang dilakukan berkali-kali secara simultan membuat reaksi tubuh seolah menerima saja. Apalagi jika setiap saat kepala dipukuli, badan dihajar habis-habisan, hingga diperkosa berkali-kali, sulit untuk membayangkan penderitaan yang dialaminya. 

Kekerasan tersebut dilakukan terus-menerus selama puluhan tahun. Hasilnya korban kekerasan tak lagi merasakan itu sebagai sebuah bentuk kekerasan. Rasa sakitnya telah mati. Mereka yang mengalami penderitaan semacam itu akhirnya terbiasa menutupi rasa sakitnya dengan sempurna. Bagi Tonya, menangis terasa percuma. Toh, siapa yang akan mendengarkan, dan siapa yang bisa dimintai pertolongan? Sementara dirinya tinggal sehari-hari bersama dengan si pelaku kekerasan. 

Tragedi ini mengingatkan saya pada film Girl in the Basement yang diambil dari kasus nyata di Austria. Kasus ini terjadi belum terlalu lama, yaitu pada tahun 2008. Elizabeth Firzl disekap oleh bapaknya sendiri selama 24 tahun, dan selama itu pula ia melahirkan 7 kali tanpa dibantu siapa pun. Melahirkan anak siapa? Ya tentu hasil perbuatan bejat bapaknya sendiri. Jangan tanya kok bisa, sih? Orang yang sudah mengalami kekerasan berulang-ulang akan memiliki mekanisme pertahanannya sendiri untuk menerima dan mengabaikan rasa sakitnya.

Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika penerimaan atas rasa sakit itu berubah menjadi penerimaan bahwa dirinya memang lemah dan bodoh, sehingga tak layak untuk hidup bahagia dan layak mendapatkan berbagai kekerasan dan perlakuan buruk. 

Jenny, kawan Tonya semasa SMA, bersaksi bahwa ia melihat Floyd, ayah Tonya, memerkosa anak perempuannya itu dengan todongan senjata. Semua itu terjadi di hadapan Jenny. Keesokan paginya, Tonya datang memeluk Jenny, sambil mengatakan, “Daddy’s just like that. I’m okay. You’re okay. Just let it go.”

Saya membayangkan Tonya mengucapkannya dengan intonasi yang tenang, seakan kejadian semalam bukanlah sesuatu yang salah dan mengganggu. Semengerikan itu memang siklus kekerasan ini, hingga membuat korban merasa layak dan menerima segala kekejian terhadap dirinya. 

Jadi, jika ada orang yang punya pertanyaan semacam, “Kok nggak melapor, sih?” Atau, “Mungkin dia tidak melapor karena sudah merasakan enaknya,” maka orang-orang semacam inilah yang perlu dipertanyakan empati dan rasa kemanusiaannya.

Hakim Shim, dalam serial Korea Selatan Juvenile Justice, dengan susah payah meyakinkan Yu Ri bahwa apa yang dilakukan bapaknya adalah sebuah kekerasan. Yu Ri dipukuli oleh bapaknya hingga dirawat di rumah sakit dan harus menjalani fisioterapi. Saking seringnya mengalami kekerasan, Yu Ri menganggap apa yang dilakukan bapaknya adalah hal yang sewajarnya dilakukan seorang bapak. 

Seiring berjalannya persidangan, meluncur pernyataan dari sang nenek bahwa anak lelakinya melakukan kekerasan karena bapaknya (suami si nenek) dulu juga melakukan hal serupa, menghajar ibu dan anak lelakinya itu. Dan demikianlah siklus kekerasan bergulir tiada akhir. 

Kembali ke kasus Girl in the Picture. Floyd, yang saat ini berusia 79 tahun dan sedang menunggu hukuman mati, bercerita kepada wartawan yang datang menemuinya, bahwa dirinya tumbuh besar di panti asuhan setelah ibunya menyerahkannya ke sana saat ia masih kecil. Dan ibunya tak pernah kembali menjemputnya. 

Menurut Floyd, selama di panti asuhan ia dilecehkan berkali-kali, disiksa secara seksual dan fisik. Benar atau tidaknya cerita ini memang belum dapat dibuktikan. Namun dari latar belakang hidupnya, setidaknya kita bisa memahami dari mana siklus kekerasan ini bermula. Begitulah kekejian melahirkan kekejian lainnya bagaikan lingkaran setan. 

Ya, siklus kekerasan dalam keluarga memang nyata adanya, begitu pula trauma yang menyertainya. 

Hanifatul Hijriati. Seorang guru, tinggal di Sragen.

[red/bp]

Exit mobile version