Gara-Gara “Helicopter Parenting”, Anak Tak Mampu Selesaikan Masalahnya Sendiri

ghibahin

Sebagai orang tua, biarkan anak mengalami masalah atau tantangannya sendiri. Diskusikan dengan anak mengenai bagaimana caranya agar mereka bisa menghadapi masalahnya.”

Beberapa waktu lalu, jagat Twitter ramai oleh perseteruan antar fans dan haters K-Pop. Salah satu pihak bahkan menyebut-nyebut status dan jabatan orang tua, kerabat, dan lain-lain sebagai bekingan-nya. 

Padahal, ketika dunia nyaris memasuki era 5.0, eksistensi individual sesungguhnya menjadi lebih langgeng dibanding orang-orang yang terbiasa berada di bawah perlindungan pihak yang kuat. Ketika pihak yang tadinya punya kekuatan sudah tidak berkuasa lagi, posisi seseorang bisa langsung anjlok, dan seketika menjadi sama dengan orang kebanyakan. 

Belum lama ini juga terjadi kasus kekerasan di ruang publik, yang seketika mencuatkan perseteruan dua nama keluarga yang punya posisi dan status cukup tinggi dalam masyarakat. Alhasil, orang jadi mengira-ngira mana pihak yang lebih kuat dan berpengaruh di antara keduanya. 

Satu contoh lagi dari dunia hiburan. Ketika Eva Celia menikah, pemberitaannya semakin meriah dengan komentar netizen bahwa sang ibu, Sophia Latjuba, dianggap tampil lebih menawan, menyaingi sang pengantin. Komentar seperti itu mengindikasikan bahwa ada di antara kita yang percaya bahwa bayang-bayang reputasi orang tua berpengaruh terhadap sukses tidaknya hidup anak-anaknya.

Pertanyaannya, apakah kasus anak-anak yang dibayang-bayangi reputasi orang tuanya ini hanya terjadi pada anak tokoh terkenal, anak artis, atau anak orang kaya saja? Ternyata tidak. 

Lihatlah apa yang terjadi di sekitar kita sehari-hari. Ada banyak anak yang selalu dibela orang tuanya walaupun mereka berperilaku buruk. Agar anak tidak dirundung atau dihukum, orang tua bersedia maju atau menjadi tameng. Agar anak terpenuhi keinginannya, orang tua rela mengupayakan segala cara.

Pada kasus lain, ada juga anak yang ketika bermasalah dengan temannya, selalu orang tua yang mengambil alih masalah dan menyelesaikannya. Dengan dalih “namanya juga anak-anak”, orang tua sangat berharap agar orang lain memaklumi kelakuan si anak. 

Dalam ilmu psikologi, situasi yang saya uraikan di atas bisa terjadi karena helicopter parenting yang sering dipraktekkan para orang tua.

Carolyn Daitch, Ph.D., direktur Pusat Penanganan Gangguan Kecemasan di Amerika Serikat mengemukakan, “Helicopter parenting adalah pola asuh orang tua yang terlalu fokus terhadap anaknya. Mereka biasanya mengambil terlalu banyak tanggung jawab atas apa yang dialami anak-anaknya, khususnya pada keberhasilan atau kegagalannya.”

Layaknya helikopter, orang tua akan terus melayang, mengitari, dan membayang-bayangi anaknya. Beberapa ciri di bawah ini mungkin bisa menjadi panduan apakah kita, sebagai orang tua, menerapkan pola pengasuhan tersebut.

Pada usia balita, anak-anak dengan pola pengasuhan helicopter parenting sangat dijaga ketika bermain dan mulai bergaul dengan orang di luar rumah. Bila mereka jatuh, mencoba-coba mainan baru, atau tampak akrab dengan teman sebaya; orang tua langsung melakukan pengawasan ekstra, dan cenderung banyak melarang si anak.

Pada usia sekolah, anak-anak dengan pola asuh ini diatur berteman dengan siapa, dan dicarikan guru yang paling top (yang tak selalu kompatibel dengan kemampuan si anak). Orang tua juga selalu mengatur segala kegiatan anak, dan terlalu ikut campur dalam mengerjakan tugas-tugas yang mestinya dilakukan oleh anak secara mandiri. 

Prestasi anak menjadi sangat penting dibanding hal lain. Helicopter parent menaruh perhatian lebih pada prestasi akademik anak. Misalnya, dalam kondisi apapun, anak harus selalu berada di peringkat teratas. Orang tua bahkan bisa protes kepada guru jika nilai anaknya tak sesuai dengan yang diharapkan.

Efek buruk dari pola pengasuhan di atas menjadi bahan diskusi dan penelitian para ahli psikologi perkembangan anak. Anak yang dibesarkan oleh helicopter parent berpotensi memiliki rasa percaya diri yang rendah, karena sejak kecil terbiasa dibuatkan keputusan oleh orang tuanya.

Kemampuan anak dalam problem solving atau memecahkan masalah juga tidak berkembang, karena orang tua terbiasa memastikan segalanya baik-baik saja. Anak-anak juga menjadi kurang kompeten dalam menghadapi tekanan hidup, mudah sekali cemas, dan bila terdesak akan seketika mengancam, “Nanti kuadukan sama bapak atau ibu, lho!”

Selain dari segi psikologis, helicopter parenting juga berdampak kurang baik bagi kemampuan anak dalam menguasai life skills, seperti makan, minum, mandi dan buang air, mencuci piring, membersihkan kamar, melipat baju atau mengemas barang sendiri. Anak menjadi kesulitan mengerjakan semua itu, karena sudah terbiasa diurus oleh orang tua.

Lalu, apa yang bisa dilakukan, agar kita sebagai orang tua tidak terjebak dalam pola pengasuhan helicopter parenting? 

Berkaca dari pengalaman pribadi, yang terkondisikan berada di bawah bayang-bayang kakak saya, membuat saya harus bekerja keras memperjuangkan keinginan dan impian sendiri. Memperjuangkan identitas saya sendiri, bahwa saya adalah Ivy, bukan adiknya seseorang, atau anaknya siapa, atau cucunya kakek saya.

Hal ini memang tidak mudah. Perlu waktu dan kesabaran untuk menelusuri apa yang bisa menjadi saluran aktualisasi diri yang cocok, sehingga bisa terbentuk eksistensi diri karena kompetensi di bidang tertentu, bukan karena latar belakang keluarga.

Sebagai orang tua, biarkan anak mengalami masalah atau tantangannya sendiri. Diskusikan dengan anak mengenai bagaimana caranya agar mereka bisa menghadapi masalahnya. Biarkan mereka memikirkan sendiri apa yang bisa dilakukan. Bila gagal, dorong semangat anak agar tak patah arang. 

Biarkan juga anak mengalami kegagalan atau kekecewaan, ajarkan cara mengevaluasinya, dan bagaimana bangkit lagi dengan strategi baru. 

Biarkan juga anak-anak melakukan pekerjaannya sendiri, sesuai usia perkembangannya. Tahan diri untuk menawarkan bantuan, tetapi amati bagaimana ia berproses. Bila anak belum mampu atau gagal, orang tua bisa mengevaluasi dan memberi masukan.

Sulit? Atau justru mudah? 

Memang perlu kekuatan menahan diri yang ekstra agar orang tua tidak selalu ikut campur dalam segala hal mengenai anak. 

Toh, kita tak mau jika ancaman yang biasa kita dengar saat kecil dulu, “Awas ya, kulaporin bapak atau ibu!” 

Berubah menjadi:

“Elo tahu nggak bapak gue siapa? Elo tahu apa risikonya kalau bapak gue yang ngurusin ini? Bakal kelar hidup lo!”

Ketika saat itu tiba, sesungguhnya akan lebih ekstra lagi perjuangan orang tua: harus membenahi pola pikir anak yang sudah terbentuk seperti itu, belum lagi mesti menyelesaikan masalah-masalah yang tak mampu mereka upayakan sendiri.

Pilihan ada di tangan Anda.

Ivy Sudjana, seorang ibu yang suka menulis. Suka membaca, menulis dan travelling.

[red/sk/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *