Site icon ghibahin.id

Gaming Disorder itu Berat, Kamu Engga Akan Kuat

Foto oleh Alexander Kovalev dari Pexels

“Harus ada komunikasi intens antara orang tua dan anak.”

Coba tanyakan ke para emak zaman now apa yang paling mereka khawatirkan dari perkembangan anaknya di era daring ini? Dari riset kecil-kecilan ke sekitar tiga puluh orang di circle saya, sebagian besar mengatakan bahwa mereka khawatir anak kecanduan bermain game online.

Sebelum saya lanjutkan, ada sebuah informasi yang harus SoHib ketahui terlebih dulu. Informasi tersebut adalah ternyata Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2018 lalu telah menetapkan kecanduan game online sebagai salah satu bentuk gangguan mental yang disebut dengan istilah “Gaming Disorder”. 

Gaming disorder ini termasuk dalam kategori kecanduan non zat atau kecanduan perilaku, seperti halnya kecanduan gawai, judi online, media sosial, porno, dan lain-lain.

Nah, wajarkan kalau para emak tersebut khawatir. Sebab biasanya anak-anak itu tidak hanya terpapar gaming disorder saja, tetapi juga kecanduan media sosial seperti YouTube dan WhatsApp. Setelah main game, terus lihat tutorialnya di YouTube, lalu disambung dengan diskusi di WA. Atau dibalik. Lihat tutorialnya dulu di YouTube, didiskusikan di grup WA, habis itu baru bertempur di game online

Pertanyaannya, kapan waktu buat belajar, makan, dan istirahat? Tentu saja waktu belajar dan istirahat akan tergerus sebagai ganti dari bermain game online.

Sebenarnya, sejak pandemi lalu, saya jadi agak maklum dengan anak-anak yang main game online. Lha, mau bagaimana lagi? Sudah jadi hal lumrah saat ini. 

Coba bandingkan dengan era 80-an sampai 90-an. Sangat berbeda bukan? Dulu kalau mau bermain di luar rumah sangat gampang. Tinggal pilih mau main apa. Bisa benteng-bentengan. Bisa gobak sodor. Bisa lompat karet. Bisa delik-delikan, atau yang bahasa kerennya hide and seek. Banyak pokoknya. Kalau sekarang? Main di luar rumah pun tetap saja yang dimainkan game online.

Lalu, di awal Maret tahun lalu, saya membaca sebuah berita di Detik.com tentang seorang anak SMP di Subang, Jawa Barat, yang menurut keluarganya, meninggal karena penyakit syaraf yang disebabkan kecanduan game online. Yah, walaupun kemudian dibantah oleh pihak IDI Surakarta, bahwa radiasi handphone tidak bisa menyebabkan penyakit syaraf. Namun, saya jadi berkesimpulan memang tidak seharusnya kita sebagai orang tua, memaklumi dan membiarkan begitu saja anak terlalu lama di depan layar handphone.

Memang kalau sudah kecanduan game online, akan ada banyak hal yang sangat merugikan bagi perkembangan anak-anak kita. Seperti yang terlihat di infografis di bawah ini, ada lima poin yang akan terganggu oleh kecanduan game online

Sumber: Freepik

Itu adalah efek sosial, obsesi, mengidam, gejala fisik, dan gejala psikologis. Masing-masing ada penjelasannya sendiri-sendiri. Silakan SoHib lihat lagi gambarnya kalau kurang jelas, malas saya kalau harus menulisnya lagi satu per satu. Menghabiskan jumkat saja. Hehehe.

Lalu, haruskah kita melarang anak bermain game online dengan membabi buta? Seorang temannya teman yang merupakan praktisi homeschooling menjawab hal ini. Beliau menjawab bahwa tugas utama orang tua itu ada dua. Yang pertama adalah menemukan potensi terbesar anak, dan yang kedua adalah mendampingi anak mencapai potensi itu. 

Jadi, kalau potensinya main game ya memang harus didukung. Lalu potensi dari main game ini juga luas sekali. Bisa gamers, coding atau yang lain (yang berhubungan dengan gaming). Orang tua pasti tahu, apakah itu kecanduan atau potensi.

Lalu, ada juga teman lain yang membuat semacam kesepakatan dengan anaknya. Kapan boleh main game online. Kapan mengerjakan tugas. Kapan nonton anime, dan kapan-kapan yang lainnya. Dan kesepakatan itu tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak, orang tua dan anak. Kalau sampai dilanggar ada konsekuensi berupa hukuman pilihan mereka sendiri. Ini keren sekali kalau menurut saya, karena harus ada komunikasi intens antara orang tua dan anak.

Teman yang lain memberikan anaknya kesibukan berupa kardus dan lem tembak. Buat apa kardus dan lem tembak? Jangan tanya deh, anaknya itu bisa buat kerajaan kecilnya sendiri. Hahaha. 

Jadi, sebisa mungkin berikan kesibukan lain yang membuat anak bisa melupakan game online. Mungkin yang membaca tulisan ini akan bertanya: itu kan anak orang lain, kalau anak SoHib sendiri bagaimana? Kebetulan kedua anak saya sekarang berada di daerah pinggiran yang jauh dari jalan utama. Sepanjang jalan yang bisa SoHib lihat adalah areal pertambakan di kanan dan kiri jalan. 

Awesome-nya lagi, di sana sinyal seringkali tiba-tiba nge-ghosting seperti Mas Kae. Jadi, ya jangan harap bisa main game online di sana. Apakah ini bencana atau anugerah? Entahlah, saya juga bingung harus pakai huhuhu atau hahaha.

Oh, iya, ada satu yang terlupakan. Ada ungkapan kalau anak adalah peniru terhebat. Jadi bila SoHib ingin anak mengurangi kebiasaan main game online, ya sebaiknya para bapak yang lebih dulu mengurangi mainnya. 

Jangan lupakan para emak juga harus mengurangi kegiatan media sosialnya kalau ingin mengurangi kebiasaan bermedia sosial putra-putrinya. Jangan nge-ghibah terlalu banyak, deh. Setuju nggak Bapak-bapak dan Ibu-ibu? Setuju sajalah, demi kebaikan anak-anak kita juga kan? 

Nanang Ardianto. Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

[red/rien]

Exit mobile version