ERACS Sang Dewi Kekebalan

Esai

“Orang-orang yang operasi cesar dengan memakai ERACS diharapkan kebal terhadap rasa sakit, sehingga dua jam setelah prosedur operasi, hendaknya bisa pulang ke rumah sendiri dengan berjalan kaki, lari sprint lebih bagus lagi.”

Minggu pertama bulan Juni ini, genap anak saya berusia 5 bulan. Pengingat di kalender ponsel saya pun tak lupa memberi tahu tentang jadwal vaksin anak saya selanjutnya. Wow. Ternyata sudah lima bulan bayi mungil ini lahir ke dunia. 

Lamunan saya melayang kembali ke lima bulan lalu di sebuah rumah sakit di kota saya tinggal. Jarak kehamilan saya yang kedua ini cukup jauh dari anak pertama saya, terpaut sekitar tujuh tahun. 

Faktor usia yang sudah tidak lagi muda, dan medical history saya ketika melahirkan anak pertama, membuat saya dan suami memutuskan untuk memilih metode c-section atau bedah cesar pada kelahiran anak kedua saya. Ini semua adalah hasil diskusi kami dengan dokter kandungan kami yang baik hati dan sangat solutif.

Ada metode baru dalam operasi cesar yang sedang tren saat ini. Namanya ERACS (Enhanced Recovery After Cesarean Surgery), digadang-gadang sebagai sebuah terobosan dalam dunia medis. Ibu yang melahirkan dengan bedah cesar tidak akan merasakan rasa sakit, begitu kalimat iklannya. Bahkan mama Gigi pun turut mengampanyekan ERACS ini pada saat dia melahirkan anak kedua, pangeran kerajaan RANS itu.

Lantaran tertarik melihat informasi dan iklan ERACS, saya pun menyampaikan keinginan saya kepada dokter kandungan. Dokter saya setuju, dan asyiknya lagi, ternyata di rumah sakit bersalin itu operasi cesar dengan ERACS tidak dikenakan biaya tambahan. Sip. 

Hari-H pun tiba. Prosedur operasi berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Ohya, sebagai catatan, ini operasi cesar pertama saya. Saya melahirkan anak tertua saya dengan persalinan normal, sehingga saya belum ada pengalaman soal dunia cesar.

Badan saya dibius di bagian perut ke bawah saja, jadi selama prosedur berlangsung, saya bisa mendengar para dokter dan nakes ngobrol. Sat, set, sret, srut, ting, bret. Mereka melakukan semua langkah seperti orang sikat gigi saja, seperti kebiasaan yang bisa dilakukan dengan mata tertutup. Dan tahu-tahu, anak kedua kami sudah lahir. 

Oke, sekarang ke bagian utamanya, yaitu ERACS si biang kerok sumber sambat saya. Jadi nampaknya bagi nakes-nakes, ERACS ini semacam dewi kekebalan. Orang-orang yang operasi cesar dengan memakai ERACS diharapkan kebal terhadap rasa sakit, sehingga dua jam setelah prosedur operasi, pasien ERACS hendaknya bisa pulang ke rumah sendiri dengan berjalan kaki, lari sprint lebih bagus lagi.

Sejak dimasukkan ke ruang observasi selama dua jam pasca operasi, saya sudah “ditandai” oleh nakes-nakes yang bertugas. Maka, ketika akan dipakaikan baju ganti, saya dipaksa mengangkat kaki. Menggerakkan badan kiri kanan. Kaki saya saja dua-duanya masih mati rasa, gimana ceritanya bisa diangkat? 

Saya sampaikan ke nakesnya, “Mbak, sakit banget perut saya, nggak bisa miring kiri kanan.” Tahu nggak dijawab apa? Nakesnya bilang dengan ketus tanda kasih sayang, “Dipaksa bu. Harus dipaksa.”

Oke, kata saya dalam hati. Mungkin memang ambang batas rasa sakit saya rendah sekali, sehingga saya lupa operasi yang menyayat 6 lapisan otot ini harusnya memang nggak sakit. Lebih mirip sakit kebaret sudut meja aja, kali. Saya pun memaksa badan miring kiri dan kanan. 

Lanjut ke ruang perawatan. Sepanjang lorong menuju ruang perawatan, berkali-kali saya dengar ada nakes bertanya kepada petugas yang mendorong tempat tidur saya, “Ini ERACS, kan?” Saya merasa semakin “ditandai”.

Menurut tata laksana prosedur ERACS, saya harusnya sudah bisa jalan enam jam setelah operasi dilaksanakan. Hah? Demi apa? Duduk saja saya masih harus dibantu suami saya. 

Maka pada jam keenam itu, ketika seorang suster masuk dan menanyakan, “Sudah bisa jalan, Bu?” Saya jawab saja dengan ketus, “Belum, Sus. Sakit.” Mimik muka saya masam sekali. Lah wong emang beneran masih sakit. Apalagi bius dari operasi perlahan mulai memudar.

Hampir 12 jam pasca operasi, saya belum punya niatan untuk berjalan. Mental saya tidak siap. Luka di bawah perut berdenyut-denyut. ASI saya belum keluar. Saya kelelahan. Saya hanya ingin istirahat. Namun saya juga sadar saya harus berusaha. Lalu saya pelan-pelan memiringkan badan ke kiri dan ke kanan, serta duduk sendiri. Namun belum berjalan. Belum.

18 jam pasca operasi, saya minta tolong untuk digantikan pembalut oleh nakes yang kebetulan berjaga. Jawabannya membuat saya syok, “Ibu sendiri aja ke kamar mandi, kan harusnya udah bisa jalan.” Oh. My. God. 

Antara marah dan sedih karena memang lelah dan kondisi hormon berantakan, saya terdiam. Saya pasang wajah benci kepada nakes satu itu. Saya ingat betul mukanya. Karena pernyataan yang membuat saya sakit hati berat. 

Sebagai pasien, saya nggak pahamlah ya bagaimana seharusnya tata laksana operasi ERACS itu. Yang saya tahu sakitnya minimalis, katanya. Lebih tidak sakit daripada operasi cesar konvensional, katanya. Namun, saya ingin menyampaikan kepada nakes-nakes yang menangani pasien ERACS. 

Kecuali kalian memang sudah merasakannya sendiri, jangan anggap bahwa ERACS itu serta merta menghilangkan rasa sakit. Seolah-olah pasien ERACS itu kebal. Rasa sakit tetap ada. Nyata. Bersemayam di sana. Tolonglah, tetap berempati kepada ibu-ibu yang masih dalam kondisi syok itu. Ada banyak hal terjadi bersamaan pada saat operasi cesar. Plis, kita hanya butuh empati. 

Namun saya akui, barangkali proses pemulihannya memang lebih cepat. Hari ketiga pasca operasi, saya memang sudah bisa wara-wiri memandikan bayi. Jalan ke sana ke mari. Semua aktivitas normal bisa dilakukan, walau dengan kecepatan yang menurun.

Bagi bunda-bunda yang sudah berencana melahirkan secara c-section dengan menggunakan ERACS, saya tidak akan melarang. Dan tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti bunda semua. Lanjutkan apa yang menurut bunda baik. 

Saya sekadar berbagi pengalaman. Mungkin memang nasib saya saja tidak terlalu berjodoh dengan keampuhan ERACS itu. Atau lagi apes aja, dapet gerombolan nakes minim empati. 

Saya pasien melahirkan dengan ERACS dan saya simpulkan, pakai ERACS pun akan tetap ada rasa sakit. Rasa sakit nampaknya sudah menjadi bagian tak terelakkan dari proses melahirkan.

Listra Mindo Lubis, Ibu rumah tangga dengan 2 anak. Tinggal di Depok.

[red/sk]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *