Era Digital, Kok Siswa Dilarang Membawa Gawai?

Esai

“Kemudahan yang diberikan smartphone dalam mengakses internet membuatnya memiliki nilai manfaat yang seolah tak terbatas.”

Belum genap sepekan kemarin, seorang ibu setengah baya mengeluh kepada saya perihal anaknya yang mulai menunjukkan gejala kecanduan bermain game. Sambil mengomel panjang lebar, ibu tersebut mengutuki bahwa semua itu terjadi karena pandemi yang berkepanjangan, sehingga pembelajaran harus dilakukan secara online melalui gawainya masing-masing. Penggunaan gawai saat belajar inilah yang kemudian ditengarai sebagai pintu masuk anak-anak mengenal dan akhirnya kecanduan bermain game

Tapi benarkah demikian, Ki Sanak? 

Sebenarnya, fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing, apalagi baru. Banyak dari kita juga meyakini bahwa di luar sana orang tua lain banyak yang mengalami keluhan serupa. Tidak salah juga jika pandemi dianggap sebagai biang kerok yang berpengaruh pada perilaku anak-anak, karena deretan faktanya memang terasa amat nyata. Bukan hanya menimpa pada pelajar di tingkat atas atau menengah saja, tetapi juga pada siswa tingkat dasar alias SD, bahkan anak-anak yang baru masuk TK. 

Akan tetapi, menyalahkan pandemi saja tentunya blas ra mashook, alias tidak fair. Lha gimana, jadi orang kok sukanya mencari kambing hitam melulu. Saya melihat, bahwa disadari atau tidak, diterima atau tidak, sebenarnya sekolah juga turut andil dalam menciptakan fenomena seperti ini. Salah satu penyebabnya justru cukup remeh, yaitu adanya larangan bagi siswa untuk membawa gawai di sekolah. 

Saya yakin, pendapat saya ini sulit diterima di benak para orang tua, apalagi para guru. Meraka kebanyakan akan berasumsi sebaliknya, bahwa larangan membawa gawai di sekolah justru demi kebaikan siswa, agar siswa tidak menyalahgunakan gawainya untuk bermain game, mendengarkan musik, dan menonton video saat pembelajaran, atau malah mengakses konten pornografi. 

Sekilas, alasan tersebut terasa benar dan sangat masuk akal. Akan tetapi, justru dari sinilah pangkal masalahnya. Jika direnungkan lebih dalam, larangan menggunakan gawai di sekolah justru akan menjauhkan siswa dari manfaat yang lebih besar dari penggunaan gawai itu sendiri. 

Di era revolusi industri 4.0 ini, penggunaan perangkat teknologi informasi berupa gawai mustahil dihindari dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal apapun, manusia justru sangat dimudahkan dengan adanya gawai. Keberadaan smartphone tidak melulu hanya sebagai alat komunikasi, sebagaimana jaman kejayaan Nokia dan kawan-kawannya dulu.

Kemudahan yang diberikan smartphone dalam mengakses internet membuatnya memiliki nilai manfaat yang seolah tak terbatas. Mulai dari informasi terbaru, belanja, layanan kesehatan, bisnis, investasi, atau sekadar konten hiburan, semuanya bisa dikendalikan lewat smartphone

Dalam dunia pendidikan, kehadiran gawai jelas sangat bermanfaat untuk memudahkan kegiatan belajar mengajar. Pandemi menjadi cermin bagi kita, menunjukkan bahwa tranformasi teknologi informasi dalam pembelajaran berlangsung begitu cepat, masif, dan sistematis.

Guru, meskipun tertatih-tatih, telah berikhtiar semaksimal mungkin dalam memanfaatkan teknologi sebagai sarana belajar, membersamai para siswanya. Pada akhirnya, tanpa sadar kita telah terbiasa melakukan virtual meeting, membuat konten belajar digital, dan sejenisnya. 

Sayangnya, ketika pandemi mulai mereda dan pembelajaran tatap muka berangsur normal, sisi positif dari perangkat teknologi ini tidak terus dioptimalkan. Selain mengalami penurunan efektivitas dan efisiensi penggunaan gawai dalam pembelajaran, tidak sedikit pula sekolah yang balik menerapkan larangan membawa gawai bagi para siswanya, tentu disertai dengan sanksi bagi siswa yang melanggar aturan tersebut. Ironisnya, di sisi lain, guru juga mulai sulit melepaskan gawai dari tangannya sendiri. 

Hal ini patut dipertanyakan, karena dengan melarang siswa membawa gawai, siswa tidak lagi bisa memanfaatkan gadgetnya untuk mengakses konten belajar yang lebih variatif atau mencoba berbagai aplikasi digital yang membantu dalam proses belajar. Misalnya aplikasi desain poster, pengolah musik digital, video pembelajaran, kamus online, aplikasi percakapan bahasa asing, animasi proses fisiologi tubuh, laboratorium virtual fisika, dan lain sebagainya, yang dapat memperkaya pengalaman belajar siswa sebagai generasi era digital. 

Saya justru menduga bahwa di balik larangan penggunaan gawai tersebut, tersembunyi alibi sebagian guru untuk menutupi kemalasan dan kegagapannya untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Akibatnya, guru semakin kurang referensi, sehingga tingkat literasi digitalnya tidak berkembang.

Jika demikian yang terjadi, bagaimana dengan siswanya? Maka jangan menyalahkan jika siswa hanya memanfaatkan gawainya tersebut sebagai perangkat hiburan belaka. Bermain game online, membuat konten yang kurang bermanfaat, bahkan mengakses dan menyebarkan konten pornografi.

Kondisi serupa juga banyak ditemukan di sekolah-sekolah pinggiran atau di desa. Cukup banyak sekolah yang melengkapi fasilitas teknologi hanya untuk keperluan promosi dan branding sekolah. Bahwa sekolah tersebut memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung pembelajaran, padahal hanya sebagai gagah-gagahan saja. 

Membangun laboratorium atau ruang multimedia, membeli banyak unit komputer dengan spesifikasi tinggi, tetapi justru tidak banyak digunakan oleh siswa untuk mengembangkan kompetensinya. Karena dibeli dengan biaya mahal, pengelola sarana dan prasarana berdalih bahwa fasilitas tersebut akan cepat rusak jika terlalu sering digunakan oleh siswa.

Sebuah alasan yang menurut saya sangat nganu sekali. Saya justru senang jika fasilitas sekolah rusak karena dipakai siswa belajar, ketimbang rusak karena terbengkalai dan berkarat karena tidak pernah disentuh sama sekali. 

Pada akhirnya, lemahnya literasi digital guru menjadi ancaman yang serius bagi perkembangan kompetensi siswa di masa depan. Lalu apa yang terjadi jika teknologi informasi telah berkembang sedemikian pesat, tapi para guru justru acuh tak acuh dan berdiam diri?

Muhammad Makhdum. Penulis adalah guru IPA SMP, tinggal di Tuban.

[red/bp]

2 thoughts on “Era Digital, Kok Siswa Dilarang Membawa Gawai?

  1. Mak jleeebb…terima kasih. Sangat bermanfaat, memotivasi saya agar lebih banyak belajar IT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *