Site icon ghibahin.id

Empati Antara Ibu dan Anak dalam Perspektif Psikoanalisis

Esai

Foto oleh Quang Nguyen Vinh dari Pexels

“Perkembangan empati seseorang ditandai dengan kemampuannya memahami perasaan orang lain yang berbeda dengan perasaannya”

Pada tahun 2011 silam, saat itu saya masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar, sekolah sedang melakukan pembagian tas sekolah secara gratis kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sayapun berharap masuk dalam salah satu anak yang mendapatkan bantuan tas gratis dari sekolah. Karena saya merasa berasal dari keluarga tidak mampu, tas yang saya pakai saat itu bisa dikatakan sudah tidak layak pakai. 

Namun pada akhirnya harapan itu, tidak sesuai kenyataan. Setelah rela menunggu sekitar satu jam lebih, pada akhirnya tidak dipanggil juga. Saya beranjak keluar ruangan dan seketika itu menangis. Ini merupakan kekecewaan pertama yang saya rasakan.

Sesampai di rumah, ibu yang ikut mendampingi dalam kegiatan tersebut, memeluk saya. Dia juga berusaha meredakan tangis dan menghibur saya–berjanji akan membelikan sebuah tas yang baru untuk di pakai di sekolah.

Apa yang dilakukan ibu kepada saya merupakan bentuk rasa empati, yang melekat sejak dia mengasuh anaknya dari awal kelahiran. Empati adalah kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan orang lain dan mencoba membayangkan diri sendiri berada di posisi orang tersebut. Perasaan tersebut dapat berupa rasa sedih yang timbul karena melihat kesedihan orang lain, akibat ditimpa musibah, bencana atau keburukan nasib lainnya. 

Sekalipun seseorang tidak mendapatkan musibah dan seharusnya tidak merasakan kesedihan, tetapi melihat orang lain yang sedih, seketika itu muncul dalam dirinya perasaan sedih yang sama dengan orang yang tertimpa musibah. Dalam kondisi yang saya alami, ibu saya bisa merasakan apa yang saya alami pada saat itu, sehingga dia mencoba menenangkan dengan memberikan perhatian yang begitu dalam.

Hal ini sejalan dengan apa yang disebutkan dalam teori-teori psikoanalisis tentang kemunculan konsep empati yang lebih pada konteks interaksi emosional antara ibu dan anak. Yaitu bagaimana seorang ibu dapat meredakan kemarahan anak, memberikan pelukan kehangatan yang menyenangkan, memberikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi dan sebagainya. 

Demikian juga tentang bagaimana anak dapat menempatkan diri dalam memahami peran orang tua dalam keluarga. Orang tua juga menyadari akan adanya perbedaan kapasitas pada diri anak-anaknya, ada anak yang memiliki kemampuan intelektual lebih tinggi dibanding anak-anak lainya, tapi ia memiliki pergaulan sosial yang kurang baik.

Ada juga anak yang kurang cerdas, tapi memiliki pergaulan sosial yang baik. Implikasinya, perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua diberikan secara objektif berdasarkan tingkat kebutuhan anaknya, bukan didasarkan pada faktor emosional orang tua, seperti suka atau tidak suka. Di sinilah dapat kita lihat peran penting empati dalam hubungan individu orang tua dan anak.

Masih dalam perspektif psikoanalisis, empati merupakan pusat dari hubungan individu orang tua dan anak. Dalam hubungan keluarga, antara ibu dan anak memiliki hubungan empati yang saling membutuhkan. Seorang tokoh psikoanalisis menyebutnya sebagai empati primitif, yang mana orang tua berempati kepada anak dan anak berempati kepada orang tua, hal itu merupakan empati dasar yang umum dimiliki. 

Misalnya dalam kultur Indonesia, hubungan orang tua khususnya ibu dan anak sangat dekat. Di mata seorang ibu anak merupakan belahan jiwanya, pada situasi tertentu perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya tidak hanya sekedar berorientasi dalam pemenuhan kebutuhan anak-anaknya, melainkan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri.

Dari pandangan tokoh-tokoh psikoanalisis tersebut kita dapat mengetahui bahwa sejatinya empati ada sejak seseorang lahir. Hal itu juga ditegaskan oleh Hoffman–yang mana telah menjadi pengetahuan umum–bahwa seorang bayi ketika mendengar tangisan bayi yang lain mereka juga ikut menangis. 

Empati bayi mendengar bayi yang lain menangis, muncul dan diekspresikan dengan tangisan pula. Hoffman menambahkan, ekspresi tumbuhnya empati pada bayi mulai beragam, tidak hanya menangis, seiring dengan pertumbuhan usianya, seperti pada bayi usia 6 bulan yang mengekspresikan empati mendengar dan melihat orang lain menangis dengan menampilkan wajah yang muram.

Pada usia dua tahun, perkembangan empati seseorang ditandai dengan kemampuannya memahami perasaan orang lain yang berbeda dengan perasaannya sehingga membuatnya lebih peka terhadap berbagai ungkapan perasaan orang lain.

Demikianlah sikap seorang ibu kepada anaknya yang melihat kesedihan anaknya merupakan kesedihannya juga. Hal itu terbentuk dari hubungan empati antara ibu dan anak sejak lahir. Yang mana ketika seorang ibu melahirkan anaknya secara otomatis dia akan kembali mengenang posisi dirinya ketika dulu dilahirkan dan diasuh oleh orang tuanya. 

Hal ini selaras dengan apa yang dikemukakan oleh seorang tokoh psikologi object-relation, dia memandang bahwa empati keibuan merupakan wujud dari kematangan seseorang. Karena ketika dia telah menjadi ibu, dia akan mampu merasakan bagaimana ibunya dahulu memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kehidupanya.

Jadi, secara sederhana dapat kita pahami bahwa empati dilakukan oleh orang tua kepada anaknya (dan juga sebaliknya), seperti yang saya dan ibu saya alami, dalam teori psikoanalisis bukanlah sesuatu yang unik. Melainkan karena memang antara orang tua dan anak saling memberi dan menerima kondisi masing-masing.

Pada dasarnya antara orang tua dan anak tidak bisa dipisahkan, yang satu menjadi bagian yang lain. Oleh karena itu, empati merupakan pembawaan sejak lahir yang diturunkan orang tua kepada anaknya. Orang tua yang berempati akan melahirkan anak yang berempati.

Meskipun demikian empati dapat berkembang dalam kehidupan. Artinya bahwa faktor pembawaan ini tidak bersifat mutlak. Bisa saja seorang telah memiliki potensi-potensi empati yang diperoleh secara genetis dari orang tua. Namun seseorang dapat melatih dan meningkatkannya seiring dengan bertambahnya usia serta pemahamannya tentang diri sendiri dan orang lain. (red/rien)

Aslan F Latingara, sedang menempuh pendidikan Program Pascasarjana S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Exit mobile version