Site icon ghibahin.id

Dalil Qat’i Nasionalisme dan Moderasi Beragama Kita

ghibahin

Photo by ahmad syahrir: https://www.pexels.com/photo/motor-boat-near-dock-during-sunset-758742/

“Maka, mencintai bangsa sungguhlah merupakan sunnah Nabi Muhammad yang patut kita ikuti.”

Baru-baru ini, kampus tempat saya mengabdi mengadakan penguatan moderasi beragama yang diperuntukkan bagi para dosen. Panitia mengundang seorang guru besar dari UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof. Ahmad Zainul Hamdi, untuk memberikan pengarahan dengan tema dakwah moderasi beragama di media digital.

Dalam kegiatan tersebut, ada sebuah tangkapan layar yang ditampilkan Cak Inung, sapaan akrab beliau, berisi sebuah cuitan dari  seorang eks-pentolan HTI. Bunyinya, “Membela nasionalisme nggak ada dalilnya, nggak ada panduannya. Membela Islam jelas dalilnya, jelas panduannya.”

Meskipun cuitan itu jelas berpotensi mengadu domba antara konsep cinta bangsa dan cinta agama, jujur saja, ini adalah pernyataan yang sulit disangkal. 

Bagaimana tidak sulit? Pada dasarnya memang tidak ada dalil yang tersurat dengan jelas mengenai perintah untuk mencintai tanah air. Saya pernah mendengar ceramah Habib Luthfi bin Yahya, yang mengatakan bahwa dasar yang memperbolehkan nasionalisme adalah sebuah hadis: “Cintailah Arab karena tiga hal, karena saya (Muhammad) adalah seorang Arab, dan Alquran berbahasa Arab, dan dialog penghuni surga adalah bahasa Arab.” (H.R. Hakim dan Tabrani)

Namun, benarkah hadis tersebut tepat dijadikan landasan bagi konsep nasionalisme? Jawabannya tentu bisa ya, bisa tidak. Apalagi mengingat bahwa ada cendekiawan lain seperti Al-Jauzi (wafat 1200 Masehi) yang meletakkan hadis tersebut dalam kitab Al-Maudu’at (kumpulan hadis-hadis palsu).

Quraish Shihab pun pernah menyampaikan sebuah khotbah bertemakan nasionalisme. Melihat beliau sebagai ulama tafsir terkemuka, saya penasaran dengan landasan yang beliau gunakan sebagai pijakan nasionalisme. Adalah surat Thaha (20:55) yang menjadi pijakan beliau atas nasionalisme. Manusia sebagai makhluk yang tercipta dari tanah, secara naluriah akan mencintai tanah airnya. Jadi, mencintai tanah air adalah murni sifat dasar manusia yang terlahir di atas Bumi ini.

Sejauh ini, saya meyakini bahwa memang tidak ada “dalil tersurat” yang mendukung nasionalisme. Hingga suatu saat, saya membaca sebuah teks perjanjian yang diinisiasi oleh Nabi Muhammad saat beliau tiba di Madinah. Teks yang biasa disebut dengan Piagam Madinah maupun Sahifah Yatsrib ini merekam dengan jelas kesepakatan antara Nabi Muhammad, kaum Quraisy, dan suku-suku Yatsrib untuk bahu-membahu berjuang bersama membela “negara” yang disebut dengan klausul “Ummah Wahidah”:

Ini adalah kitab perjanjian dari Muhammad Sang Nabi antara kaum muslim dan kaum mukmin yaitu Quraisy, Yatsrib, orang-orang yang mengikutinya, sepakat dengannya, dan berjuang bersama. Mereka (kita) adalah ummah wahidah ‘umat yang satu’ di antara sekian banyak manusia.”

Ummah wahidah adalah simbol sebuah kesatuan yang kemudian diperjuangkan bersama-sama demi sebuah keutuhan. Orang-orang Yahudi juga tidak sungkan untuk berbondong-bondong berjuang bersama demi ummah wahidah ini. Pasal 27 menyebut jelas bahwa, “Sesungguhnya kaum Yahudi dan kaum mukmin bersama-sama memikul biaya perang selama masa peperangan. Sesungguhnya Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan kaum mukmin.” Selanjutnya, disebutkan jugaf mengenai orang-orang Yahudi dari suku lain yang mendapatkan hak yang sama dengan Yahudi Bani Auf di atas.

Kerjasama di antara pemeluk berbagai agama dalam satu ikatan ummah wahidah ini layak dijadikan landasan nasionalisme bagi rakyat Indonesia. Dalam proklamasi kemerdekaan, kita juga menyebut ”Kami Bangsa Indonesia”. Bukankah ini mirip dengan deklarasi ummah wahidah yang saya sebut di atas. Maka, mencintai bangsa sungguhlah merupakan sunnah Nabi Muhammad yang patut kita ikuti. Dengan begitu, masihkah kita ragu untuk hormat bendera?

Sementara itu, konsep moderasi beragama yang dikampanyekan oleh Kementerian Agama mempunyai empat indikator, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, serta ramah terhadap tradisi lokal.

Indikator pertama hingga ketiga, tidak perlu saya jelaskan lagi. Sudah banyak dasar dan nilainya dalam Alquran hingga hadis Nabi. Namun, bagaimana dengan ranah tradisi lokal? Dalam perjanjian yang digagas oleh Nabi Muhammad pada 2 November 622 Masehi tadi, juga terdapat klausa tentang menjaga adat istiadat setempat. Hal ini tertera pada klausa “rib’ah”, yang berarti adat istiadat.

Dalam pasal 2 hingga 10, klausa yang menjamin suku-suku untuk tetap menjalankan adat istiadatnya tercantum dengan jelas. Misalnya, “Bani ‘Auf tetap dalam adat istiadat, bahu membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.” Maka, kaum mukmin kala itu tidak memiliki hak sedikit pun untuk mengubah tradisi suku-suku Yatsrib. Yang ada, Nabi Muhammad justru memberikan jaminan bahwa rib’ah mereka tetap lestari dan terjaga.

Kalau sudah begini, bersikap moderat (termasuk ikut hormat bendera) bisa dipastikan sebagai perbuatan sunnah yang kelak mendapatkan pahala. Wallahu a’lam.

Ahmad Natsir, sedang mengabdi di UIN Satu Tulungagung.

[red/bp]

Exit mobile version