Cara-Cara Menikmati Film, biar Nggak Cuma Nurut Kata Influencer

“Jangan gampang merasa insecure dengan selera orang lain, karena mestinya kita merdeka menentukan selera kita sendiri.”

Pernah nggak sih, ketika SoHib berencana nonton film yang sudah lama ditunggu-tunggu, tapi tiba-tiba lihat story Instagram seseorang yang mengatakan bahwa film itu ternyata jelek?

Kalau itu terjadi, gimana? Jadi nggak, nontonnya?

Jangan gampang percaya review film

Jika ada hal yang paling menjemukan dari media sosial, mungkin salah satunya adalah bagaimana pendapat orang-orang di dalamnya seakan memaksa untuk membagi menjadi dua kubu yang saling membatalkan satu sama lain. Baik atau buruk, benar atau salah, benci atau suka. 

Selain berbagai oposisi biner tadi, media sosial menampakkan dua kecenderungan hierarkis yang berelasi satu sama lain, yakni antar orang-orang yang mempengaruhi dan orang-orang yang dipengaruhi.

Nah, dinamika hubungan mempengaruhi-dipengaruhi inilah yang terjadi ketika kita galau jadi nonton atau tidak setelah melihat komentar orang lain di media sosial. Gara-gara nonton ulasan film di Youtube atau melihat review amatiran di story Instragram tadi, misalnya, kita jadi nggak percaya diri dengan selera yang kita miliki. 

Apalagi jika para influencer sudah turun tangan, pasti banyak orang akan berbondong-bondong menyepakati. Seakan-akan ada kepastian bahwa komentar mereka valid dan layak mempengaruhi setiap keputusan yang kita buat. Padahal, belum tentu mereka punya cara menilai yang sama dengan kita. Dan sering terjadi, penilaian saya bertentangan dengan ulasan mereka.

Masa iya, mau nonton doang harus nunggu komentar selebgram? Hehehe. Jadi, bagaimana sebaiknya cara kita menikmati film?

Menemukan sendiri cara menikmati film

Ada banyak cara menikmati film, dan sah-sah saja jika setiap orang punya caranya masing-masing. Film yang menurut orang lain jelek, bukan berarti jelek juga dalam penilaian kita, dan begitu pula sebaliknya. Jika ada sebuah film yang menurut pendapat SoHib bagus, maka pendapat orang lain tidak perlu terlalu dihiraukan, karena bagus atau tidaknya sebuah film (termasuk selera terhadap hal-hal lainnya) adalah pengalaman personal yang hanya terjadi di dalam pikiran kita sendiri.

Kenikmatan menonton juga ditentukan oleh apa yang kita cari dalam sebuah film. Ada yang menonton film karena sekadar membutuhkan hiburan, sehingga cenderung segan untuk menonton film-film yang rumit. Ada juga yang memang suka mikir, sehingga menghindari film-film yang menurutnya terlalu receh. Keduanya sah-sah saja.

Namun ada juga yang menonton film demi pengalaman menonton itu sendiri. Orang-orang seperti ini (termasuk saya, hehehe) berharap mendapatkan hal-hal baru yang didapatkan dari menonton film, entah itu sensasi hiburan, pengetahuan, atau justru perenungan. Tentu, standar personal—seperti soal teknis pembuatan film, preferensi genre, atau performa para aktor, misalnya—akan selalu ada, tapi yang dicari adalah kebaruan (pengalaman baru) dalam menonton film.

Nah, sekarang gimana cara SoHib menikmati film? Ada juga lho teman saya yang sukanya nonton sinetron, karena bisa ditonton sambil setrika pakaian. Begitu juga nggak masalah, kan? 

Kalau ada teman yang bilang sekuel Pengabdi Setan itu jelek, misalnya, sementara menurut SoHib film itu bagus, jangan lantas jadi galau. Jangan gampang merasa insecure dengan selera orang lain, karena mestinya kita merdeka menentukan selera kita sendiri. Kalau penasaran, ya nonton saja dan nilai sendiri. Beda selera itu biasa, yang jadi masalah itu kalau selera kita selalu diatur oleh orang lain.

Memperkaya referensi

Kadang-kadang, kita menilai sebuah film jelek karena memang belum nyampe referensinya (jangan salah, saya juga masih punya kriteria film jelek, hehehe). Pendeknya, ada detil-detil informasi yang belum kita pahami, sehingga gagal menemukan sesuatu yang bisa diapresiasi. Misalnya, jika SoHib menonton film Fight Club saat masih SMP, tentu berbeda apresiasinya saat menonton di usia dewasa.

Seperti yang saya bilang tadi, selera setiap orang memang berbeda-beda. Tapi bukan berarti selera itu bersifat stagnan. Selera juga bisa berkembang jika referensi kita bertambah.

Saya cukup sering mengalami persoalan referensi ini. Salah satunya, dulu waktu masih kecil, saya pernah menonton sebuah film yang terasa sangat aneh. Film itu saya tonton di RCTI, saat tengah malam ketika orang tua pergi ke luar kota. Dari pakaian dan bahasanya, saya berasumsi bahwa itu adalah film Jepang (kalau dipikir-pikir, di akhir dekade ’90-an ada film Jepang di TV nasional adalah sebuah momen yang langka).

Karena bahasa yang terdengar asing, nuansanya yang aneh, dan gelagat karakter-karakternya yang tidak wajar, film yang saat itu tak saya ketahui judulnya itu membuat saya ketakutan dan tidak bisa melupakan betapa anehnya film itu, hingga berpuluh tahun selanjutnya.

Baru belakangan saya mengetahui film itu berjudul Dream (1990), besutan sutradara legendaris Akira Kurosawa. Saya menontonnya kembali baru-baru ini, walaupun masih menyisakan perasaan aneh, tapi ternyata saya bisa menikmati referensi artistik yang dimaksud sang sutradara.

Semakin banyaknya tontonan yang tersedia, mulai dari yang tersedia di TV, Youtube, bioskop, hingga layanan streaming seperti Netflix, mau tidak mau memaksa kita untuk memperkaya referensi. Bahkan untuk bisa menikmati film-film superhero ala komik Marvel dan DC pun butuh referensi.

Referensi membantu kita untuk semakin menikmati film yang kita tonton, tak peduli tentang apa saja referensi yang dimaksud. Referensi filsafat, misalnya, membantu saya menikmati miniseri Midnight Mass dengan mempertanyakan alegori apa yang sedang dibahas dalam ceritanya.

Bahkan referensi teori konspirasi bisa membuat film sesederhana Alien vs Predator, atau bahkan Spongebob Squarepants, jadi lebih menarik. Tentu sampai saat ini masih ada saja film yang saya nggak mudeng, tapi semoga ada referensi yang bisa saya dapatkan di kemudian hari sehingga saya bisa memahami dan mengapresiasinya dengan lebih baik.

Membuat film itu bukan perkara gampang. Penulis cerita dan sutradara punya referensi masing-masing yang ingin mereka ungkapkan ke dalam film. Apalagi film-film besar, seringkali melibatkan eksperimentasi pikiran yang tentu hanya bisa dikuasai setelah mendapatkan berbagai referensi. Artinya, para pembuat film ini pasti juga banyak membaca, dan untuk bisa memahami apa yang mereka ingin sampaikan, kita juga harus mengimbanginya dengan membaca lebih banyak hal.

Aneh juga ya, kalau dipikir-pikir. Untuk bisa menikmati film, ternyata kita justru harus banyak membaca.

Bhagaskoro Pradipto, bapak-bapak biasa, menonton film sambil mengunyah gorengan.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *