Berhalalbihalal dengan Alam

Esai

“Halalbihalal tidak ada dasarnya dalam agama. Di kitab kuning pun tidak disebutkan kata itu. Namun, ini adalah salah satu bid’ah yang baik yang ditemukan manusia.” 

Almarhum Kiai Agus Mas’ud, seorang tokoh agama di Sukomoro, Nganjuk pernah memberikan sebuah sambutan demikian dalam momen halalbihalal di pesantren Al-Islam, tahun 2014 lalu. Saya baru menyadari, itu adalah momen terakhir saya melihat beliau memberikan ceramah, sebelum beliau dijemput oleh Sang Mahakuasa, pada tahun 2020 lalu. 

Ceramah tersebut disampaikan sebelum Ahmad Baso, seorang filolog, menemukan kata halalbihalal dalam sebuah naskah Jawa asal Demak-Cirebon abad 17-18 yang disimpan di India Office Library di London.

Halalbihalal selama ini memang menjadi tradisi rakyat Indonesia, sebagai wadah silaturahmi untuk saling memaafkan. Konsep saling memaafkan ini memang sangat didukung oleh etika beragama. Singkatnya, agama apapun selalu mendukung umatnya untuk bermaaf-maafan dan menyebarkan kedamaian.

“Sing tua akeh lupute, sing enom gede pangapurane.” Artinya: “Yang tua banyak salahnya, yang muda banyak memberi maafnya.” Kalimat itu selalu terdengar ketika saya dan teman-teman yang lain sowan ke tetangga-tetangga yang lebih sepuh. Belakangan, akhirnya saya mengetahui alasan mengapa ungkapan tersebut diciptakan. 

Halalbihalal selama ini hanya berlangsung dalam dimensi “antroposentris”. Maksudnya, pemaknaan halalbihalal terpusat pada aktivitas manusia yang saling maaf-memaafkan dengan sesama manusia lainnya.

Pemaknaan ini menyebabkan manusia melupakan dimensi lainnya, yaitu dimensi manusia dengan lingkungan ‘eko-antroposentris’. Manusia, sebagai penghuni tetap planet Bumi, semestinya juga berhalalbihalal kepada lingkungannya, memohon maaf kepada alam yang menjadi tempat tinggalnya.

Bagaimana tidak? Apapun yang dilakukan oleh manusia, mulai dari duduk, berdiri, hingga berbaring, pasti selalu melibatkan bumi sebagai alas untuk berpijak. Bahkan kita semua memanfaatkan alam ini sebagai tempat pembuangan. Mulai dari limbah yang dikeluarkan manusia itu sendiri, hingga limbah yang berasal kebutuhan kita sehari-hari.

Maka, berhalalbihalal dengan alam sudah seharusnya dilakukan, dan ada banyak cara untuk melakukannya. Misalnya, dengan menghentikan kebiasaan membuang sampah di sembarang tempat, menanam lebih banyak pohon, menghentikan penggundulan hutan, mengurangi penggunaan perabot berbahan kayu, serta banyak hal lainnya.

Sekecil apapun bentuk halalbihalal kita kepada alam, kita selalu berharap alam memberikan maafnya kepada kita. Maaf yang diberikan alam terwujud melalui tidak terjadinya banjir, misalnya, walaupun banyak dari kita masih sering membuang sampah di aliran air. Atau, dengan tidak terjadinya air bah, meskipun pohon-pohon di gunung telah kita sulap menjadi mebel dan perabot rumah tangga. Tidak pula mengirimi kita longsoran tanah, meskipun akar-akarnya tak lagi menunjang, karena pohonnya telah mati, kita jadikan kursi, dan lemari.

Sudah banyak film yang mendokumentasikan alam kita yang semakin rentan, berbanding lurus dengan sikap kita yang juga tidak peduli. Kita hanya scroll berita tentang perusakan lingkungan, namun membiarkan semua terjadi begitu saja. Kita hanya sekadar mengetuk dua kali sebagai like, kemudian mencari berita lain yang lebih membahagiakan.

Origin, sebuah novel karya Dan Brown memberikan prediksi akan tergusurnya sapiens di waktu yang akan datang. Sebuah genus keenam yaitu AI (Artificial Intelligence) akan menggerus eksistensi manusia.

Hemat saya, Dan Brown melewatkan satu hal lagi yang akan memusnahkan manusia, yakni mikroplastik. Berita terakhir yang saya baca mengabarkan bahwa potongan plastik yang berukuran kurang dari satu milimeter sudah masuk dalam tubuh manusia dan beredar di pembuluh darah.

Manusia sedang melangkah pasti menuju malapetaka, menciptakan pemusnahnya sendiri. Cepat atau lambat kita akan dilahap olehnya, oleh “makhluk” yang kita ciptakan sendiri.

Membuang sampah di sungai, eksploitasi alam tanpa ampun, serta berbagai hal lain yang bersifat destruktif kepada alam, hanyalah wajah kita yang tidak sabar menyambut kemusnahan kita sendiri. Mengerikan, tapi bagaimana lagi?

Apakah kita menanti alam melakukan open house?

Ahmad Natsir, pecinta alam dan kasih sayang sesama manusia.

[red/jie/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *