Site icon ghibahin.id

(Belajar) Berhenti Mengatur Tuhan

ghibahin

ghibahin

“Sebagai manusia, pengetahuan kita akan masa depan bisa dibilang nol besar. Yang kita bisa hanya sebatas memprediksi, itu pun sering meleset.”

Tahun ini hampir 16 tahun saya bekerja sebagai PNS di Magetan. Masa-masa awal saya bekerja adalah masa saat pekerjaan sebagai PNS sama persis kondisinya dengan cibiran netizen untuk PNS saat ini: santai dan bisa bebas main Zuma dan Feeding Frenzy sampai level mentok. Sekarang tentu kondisinya sudah jauh berubah, kalau masih ada PNS yang hari-hari kerjanya santai, itu hampir pasti antara dia malas atau bermuka badak.

Saya, si fresh graduate yang baru pertama kali bekerja selepas lulus kuliah, masih single dan merasa butuh tantangan lebih, merasa jenuh dengan keadaan semacam itu, padahal saat itu pun pekerjaan kantor sudah saya sambi dengan berjualan bermacam-macam barang dan merintis jualan online berbasis blog, karena pada masa itu marketplace seperti Shopee dan Tokopedia belum ada.

Ketika kemudian ada kabar bahwa kantor kami akan digabung dengan kantor lain, saya menunggu dengan tidak sabar. Saya sangat berharap akan ada perubahan suasana. Saya berdoa semoga penggabungan itu akan terwujud secepatnya.

Doa saya dikabulkan. Kantor kami pindahan, beberapa teman akrab saya harus pindah dengan kondisi tersebut. Pimpinan kantor juga berubah. Suasana kerja yang dulu santai kaya di pantai berubah total, menjadi serius dan (mungkin) sedikit horor. Horornya tentu bukan horor mistis, tapi horor tegang. Salah seorang pejabat di kantor baru itu mengatakan bahwa selama ini kami di kantor lama terlalu di-ninabobok-an. Jadi saat ini adalah masanya kami bangun dari tidur panjang dan menghadapi kenyataan.

Saya stres dengan perubahan drastis ini, meskipun di kantor baru pekerjaan tidak terlalu banyak, juga tidak seberat yang saya bayangkan, tapi tiap kali pulang kantor saya rasanya lelah sekali, seperti habis nguli seharian, kadang-kadang migrain saya kumat, sehingga pulang kerja pengennya langsung tidur saja. Usut punya usut, gejala semacam ini tidak hanya saya yang mengalami, teman-teman saya juga. Jadi, sebenarnya kami ini mengidap stres berjamaah.

Meski kemudian saya mulai belajar beradaptasi dengan kondisi di kantor baru, tapi ada sisi diri saya yang menyesali doa saya dulu. Sesuatu yang dulu saya anggap indah dan lebih baik dari apa yang saya miliki saat itu, ternyata pada kenyatannya tidak seindah bayangan saya. Saya merindukan kantor lama saya yang dulu, kantor lama yang saya anggap membosankan.

Intinya, sejak peristiwa itu, saya jadi berhati-hati dengan apa yang saya minta. Doa-doa saya untuk hal-hal semacam pekerjaan, jabatan, jodoh, dan pencapaian duniawi lainnya, tak lagi saya sebut secara spesifik. Saat meminta jodoh, saya tak lagi menyebut nama seseorang. Sedikit demi sedikit, saya mengurangi sifat “sok tahu” dan “sok mengatur Tuhan”.

Ketika kemudian saya mendengar seorang teman mengeluh tidak betah di kantornya dan kemudian “menargetkan” kantor lain sebagai tujuan baru, saya teringat doa saya dulu itu. Kalau dia cukup akrab dan minta nasihat saya, tentu akan saya beri nasihat untuk jangan terlalu berandai-andai tentang sesuatu yang belum kita miliki.

Kantor baru yang terkesan lebih indah, lebih canggih, dan pekerjaan di sana lebih mudah daripada kantor lama, belum tentu pada kenyataannya seperti itu juga. Alhamdulillah kalau sesuai dengan yang diharapkan, kalau tidak sesuai tentu kekecewaan akan mendalam karena ekspektasi yang terlalu tinggi.

Sebagai manusia, pengetahuan kita akan masa depan bisa dibilang nol besar. Yang kita bisa hanya sebatas memprediksi, itu pun sering meleset. Makanya, sekarang kalau berdoa saya mulai belajar untuk tidak lagi menyebut ‘semoga menang’, ‘semoga diterima’, dan sejenisnya.

Bahkan untuk keadaan saat orangtua saya sedang koma, saya tak lagi berdoa ‘semoga diberi kesembuhan’, karena belum tentu kesembuhan adalah yang terbaik di mata Allah untuk orangtua saya. Pelan-pelan saya mulai membiasakan untuk menyebut ‘semoga diberi yang terbaik oleh Allah’.

QS. Al-Baqarah Ayat 216: Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Fatma Ariana, seorang ibu yang senang bercerita lewat tulisan

[red/yes]

Exit mobile version