“Bangsa yang Ramah” dalam Pusaran Kekerasan

ghibahin

“Jika kekerasan masih dijustifikasi, maka kita akan selalu menjadi kerdil dan tak akan bisa tumbuh menjadi bangsa yang dewasa

Demo 11 April kemarin, turut meramaikan linimasa media sosial saya. Beberapa kawan mengomentari sebuah kejadian yang sebenarnya sudah saya duga akan terjadi. Ade Armando, buzzer kawakan nan tengil menjadi bulan-bulanan peserta demonstrasi. Seberapa pun menyebalkannya Ade Armando menjilat pantat kuasa, perisakan dan kekerasan yang menimpanya perlu dikutuk karena hanya akan menjadi ancaman bagi demokrasi.

Ketika kejadian seperti ini terjadi, pertanyaan yang mudah muncul adalah “Kemana bangsa kita yang dikenal dengan keramahannya itu?” Pertanyaan ini muncul diulang-ulang bak humor kodian setiap terjadi peristiwa yang melibatkan kekerasan. Masalahnya, apa benar selama ini kita memang bangsa yang ramah?

Kata ‘bangsa’ yang dirujuk di sini tentu yang dimaksud adalah bangsa Indonesia, sebuah konstruksi yang masih sangat baru. Namun di masa lalu, ketika kita dikenal sebagai entitas yang berbeda, cerita tentang keramahan ini mungkin akan terdengar sangat berbeda.

Ma Huan, penerjemah bahasa Arab yang mendampingi Laksamana Cheng Ho, mencatat apa yang dilihatnya saat menemani Sang Laksamana dalam ekspedisi ke Majapahit. Catatan Ma Huan, yang rampung pada 1416, adalah sumber sejarah yang sangat penting, tidak hanya tentang hubungan bilateral Dinasti Ming dengan Majapahit, namun juga mengenai penggambaran kondisi masyarakat Majapahit saat itu.

Ketika menyusuri kota-kota di Jawa Timur, Ma Huan menyaksikan bahwa masyarakat Majapahit mudah terpantik. Masyarakat Majapahit sangat sensitif dengan kepalanya. Jika ada yang berani menyentuh kepala, mereka akan merasa tersinggung dan segera menghunus keris yang selalu terselip di pinggang, dan pertumpahan darah pun terjadi. Kekerasan seperti ini juga mudah terjadi dalam pertikaian dagang, atau ketika mereka sedang bermabuk-mabukan dan saling menghina satu sama lain.

Amir Amrullah (2009) mengutip catatan H.J. Friedericy, seorang kontrolir Belanda yang bekerja di pusat kota Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Catatan itu berisi mengenai peristiwa tahun 1922, yakni seorang tamu undangan pernikahan merasa malu karena kentutnya terdengar orang-orang yang hadir. Karena malu, ia menghunus badik, dan perkara kentut pun akhirnya menyebabkan delapan orang meninggal dan lainnya luka-luka.

Meski peristiwa ini bisa jadi disebabkan oleh gangguan kesehatan mental yang tak dipahami saat itu, namun seperti disampaikan Eko Rusdianto dalam tulisannya, menyebutkan bahwa ekspresi kekerasan seperti ini terkadang dibenarkan dalam hukum sosial dan adat menyangkut harga diri dan rasa malu.

Bahkan frase running amok dalam bahasa Inggris, diadopsi dari bahasa Austronesia/Asia Tenggara, termasuk Melayu, “mengamuk” (ingat, bahasa Indonesia juga berasal dari bahasa Melayu Pasar).

Dokumentasi paling awal mengenai running amok berasal dari James Cook, dalam ekspedisinya berkeliling dunia pada 1770. Kapten Cook terkejut dengan perilaku kekerasan membabi buta (frenzied attack), yang dilihatnya saat bertemu suku Melayu. Dia menggambarkan bahwa amok agaknya terjadi tanpa penyebab yang jelas, membunuh dan melukai sesama penduduk, bahkan juga hewan.

Catatan Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (hal. 283) juga menyinggung stereotip karakter orang Jawa dalam pandangan orang-orang Belanda yang mendahuluinya, yang menunjukkan perilaku kekerasan yang setara dengan running amok di atas. Karakter-karakter buruk ini antara lain: suka berkhianat, pendendam, lebih suka merampok dan membunuh daripada bekerja, licik, dsb.

Meski di masa sekarang kita dengan mudah mengatakan bahwa catatan Cook dan Raffles mengandung sentimen rasis dan bias kolonialisme (dan mungkin memang demikian), namun sulit disanggah bahwa hingga sekarang, kita masih sering menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Kekerasan seringkali dijustifikasi sedemikian rupa, sehingga dimaklumi, dan menghindari gejolak-gejolak batin yang ditimbulkan karenanya.

Sebetulnya, saya enggan membahasnya lagi, namun ini adalah contoh paling mutakhir, yakni insiden Chris Rock ditampar Will Smith dalam perhelatan Oscar lalu. Suara yang mendukung kekerasan yang dilakukan Will Smith adalah mayoritas di Indonesia, berbeda dengan negara-negara lain, bahkan di Amerika Serikat sendiri. Melakukan kekerasan atas nama ketersinggungan dan harga diri masih dianggap sebagai sesuatu yang gagah dan romantik di sini.

Tidak hanya itu, justifikasi atas kekerasan juga diperlihatkan dengan banyaknya masyarakat kita mendukung invasi Rusia ke Ukraina dengan alasan yang sama-sama romantik. Krisis Ukraina memang bukan masalah yang sederhana. Namun setidaknya sebagai bangsa yang pernah ratusan tahun dijajah, kita mestinya tahu bahwa penjajahan itu menyakitkan, dan perang memberikan luka yang tak sembuh sepanjang peradaban.

Jika kekerasan masih dijustifikasi, maka kita akan selalu menjadi kerdil dan tak akan bisa tumbuh menjadi bangsa yang dewasa. Kebebasan berpikir dan berpendapat yang diimpi-impikan negara demokratis akan sulit terwujud. Karena orang selalu mendapat pemakluman untuk melakukan kekerasan, ketika tidak suka pada sebuah ide atau pernyataan.

Terlebih, kekerasan yang melibatkan mentalitas kerumunan seperti yang dialami Ade Armando tadi, menandakan bahwa kita masih tak mampu bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan. Hal ini justru menunjukkan bahwa para penjajah tadi benar mengenai karakter-karakter durjana tadi, dan tidak ada perubahan signifikan pada mentalitas kita hingga hari ini.

Pendapat bahwa bangsa kita adalah bangsa yang ramah, bagi saya akhirnya hanyalah slogan pariwisata belaka. Saya justru khawatir bahwa keramahan yang kita kenal sekarang justru lebih banyak berasal dari perasaan inferior, kemalasan menghadapi masalah, sungkan, atau karena ada kepentingan saja. Bukankah semua orang akan jadi ramah ketika ada maunya? Semoga saja tidak demikian.

Bagi demonstrasi itu sendiri, kekerasan yang terjadi kemarin, semakin membuka peluang bagi khalayak warganet untuk mereduksi aspirasi yang hendak disampaikan dalam unjuk rasa tersebut. Mereduksi segala sesuatu agaknya juga telah menjadi hobi kita, selain kekerasan tadi.

Demo buruh biasanya direduksi warganet dengan mengomentari foto buruh naik Kawasaki Ninja. Dalam demo kemarin, aspirasi yang mestinya penting, direduksi dengan komentar atas spanduk dengan tulisan-tulisan receh dan terkesan cabul yang dibawa beberapa demonstran kemarin. Aspirasi yang ingin disampaikan malah terkubur dan terlupakan, berganti dengan nyinyiran.

Melakukan demonstrasi secara damai saja sudah jelas mendapatkan reduksi, apalagi jika melibatkan kekerasan. Aspirasi bukannya disambut positif oleh pihak-pihak yang semestinya mendukung, malah bisa berbuah cercaan dan pelabelan terhadap aksi-aksi kritis serupa. Tahu sendiri masyarakat kita menggemari label dan mudah terdistraksi. Pada akhirnya malah menjadi kontraproduktif, kan? (red/rien)

Bhagaskoro Pradipto, stay at home dad, redaktur ghibahin.id, menulis sambil memikirkan yang tidak-tidak. Tinggal di Badung, Bali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *