Anak Remaja Jangan Dilarang Pacaran

“Sungguh disayangkan, keterbatasan pengetahuan remaja yang terefleksi pada kebutuhan akan tuntunan justru diisi dengan kemarahan, larangan, atau bahkan ancaman.”

Belum lama ini, anak saya yang masih remaja mengalami sesuatu yang luar biasa sepanjang hidupnya: patah hati. Lha iya. Siapa sih yang belum pernah merasakan pedihnya patah hati saat remaja? Kalau belum, berarti Anda terlalu cepat menua. Hahaha.

Masih kecil kok dibiarkan main cinta-cintaan? Emaknya gimana, sih!

Eits, nanti dulu SoHib. Sabar. Saya membiarkan anak remaja saya merasakan “nikmatnya” patah hati, bukan berarti saya membebaskan dia bermain api, eh, cinta. Namun, saya juga tidak melarangnya. Karena menurut saya, melarang anak remaja untuk pacaran akan memberikan efek yang lebih buruk daripada konsep cinta alias pacaran menurut remaja itu sendiri.

Lho, kok gitu?

Pernah nggak, SoHib melihat baliho atau reklame bertuliskan “jangan tengok kiri/kanan” saat melintas di sebuah jalan? Apakah SoHib akan menuruti “larangan” itu? Kita justru semakin ingin tahu, kan? Alih-alih menghindari, kita justru memfokuskan pandangan Anda untuk mencari tahu ada apa di balik larangan itu. Mengapa bisa demikian? Karena sebuah larangan cenderung memicu rasa penasaran.

Terlepas apakah itu memang reklame bikinan para pelaku usaha, tapi sejak dari sononya, sudah ada semacam hukum sebab akibat: semakin dilarang, maka semakin besar rasa keingintahuannya, dan semakin besar pula kemungkinan larangan itu dilanggar. 

Tahu kisah kotak Pandora, kan? Dongeng klasik zaman Yunani kuno ini bercerita tentang Pandora, seorang wanita cantik ciptaan dewa Hefestus (anak dewa Zeus). Pandora diberi peringatan oleh kakak iparnya, Prometheus, untuk tidak membuka sebuah kotak hadiah pemberian para dewa.

Pandora penasaran, dia tidak mengindahkan larangan tersebut dan membukanya. Dari dalam kotak keluarlah bermacam hal buruk umat manusia; seperti penyakit, kejahatan, kelaparan, dendam, dan lain sebagainya. Akibatnya, punahlah seluruh manusia pada zaman perunggu itu. Berawal dari rasa penasaran, eh, malah ambyar.

Walaupun ilustrasi pertama hanyalah gambaran kasar dari strategi bakulan supaya laku, dan ilustrasi kedua anggaplah sebagai dongeng sebelum tidur, tapi keduanya memiliki pola yang sama: melarang berujung melanggar. Pola ini juga berlaku pada larangan berpacaran untuk anak remaja. 

Memang wajar. Orang tua mana sih yang nggak khawatir. Tapi sekadar melarang mereka–manusia yang belum cukup matang ini–pacaran, apakah cukup efektif? Maksud saya, apakah maksud baik orang tua melarang anak remaja pacaran bisa mereka pahami untuk kemudian mereka turuti?

Seorang kawan anak saya, sebut saja Danish, mulai menyukai lawan jenis sejak usia SD. Di kelas VII, dia sudah mulai berpacaran dengan teman sekelas, tanpa diketahui orang tuanya. Namun, baru di kelas IX, dia memberanikan diri meminta izin pacaran. Sayangnya sang ibu menolak mentah-mentah, dengan alasan untuk lebih fokus belajar di sekolah.

Hasilnya? Danish tetap berpacaran diam-diam. Bahkan sudah berani mengajak kencan berdua dengan alasan tugas atau kumpul bareng teman. Di depan ibunya berpura-pura njomblo, teman se-geng sudah dikondisikan, pacaran tetap jalan. Semua aman.

Tak jauh berbeda dari Danish, Bunga (bukan nama sebenarnya) juga mencoba terbuka dengan mamanya tentang ketertarikannya terhadap lawan jenis. Saat itu usianya masih 14 tahun. Bukan dukungan yang Bunga dapatkan, mamanya malah memarahinya habis-habisan.

“Ngapain kayak gitu! Nggak, nggak! Masih kecil nggak usah aneh-aneh!” ujar sang mama berapi-api.

Nyali Bunga pun ciut. Dia kapok untuk terbuka lagi kepada mamanya. Dia kembali menjadi anak yang tertutup dan lebih memilih terbuka kepada sahabat-sahabatnya. Mamanya tenang karena Bunga tak lagi bercerita sesuatu yang dia anggap aneh, tabu atau belum waktunya.

Apakah kenyataannya demikian? Oh, tentu saja tidak. Bunga makin penasaran tentang rasanya pacaran. Dia menerima cinta dari salah satu pengagumnya. Sama dengan Danish, Bunga melibatkan kawan-kawan dekatnya “bermain drama” saat dia ingin pergi berpacaran dengan kekasihnya. 

Dua kisah Danish dan Bunga adalah gambaran kasar betapa larangan pacaran bagi remaja tidak ada gunanya sama sekali. 

Memang, masa remaja awal (12–15 tahun) pada umumnya hanya memandang pacaran sebatas relasi romantis. Beberapa di antaranya bahkan menjalani pacaran tanpa memiliki konsep apapun. Remaja belum tahu apa dan bagaimana konsekuensi dari keputusannya untuk pacaran. Oleh karena itulah mereka butuh pendampingan, bukan sekadar pelarangan semata tanpa membuka kesempatan untuk diskusi.

Hal senada diungkapkan oleh Yoga Kinaryoaji Tridarmanto dalam skripsi berjudul Konsep dan Kebutuhan Berpacaran Remaja Awal di Yogyakarta tahun 2017, dari Fakultas psikologi Universitas Sanata Dharma. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa remaja awal cenderung menilai pacaran sebagai hubungan romantis yang meliputi kasih sayang, kemesraan, perhatian, relasi melebihi pertemanan, dan rasa memiliki.

Sungguh disayangkan, keterbatasan pengetahuan remaja yang terefleksi pada kebutuhan akan tuntunan justru diisi dengan kemarahan, larangan, atau bahkan ancaman. Hasilnya? Mereka “main belakang”, menciptakan kebohongan demi kebohongan. Yang penting, rasa penasaran akibat gejolak hormonal saat pubertas tersalurkan dan hubungan dengan orang tua baik-baik saja (di permukaan). 

Christine Anggraini, M.Psi, seorang psikolog klinis, dalam akun Tiktok-nya menyebutkan bahwa ketika sepasang kekasih dilarang berpacaran, ikatan mereka akan semakin menguat. Mengapa? Karena mereka merasa mendapat tantangan yang sama, musuh yang sama, sehingga membuat mereka sama-sama fokus pada penghalangnya. Kekuatan mereka semakin besar. Semua masukan bakalan mental, bucin maksimal. Namun saat situasi mereda, ketika tekanan tak lagi ada, baru mereka bisa menyadari pentingnya kesesuaian karakter dalam menjalani sebuah hubungan.

Di sinilah dibutuhkan kelegowoan orang tua dalam menyingkapi fenomena ini. Legowo menerima kenyataan bahwa anaknya sudah mulai beranjak dewasa dan segala konsekuensi yang mengiringinya, juga legowo untuk terus belajar menemukan formula berkomunikasi yang efektif kepada anak, tanpa men-trigger anak untuk membangun dinding pertahanan.

Masih kurang bukti?

Mari kita lihat percakapan antara Bunga dan anak saya belum lama ini.

“Aku besok mau sunmori*) sama pacarku. Pengen nyoba ngerasain nyabuk**),” kata Bunga.

“Terus, kamu bilang apa ke mamamu?” tanya anak saya 

“Main sama kamu.”

Duerr!!!

Keterangan:

*) bersepeda motor (berdua) sambil menikmati sore

**) membonceng motor sambil memeluk pinggang dari pengendara di depannya.

Rina Purwaningsih. Seorang ibu, pernah pacaran pada masanya.

[red/bp]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *