Aksi Menantang Truk Kontainer dan Minimnya Ketersediaan Dokter Spesialis 

Esai

“Kemajuan teknologi dan transportasi kita tidak diimbangi dengan kemajuan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia yang cukup. Perlu waktu yang cukup panjang untuk mencetak para dokter spesialis yang handal.”

Timeline Twitter saya beberapa minggu yang lalu sedang dihajar berita-berita tidak sedap tentang remaja yang (mohon maaf) terlindas truk. Narasi yang dibawakan media melulu tentang aksi nekat mereka yang sampai berkorban nyawa untuk bisa membuat konten yang menarik. Entah, saya tidak berani berkomentar tentang narasi itu, tapi faktanya konten terlindas itu memang viral, dengan bayaran nyawa tentunya. 

Tapi saya tidak akan membicarakan ketidakberuntungan dan aksi nekat remaja-remaja itu. Saya hanya ingin membayangkan, bagaimana sistem kesehatan kita akan begitu kepayahan jika harus berurusan dengan kasus gawat seperti terlindas truk tadi.

***

“Brak!”

Satu anak terlindas, terpental sekian meter. Dia tidak sadarkan diri, kepalanya berdarah. Teman-teman yang ikut beraksi di sana, nekat mundur, yang merekam video pun segera memencet stop. Entah disebut kenakalan atau apa, pasti mereka berharap tidak sampai terjadi hal mengerikan seperti ini.

Satu orang pengendara yang ada di sana lekas memanggil ambulans. Pada sore yang macet itu, mungkin akan memerlukan waktu lama supaya anak tersebut bisa segera dijemput. Tapi ambulans di negara Wakanda sudah terkenal cepat, warga di jalanan pun juga kooperatif jika ada ambulans lewat.

Sementara itu, darah masih keluar pelan di kepalanya, dan dia masih tidak sadar. Seperempat jam berlalu, ambulans datang. Langsung, remaja itu dibawa ke fasilitas kesehatan yang paling mampu memberikan tindakan yang tepat. 

Pertolongan pertama di dalam ambulans dilakukan. Perdarahan pasien segera dibebat, kehilangan cairan sementara diatasi dengan pemasangan infus lewat tangan kiri dan kanan. Aliran cairan dipercepat, berharap bisa sejenak menggantikan darah yang hilang. 

Sampai di rumah sakit, remaja tersebut segera memperoleh tindakan. Napasnya yang terlihat tersengal segera dilakukan intubasi (tindakan mempertahankan jalan napas dengan pemberian selang oksigen langsung ke trakea). Suplai oksigen yang terus menerus rendah tentu berbahaya bagi otaknya, bukan? 

Karena kesadarannya turun dan tampak ada luka di kepalanya. CT-Scan segera dilakukan. Supaya tampak jelas, apa yang terjadi di dalam kepalanya. 

Hasil CT-Scan keluar. Ada pendarahan di dalam kepalanya, tindakan segera dilakukan. Spesialis bedah saraf segera dipanggil. 

Sekian jam berlalu, operasi cito dilakukan dengan sukses. Tekanan darah, denyut nadi dan tanda vital lain dalam batas normal. Kini tinggal menunggu keajaiban supaya remaja tersebut bangun. Beruntung, setelah sekian satu hari tanda vital (tekanan darah, saturasi oksigen, nadi, suhu, respiratory rate) makin membaik. Kesadarannya pun telah kembali. Remaja tersebut terselamatkan. 

Ya, sekali lagi jika itu terjadi di negara Wakanda.

***

Adegan penyelamatan nyawa yang cukup manis dan sukses, bukan? Kenyataannya, entah bagaimana saya menyebut, jika bisa dibilang menyedihkan, tapi kok ya sayang sekali karena ini terjadi di negara kita. 

Pemanggilan ambulans seringkali kurang responsif, ditambah kemacetan di jalan yang membuat ambulans-ambulans ini terlambat. Coba bayangkan kalau perdarahan anak tadi begitu hebatnya dan infus tidak segera diberikan. 

Lanjut di rumah sakit, kita memang bisa berbangga karena rumah sakit di kota-kota besar bisa memberikan pelayanan intubasi dan CT-Scan yang mumpuni, tapi bagaimana dengan kota-kota kecil yang belum ada fasilitas CT-Scan?

Atau mungkin ada CT-Scan, namun hanya tersedia di rumah sakit tertentu. Pastinya, sopir ambulans tadi harus cermat dan pintar supaya dari awal pasien tersebut dibawa ke rumah sakit yang ada pelayanan CT-Scannya. Tetapi kalau tidak? Dia harus membawa kembali remaja tersebut ke rumah sakit lain. Berapa waktu yang akan dihabiskan, sementara anak tersebut terus mengalami perdarahan di dalam kepalanya?

Baik anggap saja rintangan CT-Scan sukses, dan tampak ada banyak perdarahan dalam kepalanya. Ada satu pekerjaan lagi yang rumit. Yaitu ketersediaan dokter bedah saraf yang sanggup melakukan operasi tersebut. Berapa sih jumlah dokter bedah saraf di Indonesia sekarang? Tampaknya masih jauh dari kata kurang. Tahun 2012 saja jumlahnya hanya sekitar 200-an, dan kebanyakan berpusat di kota-kota besar seperti Surabaya dan Jakarta. 

Bagaimana dengan sekarang?

Beruntung jika anak yang tertabrak tadi tinggal di Jakarta, tapi bagaimana kalau dia tinggal di Pacitan, Jawa Timur misalnya? Dia harus dirujuk tujuh puluh kilometer jauhnya menuju Ponorogo supaya bisa mendapat tindakan. Belum lagi kalau dokter bedah saraf yang dia tuju ternyata masih ada operasi penting lain atau masih ada dinas ke luar kota.

Runyam bukan? 

Keterbatasan dokter spesialis ini sebetulnya sudah lama terendus Kemenkes, tapi baru akhir-akhir ini saja digaungkan. Terakhir, 2 Juni lalu ada wacana pengadaan beasiswa dokter spesialis kepada 1300 dokter umum. Tentu dengan perjanjian ketika kelak lulus, mereka harus mau ditempatkan di daerah yang membutuhkan. 

Tetapi, membentuk dokter spesialis handal itu perlu waktu, dan jumlah tersebut di atas tentu masih jauh dari cukup. Penyakit yang mendera manusia tentu beragam, walaupun Kemenkes sendiri sudah memetakan empat penyakit yang paling sering menelan korban. yaitu jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Sementara mereka menjalani pendidikan, kasus baru dan korban terus bertambah.

Untuk menjadi dokter spesialis jantung yang memiliki keahlian memasang ring, tentu harus menempuh pendidikan lagi supaya bisa mendapat keahlian itu. Belum lagi soal ketersediaan alat terkait layanan penyakit jantung, yang kata Pak Budi Gunadi dalam siaran pers pengumuman pemberian beasiswa tadi, bisa diselesaikan paling lama dalam waktu 12 bulan.

Lah, ini yang terjadi di Jawa, pulau paling maju di Indonesia. Lalu bagaimana jika kasus serangan jantung ini terjadi di pulau lain? Atau kita kembali ke kasus awal, bagaimana jika ada kasus remaja tertabrak truk kontainer terjadi di provinsi yang tidak memiliki bedah saraf? Apakah pasien-pasien jantung dan trauma kepala tadi akan dibiarkan kehilangan nyawa begitu saja? 

Tidak perlu menilik di luar Jawa. Di Ponorogo saja, jika ada pasien terkena serangan jantung dan dia harus segera mendapat tindakan pasang ring, fasilitas terdekatnya ada di Tulungagung. Pertanyaannya, apakah di Ponorogo ada spesialis jantung? Ada, tentu. Tetapi, yang memiliki keahlian melakukan tindakan pemasangan ring, yang terdekat hanya ada di Tulungagung. 

Entah, ini adalah pekerjaan berat bagi bangsa kita. Kemajuan teknologi dan transportasi kita tidak diimbangi dengan kemajuan fasilitas kesehatan dan sumber daya manusia yang cukup. Perlu waktu yang cukup panjang untuk mencetak para dokter spesialis yang handal. 

Jumlah 1300 beasiswa tentu kurang, mengingat tidak semua orang tua para dokter umum memiliki uang yang cukup untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang spesialis. Tentu beasiswa ini merupakan sesuatu yang ditunggu sejak lama. 

Tidak masalah nanti ditempatkan di daerah mana, yang penting bisa sekolah lagi. Itu yang ada di pikiran golongan dokter dengan kondisi ekonomi keluarga menengah ke bawah. Mengingat di negara ini, dokter-dokter harus membayar biaya untuk bisa sekolah spesialis. Berbeda dengan negara lain yang justru memberi upah para dokter yang sekolah spesialis itu. 

Ya, kita hanya menunggu. Menunggu arah kebijakan yang berpihak kepada kesehatan bangsa kita. Dan bagaimana dengan para dokter umum dari kelas menengah ke bawah? Jelas menunggu kuota beasiswa yang lebih besar, dengan kemajuan fasilitas kesehatan yang lebih merata tentunya.

Prima Ardiansah, Dokter internship di RSU Aisyiyah Ponorogo dan Puskesmas Jenangan Ponorogo.

[red/rien]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *