Site icon ghibahin.id

Yang Sempurna dalam Lukisan

*Disclaimer : tidak disarankan untuk kondisi psikologis yang sedang ‘down’ 

“Ibu hebat!”

Pujian tersering yang terus muncul sejak tulisanku dipublikasikan. Aku menduga-duga karya itu memantik kehebohan, ketika menceritakan masalah psikologis di media masih dianggap tabu. 

Bagaimana tidak?  Kisah roller coaster keluarga kami di awal Raka diberikan diagnosa Autism Spectrum Disorder, jujur dan tuntas kubeberkan. 

Pujian demi pujian yang muncul ternyata melenakanku. Tak kusangka  setiap menjawab komentar, aku seolah dielu-elukan bak pakar pengasuhan.

Semua sukses memberi makan egoku. Semangat bergiat mencoba metode lain lagi, melakukan terapi dan konsultasi dengan siapa lagi; demi postingan serupa ahli. 

Aku lengah, mereka pun terlupa. Tak sadar bila aku bisa juga pada titik terendah atau perasaan sedihku perlu divalidasi. Komentar yang hadir malah terus  membombardir.

“Seharusnya kamu bersyukur banyak yang support!” 

Progress anakmu itu luar biasa, orang-orang itu tahu bagaimana perjuanganmu dari nol. Ayo, semangat!”

“Kau ensiklopedi hidup menghadapi anak autis. Kami banyak belajar. Jangan berhenti berbagi, ya“ 

Brengsek! Tak ada yang sungguh, atau bersedia menanggapi kesulitanku. Bagi mereka aku serupa makhluk super atau punya power lebih, bukan manusia biasa.

Aku diharapkan tak mengeluh. Pembaca menafikan caption-ku untuk tak bercerita bagaimana sulitnya menjalani hari-hari ibu biasa yang punya anak luar biasa. 

Tak ada yang bertanya apakah di lenganku bilur lebam, atau adakah bekas gigi susu milik Raka tercetak di permukaan kulitku? 

Membongkar kenangan itu sungguh membuatku dahaga. Kuteguk air yang disediakan, sambil menatap, Tyas-perempuan di hadapan yang tak jua berubah rautnya selama mendengarkan. Takjub aku melihatnya minim ekspresi padahal yang kumuntahkan telah menguarkan bau basi. 

Apakah pendidikan sekian tahunnya menyetel templat penampakan profesinya sebagai pendengar yang baik? Tak boleh ambigu memperlihatkan air muka tertentu?

Ruangan itu ikut bisu mengekornya, walau detak jam dinding dan deru embusan penyejuk udara memilih berkhianat. Helaan napasku yang lalu mengambilalih suasana.

“Tumben, kamu nggak tanya? Kita diam-diaman aja nih? Atau terlalu putus asa dengan kondisiku?” 

Rautnya tak berubah, tak terdampak cerocosanku. Kesabaranku seketika menipis. Kusiramkan sisa air di gelas menyasar wajahnya. Dia tak berkelit, juga tak nampak sengit. Tetesan air dibiarkannya mengikuti gravitasi. 

Tiba-tiba pintu terbuka dengan seorang perempuan lain yang tampak memegang map berkas-berkas. 

“Bu Dien, sesinya sudah selesai, ya.” 

Sambil menggerutu, kuangkat tubuhku. Sungguh penasaran akan reaksinya yang kini basah kuyup itu, hingga kutoleh berkali-kali. Tetapi responsnya hanya membatu. Senyumnya tak berubah atau meredup meski penampakannya  basah kuyup.

Langkahku terasa berat efek terlalu lama duduk. Di lorong, kulihat orang-orang menganggukkan kepala atau memberi senyum. Entahlah, apa yang ada di pikiran mereka, tentang ibu Dien pergi berkonsultasi ke klinik psikologi.

Tanganku mengulir layar ponsel melihat banyaknya like dan komen di postingan tentang Raka hari itu. 

Ya, ya … tanpa berulah, Raka hanyalah serupa anak bisu, pendiam, introvert atau kebanyakan dibilang pemalu. Seiring waktu, bersamaan pubertasnya dan segala perubahan dalam keluarga, putra bungsuku berubah. Aku terseok-seok karenanya. 

Kupikir dia akan selalu manis dan terkontrol setelah terapi perilaku yang kuikutkan. Kukira dia tak akan menampakkan ciri autis lain yang tak kuketahui, seiring terapi yang tak pernah putus. Kuduga dia akan makin maju, sembuh seperti kata ahli ternama, bukan malah menunjukkan perilaku lain yang mencemaskan. 

“Itu tanda perkembangan yang baik, Dien. Kau harus senang karena Raka mulai mengalami fase puber, sama dengan anak lain, meski sedikit lebih lambat. Dampingi dan pahami saja, agar berjalan lancar!” 

Ucapan Tyas ketika itu bagai kaset rusak, berputar ulang di dalam benak. Aku tak mengangguk, menggeleng, atau mengiyakan. Paham bahwa di antara sekian ribu orang di dunia maya yang melihat, menunggu, berharap, dan (mungkin) mendoakan kelanjutan proses Raka dalam setiap postinganku, Tyas, psikolog mumpuni anak-anak autis itulah sesungguhnya aktor utama di belakang layar kami.

“Stop! Kaulah sesungguhnya peran terpenting dari perubahan dan kemajuan anakmu, bukan aku. Tiada yang dapat menggantikan seorang Ibu, bahkan terapis hebat atau ahli psikolog sekali pun!”

Tyas, Tyas … seperti juga setiap pengikut postinganku tentang Raka, terlalu bersemangat meyakinkanku tak ada yang dapat menyamai kecemerlanganku sebagai mamanya Raka. 

“Aktor utama semua progress itu, kamu, Dien! Bukan juga suamimu Dhimas yang kerja mati-matian agar semua fasilitas Raka terpenuhi. Kamu sudah tepat. Hidupmu fokus untuk anak-anak. Berbuatlah lebih banyak untuk Raka. Apakah demikian begitu memberatkan?”

Jleb, kulempar anak panah ke papan dart dengan foto Raka tertempel di tengahnya. Potret wajah tampan awal masa remajanya yang sudah berlubang sana sini, mendorong ekspresi kemurkaanku tanpa kendali. Kulemparkan anak panah itu lagi, dan lagi. Kini ia hanya rongga tanpa sketsa apa-apa. 

Degup jantungku mulai berlari, suara-suara di kepalaku terus berisik tanpa bisa kuhentikan, ketika bip, bip-bunyi notifikasi ponselku membuatku melirik benda itu. Nama Likha muncul teratas di kolom percakapan dengan tulisan sesi Bu Tyas. Ketukan di pintu kamar menyusul mengikutinya. 

Sosok putri sulungku muncul sambil menyunggingkan senyum manis serupa milikku, yang kata Dhimas hal pertama yang seketika melelehkan hatinya.

Mom, how are you? Yuk sebentar lagi kita ketemu Tante Tyas. I know, akan banyak lagi yang mau diceritakan. Yuk, kuantar ….” 

Aku menggapai lengan Likha yang terasa lembut khas perempuan muda beranjak dewasa. Melihat wajahnya, seperti aku sedang becermin akan kecantikanku di masa muda. Bahkan energi yang dimilikinya untuk melakukan ini itu, serupa diriku di masa lalu. 

Sepanjang lorong orang-orang menganggukkan kepala atau memberi senyum, tetapi mataku tertuju ke depan, ruangan yang telah bertahun-tahun menjadi cangkang tempatku mengadu atau malah bersembunyi. 

Usai aku duduk dan Likha meninggalkanku, kutatap wajah yang menyambutku dengan ekspresi sama. Dia tak berubah, meski insiden menandai pertemuan terakhir kami. 

“Kamu lihat respons di postingan terakhirku tentang Raka? Buanyak. Followerku bertambah terus. Aku heran mereka berharap apa dari kami? Semangatkah? Optimisme? Atau contoh nyata bagaimana aku sudah maksimal melakukan sesuatu untuk anak autisku?” 

“Apa pernah mereka bersedia melihat aku bisa tantrum juga, bisa melt down, dan perlu ME-time ketika hari begitu beratnya.”

Dia hanya diam seperti biasa, meski omelanku tak henti-henti.

“Mereka nggak tahu, kami baru bertengkar. Raka batu, aku baja. Raka menendang, aku memukul balik. Raka memelintir tanganku, aku menjegal kakinya. Raka niat menggigitku, aku mencekiknya.” 

Dadaku mulai sesak, napasku pun mendadak tak beraturan. 

“Aku tak sadar bahwa biar bagaimanapun tenagaku berkali lipat dibandingnya. Dia menyerangku sangat cepat, aku … membalasnya dengan kuat!” 

Air mataku perlahan berkumpul di pelupuk. Namun, bukan Dien yang ekstra sabar, mama hebat, yang tak malu menggerung di hadapan orang yang demikian sabar mendengarkannya.

“Tanganku yang kau bilang kuat ini yang menghabisinya. Aku yang kau bilang hidup untuk anak-anakku, justru telah mencerabut hidup Raka. Aku … mamanya! Aku!” 

Ruangan itu seketika porak poranda. Kursi kulempar, Tyas di dalam bingkai kubanting hingga kacanya pecah berhamburan.

Likha menghambur masuk dan merangkulku dari belakang. Beberapa orang yang mengikutinya memegangi lenganku, sesaat sebelum sensasi cubitan pedih terasa di area lengan.

Merasa terkejut, tanganku berupaya mencakar ke segala arah, tetapi efek obat itu senyap mengisap energiku. Sambil dipeluk, aku melewati orang-orang yang tampak buram dalam pandangan. Bibir-bibir mereka  bergumam, yang volumenya lamat-lamat tertangkap sensor pendengaran. 

“Kasian ibu itu. Putranya yang autis tewas di tangannya sendiri!”

“Buat apa dikasihani, seorang Ibu kok membunuh!” 

“Eh, bukan hanya pembunuh, dia juga gila!” 

“Oh, dia membunuh karena gila?” 

“Bukan. Mosok Bu Tyas pemilik klinik ini yang sudah berpulang karena kecelakaan, dianggap masih jadi psikolog anaknya seperti dulu ….”

[]

*Tribute untuk semua orang tua dengan anak autistik, we’re still human being with any kind of feelings. 

Ivy Sudjana, ibu dua anak kelahiran Jakarta.

[red/TC]

Exit mobile version