Vel Inchoata (Bagian 2)

Cerpen

“Ia melihat binar cinta membuncah di mata lelaki yang membawanya pada kesadaran akan sesuatu yang tak selesai.”

Baca bagian 1

Asmita berdiri di teras penginapan. Matanya mengamati lelaki yang berlari-lari kecil di sepanjang pantai. Matahari pagi menyuntikkan semangat baru. Pantai pun mulai ramai oleh nelayan yang pulang melaut. 

Pikirannya berkelana pada pembicaraan dengan Arityo semalam. Ia tak menyadari seseorang berdiri di sisinya. “Kau menyukainya?”

Asmita menoleh. Lelaki itu menaikkan kacamatanya sambil tersenyum. Asmita menggeleng ragu. Ia kembali menatap lelaki yang masih berlari-lari di pantai. Tampaknya sebentar lagi Arityo kembali. 

“Kau tahu lelaki itu tidak punya waktu untuk menjalin hubungan romantis. Dia sibuk dengan penelitian-penelitiannya. Dia sibuk dengan dirinya sendiri. Kau tak akan bisa mengimbanginya.”

Asmita tetap diam. Ia merasa apa yang dikatakan Mahesa benar. 

Lelaki yang menempa tubuhnya dengan latihan muathay bertahun-tahun itu memang begitu memusatkan perhatian pada semua penelitian, pada permasalahan pendidikan di daerah seperti pesisir pantai ini. Seolah semua dalam dirinya hanya terpusat pada hal itu-itu saja. 

Ya, Arityo seolah tak terjangkau oleh gadis mana pun. Lagipula, bukankah lelaki itu mengatakan menggunakan haknya untuk hidup sendiri?

Seekor burung putih terbang melintas. Asmita merasa ingin seperti burung yang terbang ke arah laut lepas itu. Terbang sendiri. Berani. 

“Aku mencintaimu, Asmita.” Asmita tertegun mendengar pernyataan Mahesa.

Asmita menoleh. Lelaki berambut sebahu itu menatapnya dengan tatapan sungguh-sungguh. “Maukah kau menjadi kekasihku seperti dulu, ratusan tahun lalu? Maukah menyelesaikan kisah kita menjadi bahagia bersama? Hanya kamu dan aku?”

Seperti dulu … ratusan tahun lalu. Sesuatu seperti menghantam dada Asmita. Seperti film hitam putih berputar cepat, menarik kenangan atau … kesadaran?

Asmita melihat seorang lelaki dengan keris tertancap di dada. Matanya jernih dan sesaat kemudian kosong. Bibir kemerahan itu bergetar mengucapkan sesuatu, “Aku mencintaimu, Mendut.” 

Mendut …. Mendut …. Mendut ….

Nama itu bergaung. Gaungnya berasal dari lautan. 

Tiba-tiba Asmita mengenali sesuatu. Ia melihat binar cinta membuncah di mata lelaki yang membawanya pada kesadaran akan sesuatu yang tak selesai. Unfinished. Vel Inchoata

Asmita seolah melihat tubuh lelaki dengan keris di dada itu perlahan rebah di pasir basah. Asmita mendengar samar suara perempuan bergetar, “Pranacitra? Pranacitra kekasihku ….”

Pusaran waktu bergerak cepat. Asmita melihat dirinya menarik keris dari dada lelaki itu dan kemudian menghujamkannya ke dada. Tubuhnya ambruk memeluk tubuh sang kekasih. Kedua tubuh bersimbah darah itu kemudian disambut gelombang. Lenyap. Hilang. Tak berbekas.

Asmita merasa dunianya limbung seketika. Dadanya bagai dihantam ombak, bergulung-gulung, tak henti-hentinya. Dalam pusaran memabukkan dan membingungkan itu, ia melihat sosok lelaki tua yang menatap pantai dengan pandangan terluka. 

Asmita melihat air mata mengalir dari lelaki yang mencoba meluluhkan hatinya dengan cara yang berbeda. Lelaki tua itu menekan ego sedemikian rupa hingga benar-benar terluka. Ada pancaran cinta dalam perspektif yang berbeda.

Asmita tergagap ketika ia merasakan tangannya digenggam Mahesa. Kehangatan menjalar membawanya pada saat ini. Mahesa memeluknya. Dalam beberapa detik, Asmita larut dalam kerinduan kekasihnya di masa lalu.

Asmita terkesiap saat membuka mata. Ia menemukan tatapan Arityo. Tatapan terluka yang sama dengan ratusan tahun lalu. 

Asmita melepaskan pelukan Mahesa. “Tunggu. Ada sesuatu yang tak selesai.”

Mahesa memandang bingung gadis di hadapannya. “Tak selesai?”

Asmita mendekati Arityo. Keringat membanjiri tubuh lelaki itu. Rahangnya tegas tapi sorot matanya lembut. Lelaki itu bertelanjang dada. Ah, Asmita seketika ingin rebah di sana.

“Mengapa dulu kau menuruti saran supaya aku membayar upeti yang tak mungkin bisa kubayar? Mengapa kau tak pernah benar-benar memaksa mendobrak bilikku dan merenggut apa yang sebenarnya adalah hak mu?” Asmita memandang mata Arityo.

Arityo mengerjapkan matanya. Gadis pemberani itu memandangnya dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, penuh pemberontakan, penuh penolakan, penuh pertanyaan. Persis seperti beratus tahun lalu. 

“Aku tak bisa lakukan itu, Asmita. Kau tahu itu.”

“Tak bisa apa?”

Arityo merasa gelombang kesedihan menghantam dadanya. Beratus tahun lalu, ia adalah seorang panglima perang yang sangat disegani di Mataram. Beratus tahun lalu, ia adalah seorang Tumenggung Wiraguna yang jatuh hati pada seorang gadis pantai Telukcikal bernama Mendut. 

Tak tahukah gadis itu bahwa ia bisa saja menggunakan kekuasaannya saat itu? Tak tahukah Mendut bahwa ego sebagai lelaki dan panglima perang yang gagah perkasa membuatnya begitu frustasi ketika gadis itu tak kunjung menyerahkan diri bahkan kemudian melarikan diri bersama lelaki lain? Tak tahukah gadis itu betapa rasa cinta ternyata kuat mencengkeram perasaan hingga ia begitu terluka ketika gadis itu menusuk dada dan mati dalam pelukan lelaki lain?

“Kau tak mau. Benar bukan?” Asmita berkata pelan. 

Arityo telah lama menyadari putaran waktu mempertemukan kembali dirinya dengan Mendut dan Pranacitra dalam wujud yang berbeda. 

Arityo tersenyum. Seberapa besar perasaannya, baik sebagai Wiraguna maupun sebagai Arityo, dia tetaplah sama. Ia tetap tak ingin melihat gadisnya terluka, tak ingin merasa terpaksa. Waktu telah memberi kesempatan baru. Tapi Arityo tahu Mahesa berdiri di antara mereka dan memperjuangkan hal yang sama. 

Arityo beranjak hendak meninggalkan Asmita ketika gadis itu berkata, “Tak bisakah kita perbaiki apa yang telah lalu? Tak bisakah aku meminta kau menggunakan hakmu, Prof?”

Arityo menatap Asmita dengan berbagai perasaan berkecamuk dalam dada. “Menggunakan hak? Maksudmu?”

“Ya. Hakmu untuk menikah dengan gadis yang kau cintai.” Asmita mendekat, mengikis jarak. “Prof, I love you! Apakah harus aku juga yang melamarmu? Atau kau akan biarkan kali ini juga tak selesai lagi hingga kita bereinkarnasi lagi?”

Arityo membuka kedua tangannya. Tak menunggu lama, keduanya lebur dalam pelukan. Pelukan yang dirindukan bertahun-tahun lamanya. [red/san]

Katarina Retno Triwidayati, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

-Tamat-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *