Vel Inchoata (Bagian 1)

Cerpen

“Inti reinkarnasi adalah setiap manusia dilahirkan kembali dalam wujud tertentu karena hasil perbuatannya di masa lalu. Atau karena ada yang tak selesai?”

Senja sudah lama berganti malam. Di teras sebuah penginapan yang menghadap laut, tiga orang tampak berdiskusi. Arityo, pria yang paling tua di antara ketiganya, menyesap kopi sambil mendengarkan paparan Asmita, mahasiswi yang tengah menempuh studi doktoral bidang pendidikan. 

Di hadapan Asmita, tepat di sisi kanan Arityo, duduk dengan tenang Mahesa. Arityo tersenyum ketika menyadari tatapan kekaguman yang tak ditutupi oleh Mahesa pada Asmita. Sejak kedua orang itu terlibat dalam penelitian di daerah pesisir ini, Arityo tahu Mahesa diam-diam memendam rasa cinta pada Asmita.

Asmita memang istimewa. Arityo pun menyukai sifat pantang menyerah Asmita. Parasnya ayu, tidak berlebihan. Terasa pas dipandang. 

“Oh ya, Prof, ada yang menarik di sini, ternyata entah berapa ratus tahun lalu ada sebuah kejadian yang cukup romantis tapi tragis sih,” Asmita berkata dengan nada ceria seperti biasa. 

“Apa itu?” Mahesa bertanya antusias.

“Dulu, ada seorang gadis yang berasal dari Teluk … em … oh ya, Telukcikal. Gadis itu bernama Mendut. Suatu hari daerah itu dikuasai oleh … ah aku lupa, intinya Mendut kemudian menjadi salah satu barang rampasan. Bayangkan. Dia manusia tapi dianggap menjadi barang!” Arityo tersenyum mendengar nada protes dalam pernyataan Asmita.

“Bukankah itu hal yang jamak dalam peperangan jaman dahulu?” Mahesa bertanya ragu. Lelaki berkaca mata itu memandang Arityo dan berkata, “Benar kan, Prof. Tyo?”

Arityo mengangguk dan menyulut rokok tanpa berkata-kata. Asmita memprotes, “Tapi tidak bisa begitu dong. Perempuan itu manusia juga dan dia punya hak …”

“Kalau tidak salah, para pria yang daerahnya dirampas juga dijadikan budak, bukan?” Mahesa memutus kata-kata Asmita. 

“Ah ya, tapi Mendut ini lain. Dia kemudian dijadikan hadiah untuk Tumenggung Wiraguna. Ia dijadikan istri padahal lelaki itu sudah punya banyak istri. Mendut menolak diperistri Wiraguna. Wiraguna lalu meminta Mendut membayar upeti. Mendut berjualan rokok linting dan di situlah dia bertemu dengan kekasihnya, Pranacitra. Hubungan itu diketahui oleh Wiraguna dan mereka kemudian melarikan diri. Sayangnya, Wiraguna bisa menemukan keduanya. Kau tahu, Mahesa, Pranacitra berkelahi dengan Wiraguna untuk memperebutkan si Mendut.”

“Pranacitra kalah?”

“Dari mana kau tahu?” Asmita berkata dengan heran. Mahesa hanya tersenyum. Arityo tetap merokok tanpa menanggapi cerita Asmita. 

Asmita tampak sedih dan berkata, “Prof. Tyo tahu tidak, ternyata Pranacitra terbunuh. Mendut lalu bunuh diri. Jenazah keduanya terbawa ombak. Ah, kasihan sekali. Kenapa kisah cinta selalu berakhir tragis begitu? Kenapa pula harus lelaki bertarung memperebutkan perempuan? Kenapa tidak Mendut saja yang menentukan pilihan dan kedua lelaki itu menerima keputusan Mendut?”

Arityo tersenyum dan berkata perlahan, “Aku setuju kisah itu berakhir tragis, Asmita. Pasti perasaan Wiraguna sakit melihat gadis yang dicintainya mati bersama pria lain.”

“Gadis yang dicintainya? Mengapa Prof menyimpulkan Wiraguna mencintai Mendut?”

Arityo hanya tersenyum dan menjentikkan abu rokok di asbak. Asap rokoknya mengepul, bergulung-gulung dan menghilang di langit malam. 

“Prof percaya reinkarnasi?” Mahesa bertanya. Yang ditanya mengangguk.

“Percaya? Wah, ini menarik. Prof biasanya tak tertarik membahas hal semacam ini, bukan? Menurut Prof, mengapa seseorang bereinkarnasi?” Asmita bertanya antusias. 

Semilir angin laut membuat Arityo mengenang sesuatu. Ia lalu menjawab, “Reinkarnasi berarti kelahiran kembali. Istilah ini ada dalam agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lain. Namun, tak semua agama meyakini adanya reinkarnasi ini. Saya juga tidak ingin membicarakan hal ini karena ini soal kepercayaan, soal iman. Inti reinkarnasi adalah setiap manusia dilahirkan kembali dalam wujud tertentu karena hasil perbuatannya di masa lalu. Atau karena ada yang tak selesai? Hmm … Vel Inchoata. Unfinished. Semacam itu.”

Asmita mengangguk, “Ya, sesuatu yang menarik dari reinkarnasi yaitu adanya kesadaran terhadap kebahagiaan yang sebenarnya. Setiap orang menyadari dan bertanggung jawab terhadap nasib yang sedang diterimanya. Konsep reinkarnasi juga berhubungan dengan moksa, hmm … kebebasan dari ikatan duniawi dan sekaligus lepas dari putaran reinkarnasi, bukankah demikian Prof?”

Arityo mengangguk. Ia meraih cangkir di sebelahnya dan kecewa saat menyadari kopinya telah habis. Ia mendesah seraya menggaruk alis. Kebiasaannya jika ia merasa tidak puas akan sesuatu. Disulutnya lagi sebatang rokok dan hanya bergumam tak jelas ketika Asmita pamit ke belakang. 

Tak lama, Mahesa berdeham. Lelaki berusia 30 tahunan itu berdiri merenggangkan tubuhnya. “Ijin ke belakang, Prof.”

Arityo mengangguk. Ia menyandarkan tubuh ke sandaran kursi mengamati asap rokok yang membumbung untuk kemudian menghilang. Ia menoleh ketika terdengar suara cangkir diletakkan di dekatnya. Aroma arabika bajawa menguar membelai indera penciumannya. 

Asmita memang sengaja membawa varian kopi itu ketika mereka berangkat ke pesisir ini. Ia tahu mentornya menyukai kopi yang berasal dari Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Aroma nutty bercampur semerbak tembakau menjadi suatu perpaduan yang sempurna. Lagipula tingkat keasamannya sedang sehingga aman bagi penderita sakit lambung.

“Saya pikir Prof mau kopi lagi.” Gadis itu berkata pelan. Arityo merasa ada desir aneh di dadanya. 

“Emm, Mahesa ke mana, Prof?” Asmita duduk kembali ke kursinya dengan rikuh.

“Ijin ke belakang tadi.”

Asmita mengangguk kikuk. Arityo menegakkan tubuhnya dan mengamati gadis itu. “Kamu dan Mahesa berhubungan?”

Asmita menoleh terkejut. “Nggak, Prof. Kenapa?”

“Aku lihat dia mendekatimu. Kamu tidak tertarik padanya?” Arityo mengambil cangkir, menghidu aroma dan menyesapnya. Asmita merasa hatinya hangat ketika seulas senyum terbit di sudut bibir lelaki itu. “Kok tidak menjawab?” 

Asmita tergagap. Ia berdeham lalu mengambil salah satu kertas di hadapannya. “Menurut Prof, kenapa para gadis cenderung tak ingin meninggalkan pesisir ini?”

Arityo tersenyum tanpa memandang gadis berkaus merah itu. “Kenapa tidak menjawab pertanyaanku? Lupakan kertas penelitian kita itu. Kita akan membahasnya nanti ketika Mahesa kembali.”

Asmita meletakkan kertas lalu mengambil cangkir kopi miliknya. Ia menempelkan cangkir pada bibirnya tanpa benar-benar menyesap kopi. Arityo mengamati tangan setengah bergetar itu. Tatapannya menelusuri wajah ayu berbingkai rambut tebal bergelombang itu. 

“Mahesa menyukaimu.”

“Tapi saya tidak!” Asmita terkejut dengan nada tegas yang keluar dari bibirnya. Ia meletakkan cangkir kopi dan menggigit bibir cemas. 

Arityo mengamati semua gerakan itu dan memaki dalam hati. Selalu ada suatu sengatan di hati ketika Asmita membantahnya. Arityo tahu, Asmita gadis istimewa. Begitu istimewa. 

“Kau sudah cukup umur ….”

“Sejak kapan Prof mengurusi urusan pribadi saya?” Asmita berkata cepat. Ia lalu menyesali nada bicaranya yang ketus. Debur ombak terdengar. Asmita merasa suara itu sebenarnya adalah degup jantungnya sendiri.

Arityo memandang Asmita dengan kening berkerut. Lelaki berusia 53 tahun itu mematikan rokok yang baru setengah terbakar. Dengan tenang diminumnya kopi yang disajikan Asmita. 

Asmita menatap gerakan lelaki di hadapannya dan berkata, “Maaf, Prof. Saya tidak bermaksud membentak. Saya hanya merasa pembicaraan ini terlalu pribadi.”

Arityo menatap mata jernih milik Asmita. Ia mengangguk. Sesaat suasana hening dan kaku. 

“Tak banyak gadis yang meninggalkan pesisir ini untuk melanjutkan pendidikan. Kau tahu ada begitu banyak pengetahuan yang bahkan tidak kau temui di bangku kuliah, bukan? Kearifan lokal yang berkaitan dengan cara mereka bertahan hidup. Bukankah pada akhirnya itulah yang dibutuhkan?” ujar Arityo memecah kebisuan antara dua orang berbeda umur itu. 

“Tapi pendidikan akan membawa kehidupan yang lebih baik, bukan?”

Arityo tertawa. Hati Asmita menghangat mendengar tawa itu. 

“Kau yakin pendidikan sungguh dibutuhkan para gadis pesisir ini, Asmita? Bukankah kau sendiri yang bilang bahwa pendidikan kita hanya sekedar menghafal? Hanya sekedar mengingat masalah yang pernah terjadi dan bagaimana cara memecahkannya? Bukankah kau sendiri yang pernah berkata bahwa pendidikan kita telah merampas kemerdekaan pemikiran kita?” Arityo menatap pemilik tubuh sintal itu seraya tersenyum. 

“Tapi, mendapatkan pendidikan adalah hak semua orang termasuk para gadis pesisir ini.”

“Kau yakin mereka tidak memanfaatkan haknya?”

Asmita terdiam. Keningnya berkerut ketika ia kemudian berkata, “Prof yakin mereka bahagia tanpa pendidikan?”

“Aku tidak bicara soal bahagia, Asmita. Aku bicara soal pilihan. Seperti diskusi kita tadi, para gadis pesisir ini menyadari bahwa mereka punya hak untuk mendapatkan pendidikan. Tetapi mereka kemudian memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan. Kenapa?”

“Banyak sebab, Prof. Faktor ekonomi, misalnya. Atau juga karena memang belum ada role model di sini.”

“Tepat. Aku tadi berbincang dengan salah satu nelayan. Ada beberapa pemuda meninggalkan tempat ini dan tak kembali. Masyarakat pesisir ini tak pernah tahu apakah pendidikan memang baik untuk mereka. Lagipula, tak banyak nelayan di sini yang punya penghasilan cukup hingga bisa mengirim anaknya untuk sekedar tamat SMP atau SMA. Jadi ini bukan soal mereka tak mendapatkan hak. Ini soal mereka memilih.”

“Tapi di sini sudah ada SD, kenapa pemerintah tidak membangun SMP lalu SMA?”

Arityo mengetuk-ngetukkan jemarinya di cangkir kopi. Arityo hendak mengeluarkan rokok ketika Asmita kembali berbicara, “Jika ini soal memilih, menurut Prof, kenapa Wiraguna tidak memaksakan kehendak pada Mendut. Ini bertabrakan dengan karakter gadis di pesisir ini. Kenapa tidak ada yang meniru keberanian Mendut? Kenapa tidak ada yang meniru Mendut yang lebih memilih Pranacitra daripada Wiraguna?”

Arityo mengerutkan kening. Asmita selalu memberi kejutan padanya dengan lompatan gagasan dan pemikiran berbeda semacam ini. Lelaki itu mengusap rambutnya yang mulai tampak keperakan, “Asmita, tak semua gadis berpikir sepertimu. Tak semua gadis memiliki semangat sepertimu.”

Asmita menunduk memandangi kertas-kertas yang bertebaran di meja. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Ia masih menunduk saat berkata perlahan, “Saya pikir, jika di suatu daerah ada kisah legenda semacam ini, masyarakat akan mengambil pelajaran dari hal itu.” 

Asmita mengangkat wajahnya. Mata yang jernih itu memandang mentornya. “Prof, apakah Prof berpikir bahwa Mendut sungguh saling mencintai dengan Pranacitra? Kenapa harus bunuh diri? Bukankah cinta itu pada dasarnya memberi semangat hidup? Saling menghidupi? Saling berusaha untuk terus hidup?”

Arityo tergetar. Sesuatu di dalam dadanya terasa bergejolak. Keduanya saling memandang dalam diam.

“Oh ya, kenapa Prof berpikir Mahesa menyukai saya?” Asmita tiba-tiba bertanya. 

Arityo tertawa. Tawa itu begitu merdu di telinga Asmita. Tawa yang mampu mengirimkan gelenyar aneh di dada si gadis berusia 33 tahun. Tapi tawa itu berhenti ketika Asmita kembali bertanya, “Lalu, kenapa Prof mengatakan saya cukup umur sementara sebelumnya Prof membicarakan Mahesa? Apa yang sebenarnya ingin Prof sampaikan pada saya?”

Arityo memandang Asmita. Gadis cerdas dan pemberani. Gadis yang memiliki binar mata serupa bintang di angkasa.

“Maaf. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya mengingatkanmu. Tak baik seorang gadis terlalu lama sendiri. Tak kah kau menyadari bahwa Mahesa menaruh hati padamu? Takkah kau ingin menikah dengannya?”

“Kenapa saya harus menikah?”

Arityo mengerutkan ujung bibirnya. “Apa kau tidak ingin menikah? Mempunyai keluarga bahagia?”

“Mengapa Prof berpikir menikah selaras dengan keluarga bahagia? Apa Prof berpikir bahwa sendiri itu tidak bahagia?”

Arityo tersenyum. Suaranya terdengar lembut ketika berkata, “Tidak. Sendiri pun bisa bahagia. Tapi bukankah Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan?”

“Lalu mengapa Prof masih sendiri?” Asmita memutus kalimat Arityo. 

Keduanya berpandangan. Arityo menemukan sinyal tak mau dikalahkan memercik di mata Asmita. Lelaki dengan bekas luka di punggung tangan kirinya itu tersenyum, “Aku hanya memilih untuk tidak memakai hakku, Asmita.” [red/san]

Katarina Retno Triwidayati, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *