Tuhan, Ijinkan Aku Bertemu Anakku Lagi

pexels-beyza-kaplan-11041364

“Aku tidak gila! Aku tidak gila!” teriakku saat palu pengadilan agama resmi diketuk. Aku begitu kecewa dengan putusan pengadilan yang memisahkanku dengan Syifa.

Kalau saja bisa kembali ke masa lalu, aku memilih tidak bertemu dengannya. Atau mungkin, aku memilih kembali di saat dia datang dengan seluruh keluarga besar. Kupastikan, saat itu aku akan melakukan segala cara agar Bapak menolak lamarannya. Karena ternyata kau adalah iblis, Baroto. Iblis yang telah menghancurkan segala sendi kehidupanku.

Ibuku yang pertama kali memanggilnya dengan sebutan Iblis. Tepat setelah ibu tahu kebobrokan lelaki itu. Kusesali diri mengapa dulu memilih iblis itu sebagai pendamping. Mengapa tidak memilih seseorang yang datang sendirian beberapa hari setelah lamaran itu? Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat.

Tidak salah kalau ibu memanggilnya iblis karena dia juga tega memisahkanku dengan Syifa. Ah, Syifa. Walaupun tidak pernah menyahut saat aku memanggil, dia tetaplah anakku. Walaupun dia selalu menyendiri, tak mau berkawan dengan yang lain, Syifa tetaplah anakku. Bahkan ketika dia menghindar dan menolak saat kupeluk, Syifa tetaplah anak yang sangat kucintai dan selalu kurindu.

Aku tidak jadi berharap untuk tidak bertemu dengan Baroto dan menolak lamarannya. Sebab bila hal itu terjadi, aku tidak akan melahirkan Syifa. Kalau aku memiliki mesin waktu, aku akan kembali di saat sidang perceraian, sebelum memasuki ruang sidang, aku akan membenamkan pisau di leher, jantung, atau di bagian tubuh Baroto lain yang bisa membuatnya mati seketika. 

Sayangnya itu hanya ada dalam lamunanku. Kenyataannya, selama sembilan tahun menjadi istrinya, aku dan keluargaku selalu tertipu segala kebohongannya. Entah mengapa aku bisa bertahan selama itu? Harusnya aku membersihkan borok dalam kehidupanku itu lebih cepat. 

***

Empat belas tahun yang lalu, tiga bulan menjelang kelahiran anak kedua, aku teringat satu peristiwa yang membuatku makin mantap bercerai dari Baroto.

Malam itu, suara teriakan Baroto mengagetkanku dan Syifa yang tertidur di sebelahku. Dia marah karena aku tak menyambut dan menyediakan makanan. Lalu, terdengar suara pintu ditutup dengan begitu kerasnya. Disusul dengan suara beberapa benda pecah. Sepertinya itu suara piring atau gelas di dapur. Aku segera bangun dan tergopoh-gopoh menuju ke dapur, tak kuhiraukan Syifa yang mulai menangis ketakutan.

“Kau tak lihat ini jam berapa, Bang?” tanyaku sambil menatapnya tajam. Kulihat gerakannya yang sempoyongan. Bau minuman keras menguar begitu tajam. 

“Memang kenapa, hah?! Aku bekerja banting tulang seharian. Salah kalau aku minta dilayani dengan baik oleh istriku sendiri?”

“Kerja apa baru pulang jam satu malam, Bang? Pakai sempoyongan dan bau minuman keras pula?” tanyaku balik. Ini sudah kali kesekian terjadi. Sabar pun ada batasnya.

Saat itulah argumen andalan Baroto keluar. Bahwa seorang istri, sama sekali tidak boleh melawan suami. Harus tunduk taat dan patuh kepada suami. Seketika aku memandang jijik ke arahnya. Selalu itu yang jadi argumen saat kami bertengkar. Namun, aku tak hendak berdebat tentang ini. Ada hal lain yang lebih penting untuk kuketahui.

“Bapak tadi siang ke sini, tanya tentang surat tanah dan surat rumah yang kau urus. Sudah jadi?” Sebelumnya aku tidak pernah diberitahu Bapak dan Baroto soal ini. Padahal sudah lebih dari setahun sejak Bapak menitipkan surat-surat itu. Kalau sampai terjadi apa-apa, aku juga tidak bisa menyalahkan Bapak. Bagaimanapun, Baroto adalah menantu satu-satunya. 

“Surat? Surat apa?” tanya balik si Baroto sambil menyeringai aneh. Seringainya membuatku tahu sesuatu yang buruk telah terjadi. “Mungkinkah surat-surat yang kujadikan jaminan di bank?” tanyanya lagi. Kali ini, bukan seringai lagi yang mengiringi pertanyaannya. Tawa yang dulu pernah sangat aku sukai terdengar, tapi sekarang terlihat tawa itu terasa sangat menjijikkan. Aku mual dan ingin muntah seketika.

Sejak malam itu, dua kata terus terngiang-ngiang di telingaku. Baiti nari, rumahku nerakaku. Perasaan berada di sebuah tempat bernama rumah, tetapi bersama iblis, membuatku sangat sulit memejamkan mata. Hingga berhari-hari. Konsekuensinya, pikiran-pikiran dan suara-suara yang entah darimana datangnya, mulai memenuhi kepalaku. 

Aku mulai marah-marah ke semua orang. Bahkan, juga marah kepada Syifa. Satu hal yang sangat kusesali. Dia sama sekali tak bersalah, aku tahu itu. Hanya saja aku tak bisa menahan diri. Bentakan dan terkadang pukulan itu keluar begitu saja. Kalau akhirnya dimanfaatkan sedemikian rupa oleh Baroto, aku sama sekali tak mengira.

Ketika aku resmi bercerai, hak asuh Syifa jatuh ke tangan Baroto. Alasan yang membuatku kalah adalah poin penting yang dijabarkan dengan sangat baik oleh pengacaranya. Poin tersebut berbunyi “Kondisi kejiwaan ibu kandung sedang dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengasuh anak.”    

“Aku tidak gila! Aku tidak gila!” teriakku saat palu pengadilan agama resmi diketuk. Aku begitu kecewa dengan putusan pengadilan yang memisahkanku dengan Syifa. 

Berbulan-bulan hingga bertahun-tahun kemudian, aku selalu menyempatkan diri minimal tiga bulan sekali pergi ke rumah Baroto dan berusaha menemui Syifa. Walau semua berakhir dengan kekecewaan karena aku sama sekali tidak bisa bertemu dengan Syifa. Ketika aku menikah untuk kedua kalinya dengan seorang pria baik hati bernama Rahman dan pindah ke Surabaya lima tahun lalu, aku hanya bisa bertanya keadaan Syifa lewat telepon. Walau hasilnya sama saja. Hanya kecewa yang kudapat.

***

Dua buah notifikasi WA berurutan membuyarkan lamunanku. Kutengok jam dinding, ternyata sudah lebih dari setengah jam aku menunggu di sini. Pandanganku beralih ke layar ponsel, lalu kucek notifikasi tersebut. Satu dari nomor yang memang sudah kutunggu sejak tadi. 

“Miss, saya ijin tidak bisa les hari ini. Mobil dipakai sama Mama buat arisan. Maaf.” Demikian isi pesan singkat itu. Kebetulan, pikirku dalam hati. Ingatan akan Syifa selalu saja membuat mood-ku memburuk.

“Syifa sudah mati. Sekarang kau tak perlu ke sini dan bertanya-tanya tentang anakmu. Baroto.” Itulah bunyi pesan kedua yang datang dari sebuah nomor tak dikenal, tapi dua nama yang tertera di dalamnya sangat kukenal. Langsung kutelepon nomer tadi, sama sekali tidak menyambung. Kukirim pesan balik juga hanya centang satu. Sepertinya nomorku sudah diblokir.

Aku segera menghubungi Mas Rahman. Kuceritakan pesan WA tadi, juga kemungkinan tentang nomor itu sudah memblokir nomorku, lalu meminta pertimbangannya. Dia, seperti banyak pria lain, mengutamakan logika dibandingkan perasaan di saat mengambil keputusan. Dia juga cepat mengambil keputusan.

“Berhubung ini hari Jumat, nanti sore sepulang aku kerja, kita pergi ke Jakarta. Kalau tidak salah, keberangkatan jam 7 atau 8 malam. Biar tidak telat, kita ke Stasiun Gubeng setengah tujuh. Aku yang beli tiket online, kau hubungi adikku untuk menjaga Ibu dan Yuna selagi kita di Jakarta. Juga siapkan pakaian.” Itulah yang dikatakannya setelah berdiam diri beberapa saat. “Minggu pagi kita balik ke Surabaya,” sambungnya.

“Baik, Mas.”

Di dalam kereta, aku meminta Rahman untuk tidak terbawa emosi dan ikut campur saat di rumah Baroto. Selebihnya, aku memilih diam mematung selama perjalanan, sibuk dengan pikiranku sendiri. Benarkah aku akhirnya sama sekali tidak bisa bertemu Syifa dan meminta maaf? Berulangkali aku berkata bodoh pada diriku sendiri. Yah, kata itu memang sangat cocok buatku.   

“Sudah kubilang Syifa sudah mati. Jadi kau tak perlu ke sini lagi!” bentak Baroto.  

“Kalau memang sudah mati, biarkan dia ke makamnya dan berpamitan untuk yang terakhir kali,” kata Rahman.

“Kau siapa? Kenapa ikut campur urusan orang lain?”

“Saya bukan orang lain. Saya suami Ningsih!” Seperti yang kutakutkan, Mas Rahman kelihatannya terpancing emosi.

“Di sini, kau orang asing.” Baroto  berkata pelan sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Mas Rahman. Mengintimidasi lawan seperti yang biasa ia lakukan ke hampir semua orang. Aku sontak memegang dan menarik sedikit lengan Mas Rahman. Bagaimana pun, daerah ini wilayah kekuasaan bagi seorang raja kecil macam Baroto.

“Abang, ijinkan aku ke makam Syifa. Hanya sebentar saja, Abang. Tolong,” pintaku mengiba.

“Sekarang kau panggil aku Abang. Dulu ke mana saja? Pokoknya aku tidak akan memberitahumu. Titik! Lagian, anakmu itu dikubur di tanah pribadi. Orang lain tidak boleh masuk seenaknya.”

Ketika aku akan berkata lagi, Mas Rahman menarik tanganku untuk segera pergi dari tempat itu. Dia memberiku kode untuk segera mengikutinya.

“Kita cari makam dekat-dekat sini. Nanti kita tanyakan penjaga makamnya. Aku yakin, penjaga makamnya akan kenal keluarga ini.” Sekeluar dari pagar rumah, Mas Rahman memberikan solusi yang menggambarkan begitu tenangnya dia, bahkan di saat seperti ini.

“Baiklah, Mas. Makam terdekat sekitar dua kilo dari sini. Ayo kita ke sana.”

Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang teman kuliahku dulu. Namanya Desi. Aku sama sekali lupa dengannya, untunglah dia dulu yang menyapaku. Setelah berbasa-basi sebentar, dia bertanya tentang hal yang membuatku kaget.

“Kau sudah bertemu Syifa? Walaupun autis, Syifa itu gadis paling cantik di daerah sini, lho!” Ucapan Desi membuatku bingung. Apa yang sedang dibicarakannya. Lalu, terkuaklah kebohongan besar itu. Dari Desi aku tahu kalau Syifa tidak mati.

“Ke luar kau, Baroto!” Teriakku dengan sangat kencang saat aku kembali ke rumah Baroto. Lalu dengan santainya, Iblis itu keluar dari rumahnya. “Kau bohong soal kematian Syifa!” 

“Kalau ya, terus kenapa?” ledek Baroto.

Aku menangis sejadi-jadinya begitu tahu kalau ini hanyalah sekadar permainan bagi Baroto. Padahal, saat mendengar berita kematian Syifa itu, aku serasa ditikam pisau berkarat tepat di jantung. Sakit sekali. Namun, sejenak kemudian aku berhenti menangis dan mulai tertawa. Aku mengerti, kalau Syifa masih hidup, berarti aku masih diberi kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.

Tuhan, ijinkanlah aku untuk bertemu anakku sekali lagi, doaku dalam hati. Selepas itu, aku dan Mas Rahman keluar dari rumah itu. Ternyata, Tuhan tak menunggu lama untuk mengabulkan doaku. Satu keberuntungan terjadi ketika aku baru berjalan sekitar seratus meter dari rumah Baroto.

“Mas, Mas. Lihat ke sana,” kataku sambil menunjuk ke satu arah. Di ujung jariku, sekitar 20 meter jauhnya, terlihat seorang perempuan muda mendorong sebuah kursi roda dengan seorang nenek duduk di atasnya. “Itulah Syifa, Mas.”

“Bagaimana kau yakin kalau itu Syifa?”

“Seorang ibu pasti tidak akan lupa wajah anaknya sendiri. Lagipula lihatlah, dia selalu memalingkan muka saat ada orang yang menyapa,” kataku yakin.

“Benar juga. Kalau begini, kau sudah yakin Syifa masih hidup, bukan?” tanya Mas Rahman sambil tersenyum. Senyum yang selalu bisa menenangkanku. 

Tunggulah sebentar Syifa, tunggulah. Aku sudah menemukan cara untuk merebutmu dari Baroto. Maksimal tiga tahun lagi, Ibu janji. Setelah itu, kita pasti akan bersama lagi. Untuk selamanya. [red/red]

Nanang Ardianto, Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *