Site icon ghibahin.id

Tugas Mulia

Nyamuk

Foto oleh Egor Kamelev dari Pexels

“Hai, sayangku, bukannya aku tidak sayang padamu. Apakah harus kuulangi lagi alasanku? Ini demi tugas mulia. Sebuah tugas suci.”

“Oh. Akhirnya kamu datang juga setelah sekian lama pergi tanpa kabar.” Kalimat itu menyambut kedatanganku. Kamu cemberut. Tapi matamu tidak bisa bisa berbohong. Dari bening matamu, bisa kulihat kamu menyimpan kerinduan. Aku tahu itu. 

“Masih dengan semangat yang sama ya? Tugas suci? Tugas mulia?”

“Ssttt, jangan dulu kita bicara masalah itu. Aku masih rindu,” kataku. 

“Ah, jangan kau mulai rayuan itu. Sudah tidak mempan bagiku wahai patriot klan Wolbachia. Begitu ‘kan kamu pengin disebut?” Kamu berucap sambil bergerak membelakangiku. 

Aku menangkap nada satire dalam kalimatmu itu. Kusentuh pundakmu. “Ah, kamu mulai lagi. Belum semenit bertemu, kamu sudah membuka perdebatan yang tak akan kamu menangkan.” 

“Ya, ya. Tugas mulia ‘kan?” Nada suaramu sedikit sinis. Makin terasa saja perbedaan pandangan antara kita.

“Bagaimana kalau kita bicara soal yang lain saja? Sesuatu yang ringan-ringan saja. Tema yang bisa membuat kita bisa saling mengumbar rasa. Jadi, bagaimana harimu hari ini? Apakah menyenangkan?” Aku berupaya mengalihkan pembicaraan. 

“Hariku tidaklah penting?” jawabmu. Tampaknya kamu memang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyampaikan kemarahan, kekesalan, atau … entahlah. 

“Ayolah sayangku, ceritakan harimu.” Tentu aku terus membujukmu. Sebab dalam kondisi seperti ini, bujuk rayu mestinya menjadi sesuatu yang bisa meluluhkan hatimu. 

“Sudah kukatakan itu tidak penting dan tidak akan menarik bagimu.” Wajahmu begitu dingin. “Jadi sudah berapa kali kamu sebarkan benihmu itu?” tanyamu mengalihkan topik tentang harimu dan hariku. 

“Baiklah kalau kamu memang ingin tahu. Hari ini sudah yang ke-69.” 

Untuk waktu yang lama tidak ada pembicaraan antara kita. Mungkin kamu berpikir aku pejantan tak tahu diri. Aku tak bisa menemukan ekspresi apa pun di wajahmu yang ayu.

Cahaya matahari menyusup di antara dedaunan, memantul di sandaran kursi taman. Pendaran itu membuat sayapmu berkilauan. Garis dan titik putih di tubuhmu semakin terlihat jelas. Susunannya membentuk komposisi yang pas. Tanpa ada penempatan yang ganjil sedikit pun. 

Sempurna. Kau sungguh jelita. 

Sejenak kita berdiam diri, saling berpandangan dan mencoba merasuki dalamnya kerinduan. Waktu berlalu begitu cepat. Kau terbang pergi meninggalkanku setelah kita bercumbu. Mataku mengarah padamu sampai kamu menghilang di balik daun-daun. 

Hai, sayangku, bukannya aku tidak sayang padamu. Apakah harus kuulangi lagi alasanku? Ini demi tugas mulia. Sebuah tugas suci. Kita dilahirkan untuk sebuah tujuan. 

Tuan-tuan kita telah membuat kita menjadi ras unggul. Kita memiliki sesuatu di tubuh yang harus diwariskan ke penerus koloni. Tuan kita telah memasukkan tentara kecil di tubuh kita sehingga virus-virus jahanam itu tidak berkembang lagi di tubuh kita. Dengan begitu dosa-dosa pendahulu sebagai penular penyakit, bisa kita tebus.

Aku dan kamu beruntung bisa keluar dari pembantaian di kebun pinggir danau itu. Kita beruntung saat asap beracun berwarna putih pekat menggulung dari sela-sela dedaunan, kita menemukan celah kaca jendela sebuah mobil. 

Kita melihat dengan mata kepala sendiri, kawan-kawan seperjuangan terbang memegang leher mereka. Kemudian jatuh tersungkur meregang nyawa. 

Hanya kita berdua lah yang selamat dari tragedi tersebut. Hanya aku dan kamu harapan terakhir ras Aides

Kalau mengharapkan dari keturunan kita sendiri akan sangatlah lama. Aku dan kamu harus berbuat sesuatu. 

Benihku harus kusebar sebanyak mungkin untuk perbaikan ras. Aku pun menyarankan kamu melakukan hal yang sama. Setelah kau mengeluarkan telurmu, carilah aku. Bila tidak ketemu, carilah pejantan dari ras biasa untuk kamu minta benihnya. 

Kamu cantik. Aku yakin mereka mau memberikannya untukmu. 

Kamu sudah gila, mungkin itu yang akan keluar dari mulutmu. Namun, wahai kekasihku, dalam perjuangan tidak ada kata gila. Yang ada strategi untuk bisa menang. 

Hari sudah mulai gelap. Kecerahan telah berubah menjadi mendung, lalu berangsur-angsur menjadi hujan. Semakin lebat dan semakin lebat. 

Aku terbang mencari tempat untuk berteduh. Beruntung sekali ada sebuah jendela rumah sedikit terbuka. Aku menuju ke sana dan masuk ke ruangan sebuah rumah.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Ruangan kosong tidak ada siapa-siapa di sana. 

“Aman, aku bisa beristirahat di sini dulu.” gumamku. Kuubah posisi hinggapku di sandaran kursi untuk mendapatkan posisi yang nyaman. Kupendekkan kakiku dan kurebahkan badanku. Untuk waktu yang aku tak tahu, aku berada dalam kondisi yang sama. 

Hingga samar-samar kudengar manusia-manusia berbicara dari sebuah kotak yang mereka sebut televisi. 

“Peneliti yang tergabung di World Mosquito Program Yogyakarta menuntaskan penelitian terkait penanggulangan demam berdarah dengeu atau DBD. Para peneliti itu menggunakan nyamuk ber-wolbachia. Hasilnya efektif mengatasi dengeu. Wolbachia dapat menghentikan replikasi virus dengue. Artinya, jika nyamuk menghisap darah yang mengandung virus dengue, virus tersebut tidak dapat bereplikasi di dalam tubuh nyamuk. Akibatnya, virus dengue tidak dapat ditularkan ke orang lain. Selain itu, bakteri wolbachia menurun ke nyamuk generasi selanjutnya.”

Hmmm. Wahai kekasihku, andai saja kamu di sini, kamu akan paham bahwa yang kulakukan tidak sia-sia. Paling tidak manusia yang berbicara dalam kotak ajaib itulah yang menegaskan kebenarannya. Jadi, bukan karena nafsu yang selalu kau tuduhkan padaku. Ini benar karena tugas mulia yang kuemban.

Senyumku mendadak patah saat kudengar kalimat selanjutnya. “Nyamuk betina ber-wolbachia yang kawin dengan jantan tidak ber-wolbachia, maka seluruh telurnya akan ber-wolbachia. Sebaliknya, nyamuk jantan ber-wolbachia yang kawin dengan nyamuk betina tanpa wolbachia, maka telurnya tidak akan menetas.”

Tubuhku membeku. “Bangs….” 

Tiba-tiba saja tenggorokanku sakit. Napasku tercekat. Aku terjatuh ke lantai. Aroma lavender tercium menyebar ke seluruh ruangan.

Ini sial yang sungguh sialan.

[red/red]

Mamik Istiyarto, si Bocah Tua halu.

Exit mobile version