Site icon ghibahin.id

Telekung Putih

“Aku meremas kain putih yang biasa disebut telekung, ikat kepala yang dipakai urang Kanekes atau awam menyebutnya orang Badui.”

Ia merintih, mengiba belas kasih. Suaranya mulai melemah, berlawanan dengan sorot mata penuh harap yang ia lemparkan padaku. Badannya basah menggigil ketika kuraih dari area yang dipenuhi sampah dan sisa air bah yang menyerang Serang. Aku tersenyum dan membelai kepalanya. Kuharap dia mengerti isyarat itu, bahwa aku akan menjaga dan membawanya ke tempat aman.

Ia mengeong, terjebak di atas papan kayu yang terombang-ambing gelombang. Air belum kunjung surut sejak hujan mengguyur bumi selumbari lalu. Sungai Cibanten meluap, seperti memuntahkan kesal dan jenuhnya. Tidak hanya itu, dua sungai lain yang mengalir di Provinsi Banten pun tak kuasa menampung luapan air yang terus datang dari hulu. 

“Kang, ayo cepat! Di bagian utara ada yang butuh diangkut. Ada lansia dan bayi terjebak di lantai dua.” Hendi berteriak dari atas perahu karet sambil melambaikan tangan. 

Aku mengangguk. Jutaan rintik hujan yang tumpah dari langit memukul-mukul helm pengaman yang melindungi kepalaku. Kepalaku berdenyut nyeri. Mungkin karena masuk angin, atau karena migrainku kambuh akibat asam lambung yang tinggi.

Malam terus merangkak naik. Sudah lima jam aku dan tim evakuasi menyusuri kawasan di sepanjang Cibanten. Dua orang dikabarkan hilang dan belum ditemukan. Belum ada perintah berhenti, seperti semboyan komunitas sosial yang menaungi kami: Pantang pulang sebelum menang. Menang dalam arti rampung menunaikan tugas. Jika belum ada perintah berhenti dari komandan regu, maka kami harus tetap bekerja.

Aku membungkus kucing kembang telon yang gemetaran dengan selembar selimut. Ia kugosok lembut untuk mengeringkan tubuhnya yang kuyup. Langkahku berat. Air setinggi paha merembes hingga membasahi rompi pelampung yang kukenakan. Sepatu karet sebatas lutut tidak mampu menghalangi air masuk dan membasahi kedua tungkaiku. Dingin kuabaikan. Perut lapar tak kugubris. Orang-orang yang terjebak banjir harus diselamatkan dan dikirim ke posko pengungsian sebelum air terus naik. 

Dua jam berlalu sejak si kucing kuselamatkan. Korban terakhir yang terjebak sudah aman dan hangat dalam posko pengungsian. Beberapa relawan wanita memberi mereka pakaian bersih dan tempat untuk beristirahat. Relawan lainnya sibuk menyiapkan makanan dan minuman hangat di dapur umum yang dibangun darurat dengan terpal dan bilah bambu.

Tangisan si bayi yang sejak tadi menyayat hati sudah reda. Dia tidur nyenyak di pelukan ibunya sambil mengisap susu hangat dari botol. Beberapa orang sudah terlelap dan meringkuk dibungkus sarung atau selimut tipis hasil sumbangan.

Dokter Hanifa tengah menjahit luka kepala seorang bapak saat aku datang ke posko medis untuk meminta parasetamol guna meredakan sakit kepala yang jadi tak tertahankan. Seorang perawat laki-laki berkacamata mengasongkan sebutir pil kepadaku.

“Istirahat dulu, Kang,” ujar Dokter Hanifa sambil masih sibuk menusukkan jarum berbentuk melengkung ke kulit si pasien yang terbaring di atas velbed hijau tua. 

Aku tersenyum kecut. 

“Korban hilang belum ketemu, Dok. Kami mau menyisir bagian selatan.” Aku menenggak setengah botol air mineral untuk menghanyutkan obat ke dalam tenggorokan. 

Dokter berjilbab hitam itu mengangguk mafhum. “Hati-hati. Air naik terus.”

Aku mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan posko medis. Hendi menyambutku dengan senyuman lelah dan dayung di tangan kanannya. Kukenakan helm dan kunyalakan kembali tombol headlamp. Dalam sekejap pandanganku menangkap jelas kepungan air di sekitar kami yang belum mau surut. 

Aku segera naik ke perahu karet dan mengayunkan dayung dengan sisa tenaga. Dari kejauhan lamat-lamat azan awal terdengar. Nadanya mengalun dan sedikit sendu. Mengingatkan aku pada cerita Bilal, si muazin pertama yang suara gesekan terompahnya terdengar di surga. Tiba-tiba pelupuk mataku rasanya terbakar. Air mata yang sejak tadi tertahan, jebol meluncur. Hendi menepuk-nepuk bahuku dari belakang. Mungkin dia menyadari bahuku berguncang.

Badanku boleh tinggi besar. Janggut dan jambangku memang lebat. Namun, kalau soal urusan hati, aku tak kalah perasa dengan kaum hawa. Kawan-kawan relawan memanggilku dengan sebutan: Rambo berhati Rinto. 

Tak lama berselang saat kami menyusuri banjir, dari kejauhan mataku menangkap sesuatu yang mengambang dan bergerak-gerak. Warnanya putih, terlihat kontras di antara lautan air yang berwarna cokelat kehitaman. 

“Hen, itu! Kita ke sana!” seruku. 

Perahu karet kami arahkan ke area itu, di mana benda putih yang kulihat mengapung terus bergerak. Kecemasan membuat aku mendayung lebih cepat. Semoga saja bukan mayat. Aku berharap dalam hati dengan debaran jantung tak terkendali.

Sedetik setelah kuraih benda itu, aku mendesah lega. Hendi ikut mengembuskan napas dan terkekeh. 

“Alhamdulillah,” gumamku.

“Kita jadi parno, ya, sejak mayat pertama ketemu tadi sore.” Hendi berkata. 

Aku mengangguk. Benda putih di tanganku memang bukan bagian dari tubuh manusia. Namun, carik kain itu membuat sebuah wajah berkelebat di benakku. Aku meremas kain putih yang biasa disebut telekung, ikat kepala yang dipakai urang Kanekes atau awam menyebutnya orang Badui. Kucuran air berwarna gelap jatuh dari sana.

Namanya Sarda. Laki-laki tua yang kutemui di acara seba, kegiatan menghantarkan hasil-hasil bumi kepada Gubernur Banten melalui Bupati Lebak di Rangkasbitung. Aku menyebutnya Abah Sarda. Tatapannya tajam dan mengandung binar kebijaksanaan. Usianya pertengahan lima puluh, tentu sudah kenyang makan asam garam kehidupan meski hidup di pedalaman.

Kira-kira sudah lima kali berturut-turut kami bertemu di acara tahunan seba. Abah Sarda adalah Pu’un atau kepala adat di suku Badui. Abah bersedia kuwawancarai setelah dibujuk seorang jaro, sebutan kepala desa di wilayah Kenekes. Sayangnya dia selalu menolak saat aku ingin mengambil fotonya. 

Pamali,” ujarnya sambil tersenyum, memamerkan geligi yang bersih tanpa noda. 

Konon dia menggosok giginya setiap hari dengan sabut kelapa tanpa pasta gigi. Pelarangan menggunakan sabun dan pasta gigi masih berlaku sejak dulu hingga sekarang di kalangan suku Badui. Mereka sangat berhati-hati, menjaga kebersihan sungai dari segala kontaminasi. Kesucian alam mereka junjung tinggi. Bahkan cara berpakaian pun diatur dalam hukum adat.

Selain menjadi relawan, sehari-hari aku adalah kuli tinta di sebuah harian yang cukup terkenal di Banten. Di acara seba aku kerap kali mewawancarai tokoh pemerintah dan tokoh adat yang hadir, salah satunya Abah Sarda. Acara seba adalah salah satu kearifan budaya di Banten yang tak bisa kulewatkan. 

Jang, dewek mah nitip. Tulis tah supaya kabeh masyarakat maca. Ulah ngaruksak alam. Engke karasa akibatna. Miceun runtah kudu di tempatna. Ulah di walungan. Walungan teh sumber kahirupan, boh keur manusa, sato, jeung tutuwuhan. Lamun geus kotor, loba nu rugi. Bakal aya mamala1.” 

Aku bergeming, takjub. Ada kharisma yang berbeda saat dia menepuk pundakku dan menatapku dalam.

Hiji deui. Ulah hidup sarakah. Cukup hakan jeung make saperluna. Kusabab tiap kahirupan geus diatur porsina. Lamun sarakah, sia cilaka2.

Petuah itu mungkin terkesan biasa. Semua orang pernah mendengarnya. Bahkan dalam buku pelajaran sekolah dasar dapat kita temui kalimat serupa. Namun, sesungguhnya jika direnungkan akan membuat hati bergetar. Terlebih saat aku menyaksikan rusaknya ratusan rumah, hilangnya sanak saudara, juga tangisan-tangisan pilu yang terdengar sepanjang malam. 

Gemerisik suara dari handy talky milik Hendi membuatku terkesiap. Komandan regu menyuruh kami kembali ke posko. Pencarian akan dilanjutkan ketika hari sudah terang. Semua orang kelelahan. 

“Hendi dan Wardana, kembali ke posko satu! Kalian harus istirahat dulu.”

Aku menoleh dan melihat gurat lelah di wajahnya seketika lenyap setelah mendapat kabar baik yang ditunggu-tunggu.

 “Siap, Kang. Kami akan kembali ke posko,” jawab Hendi dengan suara riang. 

Kami mendayung dalam diam, membelah banjir yang berbau tajam. Suara yang terdengar hanya riak air yang tersapu dayung. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Hendi. Senyuman belum juga hilang menghiasi wajah tirusnya. Tempias hujan sama-sama membasahi kami. Mungkin dia sedang membayangkan aroma mi instan yang baru diseduh, atau kehangatan kopi sasetan yang disiram air dari termos.

Lagi. Air mataku merebak. Bukan karena terharu atas perhatian Kang Badri atau gembiranya Hendi. Namun, nasihat Abah Sarda yang dalam itu terus berdengung memenuhi kepala serupa kawanan lebah di sekitarku. Suara lelaki yang selalu mengikat kepalanya dengan telekung putih. Aku menatap telekung yang melilit tanganku. Aku tak tahu milik siapa ikat kepala itu. Aku hanya bisa berharap, tidak ada kepala dan tubuh yang mengambang kutemukan di sepanjang jalan pulang ke posko.

Catatan:

  1. Nak, saya nitip. Tulislah supaya semua masyarakat membacanya. Jangan merusak alam. Nanti terasa akibatnya. Membuang sampah harus di tempatnya. Jangan di sungai. Sungai adalah sumber kehidupan, baik bagi manusia, hewan, dan tumbuhan. Kalau sudah kotor, banyak yang rugi. Akan ada malapetaka. 
  2. Satu lagi. Jangan hidup serakah. Cukup makan dan pakai seperlunya. Sebab setiap kehidupan sudah diatur porsinya. Kalau serakah, kamu celaka. 

Windy Marthinda, manusia biasa yang ingin berguna.

[red/na/san]

Exit mobile version