Tarawih

Tarawih

“Tidak ada jaminan tahun depan kita bisa bertemu Ramadan. Karena itu, bukankah sudah seharusnya kita beribadah sebanyak-banyaknya?”

Sore itu, aku kedatangan seorang pengembara di Langgar kecil yang ku-marboti ini. Saat itu sekitar tiga puluh menit sebelum Maghrib.

Waktu itu dia masuk kemudian duduk satu meter jauhnya di sebelahku setelah berucap “Assalamualaikum” dari luar Langgar. Aku menoleh lalu mengubah tempat dudukku sehingga kini kami saling berhadapan. Kemudian, aku mulai mengamati dengan seksama segala sesuatu tentang tamu di sore hari menjelang Maghrib ini.

Kutaksir umurnya masih muda. Antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Dia memakai sesuatu seperti jaket berwarna abu-abu yang sudah kehitaman karena kotornya. Dia juga memakai tudung kepala yang menjadi satu dengan jaketnya itu. Lalu, dilepasnya tudung dan jaketnya sekalian saat dia mulai duduk.

“Permisi, Kek. Bolehkah saya meminta air minum dan makanan untuk berbuka nanti?” tanya pria muda itu.

“Kau puasa Senin-Kamis?” 

“Iya, Kek.”

“Aku juga sedang puasa, Nak. Tapi maaf, aku hanya punya air putih dan sedikit kurma,” jawabku.

“Itu sudah cukup, Kek.” Setelah itu dia mengambil Al-Qur’an tanpa sampul yang ada di rak lusuh di sebelah tempat Imam, dan dibaca olehnya dengan lagu yang indah dan penuh penghayatan. Terus terang, selama hidupku yang lebih dari enam dekade ini, aku belum pernah mendengar secara langsung seseorang membaca Al-Qur’an seindah ini. Tanpa terasa aku pun meneteskan air mata. 

“Kek, sudah masuk waktu Maghrib. Bolehkah saya yang azan?” tanyanya.

“Silakan, Nak.” Dalam hati aku berharap suara merdunya akan membuat orang-orang kampung bersemangat salat berjamaah lagi. Tak seperti biasanya yang cuma tiga atau empat orang tua yang itu-itu saja.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Asyhadu allaa illaaha illallaah, Asyhadu allaa illaaha illallaah

Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah, Asyhadu anna Muhammadar rasuulullah

Hayya ‘alashshalaah, Hayya ‘alashshalaah

Hayya ‘alalfalaah, Hayya ‘alalfalaah

Allaahu Akbar, Allaahu Akbar 

Laa ilaaha illallaah 

Alhamdulillah, ternyata doaku terkabul! Ada banyak orang selain empat orang tua yang biasa menemaniku salat berjamaah. Kuhitung ada lima belas orang lain yang ada di dalam Langgar, belum lagi yang masih ada di luar Langgar, yang sayup-sayup kudengar percakapannya menanyakan siapa yang tadi azan.

Selepas Isya’ aku duduk-duduk di depan Langgar bersama anak muda itu. Sebelum dia pergi esok hari, aku ingin mengetahui siapa dia sebenarnya. Namun, dia sama sekali tak mau menjawab. Dia malah balik menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

“Kek, sebentar lagi kan puasa. Kalau pas tarawih, yang ikut jamaah banyak kayak tadi, nggak?” tanyanya. 

“Di sini warganya malas ibadah, Nak,” jawabku. “Dua tiga hari pertama masih banyak yang ikut tarawih, selepas itu semakin hari makin sedikit.”

“Kok bisa, Kek?”

“Bukankah sudah Kakek bilang kalau warga sini malas beribadah.”

“Bagaimana kalau masalahnya bukan di mereka, tapi di Kakek sendiri?” 

“Apa maksudmu, Nak?” tanyaku tak sabar.

“Mungkin Kakek terlalu egois?” tanyanya balik. “Tarawih yang biasanya paling lama satu jam, kalau Kakek yang mengimami bisa sampai satu setengah jam lebih,” lanjutnya lagi.

Aku terdiam. Bagaimana dia bisa tahu? Tapi, tidakkah itu untuk kebaikan? Itu kulakukan karena di bulan Ramadan, segala sesuatu mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Mana mungkin mereka tidak mau mendapatkan pahala berlipat? 

Seolah tahu akan kebingunganku, dia bertanya “Apa yang Kakek pikir baik, belum tentu baik juga untuk semua orang, bukan?”

“Ramadan itu cuman sekali setahun, Nak. Dan, tidak ada jaminan tahun depan kita bisa bertemu dengannya. Karena itu, bukankah sudah seharusnya kita beribadah sebanyak-banyaknya?” Aku merasa benar-benar tak paham jalan pikirannya, dan itu membuatku semakin tak sabar.

“Itu memang sesuatu yang tidak bisa disangkal kebenarannya, Kek. Tapi, bagaimana kalau benar gara-gara tarawih yang lama, akhirnya mereka tidak ada yang mau tarawih? Apa Kakek tidak merasa bersalah pada mereka?”

Hah, kenapa juga aku harus merasa bersalah? Atau … haruskah aku? Satu hal yang paling kuinginkan adalah mengajak tetanggaku menikmati ibadah seperti halnya aku, tapi tak pernah terbayang kalau gara-gara itu mereka malah menjauhi ibadah.

“Kakek jangan terlalu merasa bersalah karena ini. Wajar manusia salah, namanya juga manusia,” katanya mencoba menenangkanku. “Begini saja, untuk empat hari pertama tarawih, Kakek pilih surat-surat paling pendek saja dan dibaca agak cepat. Nanti setelah agak banyak yang ikut tarawih, balik ke surat agak panjang.”

“Kalau yang tarawih jadi sedikit lagi?” tanyaku.

“Ya balik ke surat-surat pendek, Kek. Gitu aja kok repot.”

Benar juga. Kalau yang tarawih sudah banyak lagi, tarawihnya bisa kubuat bergantian tiga hari agak cepat dan sehari agak lama. Aku memejamkan mata sambil merenung sebentar. Dari dulu, cara itu kuyakin bisa memberikan pilihan terbaik bagiku.

Setelah beberapa saat, aku membuka mata dan berkata “Kau memang benar, Nak …?” dimana anak itu? Kenapa kok sudah tidak ada? Apakah dia semacam wali? Batinku bertanya-tanya tentang kemunculannya yang tiba-tiba, kemampuannya membaca Al-Qur’an, dan juga hilangnya yang tiba-tiba. Dan semua itu tiba di satu pertanyaan. Siapa pria itu? 

*****

Saat Marbot tua itu kebingungan, di tempat lain, di sebuah rumah tak seberapa jauh dari Langgar kecil itu, ada lima orang yang sedang berbincang di ruang tamu. Empat pria tua bersarung dan berbaju takwa, serta satu pria muda yang menggunakan hoodie abu-abu.

“Wah, aktingmu benar-benar ciamik, Ardi,” puji salah satu orang tua itu.

“Nggih, Pakde. Pokoknya demi kebaikan umat, saya selalu siap.”

“Bener itu, Nak. Pokoknya yang penting orang-orang mau rajin tarawih lagi. Setelah itu kalau ada yang mau tarawih yang lama, biarlah mereka pergi ke masjid agung di kota,” tutur satu orang tua yang lain. [red/san]

Nanang Ardianto, Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *