Surat

Surat

Kalau aku tak bisa memiliki Mas Budi, kau juga tak akan bisa memilikinya. Aku akan membuatmu menderita seumur hidupmu.

Ibu meninggal dua minggu yang lalu. Selesai sudah peperangan ibu mempertahankan nyawanya. Selesai juga penderitaan ibu akibat kanker payudara sialan yang dideritanya selama empat tahun belakangan ini.

Alangkah lucunya. Kita tidak pernah menginginkan peperangan memperebutkan nyawa itu selesai. Bagaimanapun caranya kita akan terus berusaha berperang? Sesakit apa pun rasanya, kita akan melawan. Meski kita tahu selesainya peperangan itu juga berarti selesainya penderitaan. 

Sebenarnya untuk apa kita terus berperang kalau akhirnya kita pasti mati juga? Entah karena penyakit ataupun karena sebab lain.

Entahlah.

Aku menumpuk baju-baju bekas ibu menjadi beberapa tumpukan. Tumpukan pertama, baju-baju yang akan kami sumbangkan. Tumpukan kedua, baju-baju yang mungkin aku, atau adikku, ingin simpan. Meski itu sebenarnya nggak perlu. 

Kain-kain itu akan usang dimakan waktu. Tapi kenangan tentang ibu akan tetap melayang-layang di benak kami. Tentu saja. 

Aku bahkan masih ingat rasa cubitan jemari ibu di pahaku. Itu setelah dia memergoki aku berciuman dengan Herman, pacarku. 

Ada selembar jaket tebal yang sering ibu pakai dan remas kainnya ketika kesakitan. Beberapa lembar daster batik, rok dan kemeja. Juga beha dan celana dalam. 

Aku juga menemukan potongan-potongan kain yang dilipat-lipat. Kain yang digunakan ibu untuk menyumpal behanya agar tubuh ibu nampak ‘normal’ setelah pisau operasi menyayat kedua payudaranya.

Tumpukan baju ibu di lemari menyusut dengan cepat.

Aku menemukan beberapa lembar kertas yang dilipat di bawah lipatan baju ibu yang paling bawah. Sebuah kebaya yang kata ibu adalah kebaya pengantinnya. 

Kuletakkan kebaya itu di atas tumpukan baju yang akan disumbangkan. Aku tak memerlukan kebaya itu karena aku tak punya kenangan apa-apa dengannya. Biarlah kebaya itu jadi kenangan milik ibu saja.

Kuambil kertas-kertas itu dan kubuka. Kupikir kertas-kertas itu berisi catatan hutang ibu. Hampir saja aku keluar dan menyerahkan kertas-kertas itu ke bapak untuk melaporkan kalau ibu masih punya hutang.

Ternyata bukan.

Kertas-kertas itu surat untuk ibu. Tanganku gemetar ketika aku membaca isinya. 

Rasa marah segera bergemuruh di dadaku. Salah satu suratnya membuatku mengepalkan tangan erat-erat sampai telapak tanganku sakit. 

Kalau aku tak bisa memiliki Mas Budi, kau juga tak akan bisa memilikinya. Aku akan membuatmu menderita seumur hidupmu.

Budi adalah nama bapakku. Nama yang sebenarnya tidak terlalu sesuai mengingat banyak tingkah bapak yang eggak berbudi.

Surat-surat itu tak bernama dan tak beralamat. Aku juga tidak bisa mengenali penulisnya. 

Isinya sama. Ancaman akan membuat ibu menderita. Aku bisa menebak, siapa pun penulisnya, pasti selingkuhan bapak.

Bapakku memang doyan berselingkuh. Pacarnya berganti-ganti meski anak-anaknya sudah besar. 

Aku tak tahu apa yang diharapkan perempuan-perempuan itu dari bapak. Bapak sepertinya tidak pernah berniat bercerai dengan ibu untuk menikahi salah satu dari mereka. 

Meski ibu selalu marah-marah karena perselingkuhan bapak, ibu selalu mau berbaikan lagi. Mereka rukun beberapa bulan sampai bapak selingkuh lagi.

“Laki-laki boleh punya istri lebih dari satu. Aku cuma nikah siri sama mereka. Bisa kuceraikan kapan saja,” jawab bapak kalau ibu marah-marah.

Aku tidak bisa mengerti alasan ibu memilih mempertahankan perkawinan dengan bapak. Kalau aku yang diselingkuhi, mungkin sudah kuremas biji kelamin laki-laki itu sampai dia mengingat sakitnya seumur hidup.

Aku tidak tahu siapa pengirim surat itu. Frustasi sekali rasanya ketika ingin mengetahui sesuatu, tapi tidak akan pernah tau. 

Dadaku masih sakit oleh kemarahan dan dendam yang tidak tahu harus kutimpakan kepada siapa. Apakah ke perempuan tak tahu malu yang tetap mengejar-ngejar suami orang? Atau ke bapakku yang gemar membagi cinta dan sperma? 

Atau, haruskah kutuntut dan kutuding leluhurku yang memberi ijin laki-laki punya lebih dari satu istri? [red/red]

Lulukchoi, tinggal di Tangsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *