Site icon ghibahin.id

Sesal Si Kumbang

Foto oleh Pixabay

“Semua tidak tahu di balik badan tegap serta dandanan yang perlente ini aku membutuhkan perhatian melebihi aku membutuhkan udara dan matahari.”

Dusun ini sudah banyak berubah. Dahulu, seisi dusun gelap gulita semenjak maghrib. Saat ini lampu teplok yang asapnya membumbung itu sudah sangat langka. Lampu petromaks yang cahayanya diandalkan menerangi ruangan pun sudah tinggal kenangan belaka. Satu-satunya yang masih sama adalah suara krik-krik memecah keheningan malam. Bersahutan dengan suara kodok yang bersembunyi di sawah dan selokan.

Aku terpaksa kembali ke dusun ini, meninggalkan anak-anak dan istriku, Lastri. Langkahku sangat gontai, rasa sakit dan malu membuat syaraf-syarafku mati rasa. Kerikil dan batu yang menusuk telapak kaki tak lagi kuhiraukan. Adalah sebuah rasa sakit tak tertandingi, tersingkir dari rumah sendiri. 

Jika kau seorang lelaki, maka bisalah kau menerima pemotongan gaji. Atau dipindah kerja ke pelosok negeri. Atau jika semua teman-temanmu sinis tak peduli. Bahkan saat kantongmu tipis nyaris tak terisi. Kau akan kuat dengan semua itu. 

Tapi dicampakkan oleh keluarga sendiri? Entah mana yang lebih besar. Rasa hina, penyesalan, atau sakit hati? Aku sudah tak tahu lagi.

Aku memang tidak pernah kalah. Semua di rumah memilih menuruti kemauanku. Egois? Tak mengapa jika itu pendapatmu. Tak pernah aku merasa perlu mengantri, jika aku bisa mendesak ke baris terdepan. Aku punya semua pesona itu. Semua akan luluh dengan senyumku.

Siapa yang tak mengenal Baskoro. Kalau ada istilah bunga desa, maka aku adalah kumbangnya. Tidak ada satu pun wanita menyia-nyiakan perhatianku. Tidak satu pun, garis bawahi itu.

Merekalah yang merugi menyia-nyiakan aku, dulu selalu kuyakini itu. 

Saat muda, aku bukan hanya sombong. Aku juga angkuh dan menyebalkan. Semua tidak tahu di balik badan tegap serta dandanan yang perlente ini aku membutuhkan perhatian melebihi aku membutuhkan udara dan matahari. Aku begitu rapuh saat semua diam tak menyadari keberadaanku. Aku bisa hancur saat dikecewakan terlebih oleh mereka yang berada di dekatku.

Kehancuranku sama sekali tak terbayang. Aku selama ini terlalu kenyang dan nyaman dengan perhatian. Selalu di atas angin dengan semua yang tunduk melayani. Hingga aku lupa dan berbuat kesalahan yang bukan hanya besar tapi juga fatal. 

Nunik, perempuan genit paruh baya itu memang keterlaluan. Dia seolah tahu kelemahanku. Aku yang dulu pernah lalu-lalang melewati jalan depan rumahnya selagi muda. Dan kini setelah kematian suaminya, Darmo yang udik itu -Nunik kembali ke memori masa mudanya. Mencariku demi mengisi waktu sepinya.

Asal kau tahu, aku sempat bertahun-tahun setia kepada istriku. Dengan kesabaran dan kasih sayangnya kepada anak-anakku, maka aku tak tega menyakiti perasaannya. Rumah Nunik tak pernah kulewati lagi, semenjak pernikahanku dengan Lastri. 

Tapi siapa yang menyangka, darah muda yang kupadamkan sekian lama tiba-tiba terbangun dengan kehadiran Nunik di sebuah senja. Seolah hafal dengan kebiasaanku, sore itu dia dengan gurat kecantikannya yang masih tersisa, tersenyum di pengkolan depan pom bensin sialan itu. 

“Baskoro, jangan ditanggapi wanita itu!” Hatiku yang kanan mengingatkan.

“Santai saja Bas, toh dia sahabat lama.” Hatiku yang sebelah kiri menyela dengan gembira. Padahal alih-alih hatiku, yang berbisik terakhir adalah nafsu.

Nunik hampir setiap senja selalu menanti di situ. Aku dengan lihai mengatakan, bahwa aku akan pulang selepas Isya, mampir ngopi dulu bersama teman-temanku. Dan, Lastri tanpa curiga sama sekali mengangguk, percaya sepenuhnya kepadaku.

Perempuan lugu itu tidak sadar telah dikelabui. Sial sekali nasibmu Lastri, semestinya ketulusanmu hanya untuk lelaki baik dan beradab, yang beriman dan tahan godaan. Bukan untukku.

Istriku parasnya memang pas-pasan. Hatinya begitu penyayang dan lugu. Apa lagi yang bisa kuharapkan dari seorang wanita? Dia tidak ada kurangnya. Aku saja yang dungu, mau diperbudak nafsu.

Aku tidak bisa membela diri. Tidak ada satu pasal pun yang bisa kutemukan berpihak padaku. Kesepian? Aku tidak. Bosan? Juga tidak. Aku hanya rindu petualangan. Sebuah alasan bodoh yang jika kuingat lagi akan menusuk jantungku bertubi-tubi. Baskoro, si tua bangka tega berkhianat kepada Lastri.

“Jangan sampai aku melihat wajahmu lagi!” 

“Laki-laki tidak tahu diri!”

Umpatan anak-anakku selalu terngiang. Dan itu memang pantas belaka, aku bukan bapak yang baik. Barangkali ingatan mereka tentangku tak lebih dari seorang pria yang selalu minta dibelikan rokok ke warung, memarahi jika rumah kurang rapi, atau memaksa mereka berhemat setiap hari.

Aku memang tak lebih dari itu. 

Maka sudah sepantasnya kukemasi saja barang-barangku itu. Sebuah kopor lapuk nyaris busuk sebagai satu-satunya hartaku. Di dalamnya hanya ada beberapa baju, botol parfum murahan yang tinggal beberapa tetes isinya, dan korek api tua. Isi dompetku? Hanya beberapa lembar uang puluhan ribu saja. 

Terngiang suara almarhum Simbok, saat membelai-belai kepalaku. Di masa kecilku, puja-puji tak pernah berhenti meluncur dari mulutnya.

Anakku, anakku ganteng dhewe … suk gedhe mulyo uripe …

Ketiga kakak perempuanku akan melirik sinis dari jauh, berharap simbok berhenti memuji. Atau setidaknya sesekali pujian itu mendarat untuk mereka. Maafkan aku Mbok, kegantengan ini justru menjadi racun yang merampas kemuliaanku. 

Maka kulangkahkan kakiku menuju surau itu. Surau yang dulu selalu kutuju, demi menghindari disuruh emak membantu membereskan dapur atau mencarikan rumput kambing-kambing bau di belakang rumahku. 

Jika dusunku sudah jauh lebih maju, maka surau itu nyaris tidak berubah. Justru keadaan ini sangat kusyukuri. Memasukinya seperti mengembalikanku ke masa kecil. Masa-masa penuh keseruan di mana aku bebas dengan segala kenakalan. Masa di mana aku belum memenuhi catatan hidupku dengan setumpuk kesalahan.

“Mas Bas, monggo, mari masuk.” 

“Iya Dul, matur suwun ….”

Dul Rahman mempersilakanku masuk. Aku merasa dekil dan hina, hanya bisa menundukkan wajahku saja. Satu-satunya yang masih menerimaku hanyalah Dul Rahman dan sepetak bangunan kecil di sudut dusun kami ini.

Kubasuh mataku yang sembab dan perih, hingga sela-sela jari kakiku. Air wudhu yang merembes ke kulit, benar-benar kunikmati. Andai setiap tetesannya bisa meluruhkan dosa-dosaku sehingga Lastri sudi memaafkanku. 

“Dul, aku tidak tahu bagaimana membalasmu, matur nuwun sudah menerima aku. Aku siap disuruh apa saja Dul, apa saja.”

Dul Rahman tersenyum menepuk-nepuk pundakku. Aku sendiri hanya menunduk dalam-dalam, tak sanggup menatap wajah Dul Rahman yang teduh. 

Disodorkannya setumpuk pakaian dan selembar handuk. Semua putih bersih dan mengeluarkan aroma harum. Pantaskah aku yang legam dan hina ini menerimanya? Aku ragu-ragu, merasa tak pantas dan malu. 

Sampeyan tenang saja di sini, Mas Bas. Gusti Allah Maha Pengampun, jangan lupakan itu. Ini Mas, saya sudah siapkan sedari kemarin.”

Lenganku yang lunglai menerima setumpuk pakaian putih itu. Tiba-tiba hatiku semakin tertusuk, demi sekelebat bayangan wajah Lastri mengenakan kerudung putih di hari pernikahannya. Kerudung yang kubeli dari keringatku sendiri, dan satu-satunya yang mampu kuberikan selain mahar dari hasil Simbok menjual kerbaunya. 

Selanjutnya aku hanya bisa tersungkur dalam genangan air mata. Usaha Dul Rahman menenangkanku tak kuhiraukan lagi. Rasa sesal ini tidak mungkin berakhir. Tidak esok hari, bahkan sampai aku mati

Tyas Ary Lestyaningrum, tinggal di Cikarang Timur, Kabupaten Bekasi.

[red/na/san]

Exit mobile version