Sepotong Cinta dalam Guratan Sebuah Pena

Cerpen

“Betapa cinta bisa menjadi sangat sia ketika satu hati tak lagi berjalan seirama. Betapa cinta bisa menjadi tak berdaya ketika satu hati mulai terperdaya.”

Kau menulis selarik demi selarik di tubuhku. Bermonolog sendirian. Mungkin kau berharap kekosongan di hatimu lenyap. 

Kau yang menangisi kenangan dan merengkuh sejarah dalam balutan rindu, sudah pulihkah hatimu dari terpaan badai? 

Matamu menyampaikan kesedihan. Jemarimu masih menari, mengguratkan pena di atas kertas. Selaras setiap napas yang kau hembuskan. 

Kau terus menulis dalam tangis. Kau mulai serius menghayati masa lalu yang sudah bergerak seinchi-dua inchi menjauh. Berapa miliar milisekon cinta yang telah kau simpan untuknya? 

Kau selalu bilang padaku bahwa cintamu adalah cinta yang bisa dikalkulasikan ke dalam angka. Tujuh tahun kau kalikan dua belas, kau kalikan tiga puluh, dua puluh empat, enam puluh, enam puluh dan enam puluh. Kau temukan kekayaan cintamu dalam nominal angka yang dahsyat. Melesat bagai kecepatan cahaya. 

Cinta itu logis. Demikian katamu pada suatu waktu. Bagiku, cintamu hanya sebuah rasa sakit yang kau kubur sendiri. 

Kau menggigiti bibir. Apakah kau mulai putus asa? Cintamu rapuh, serapuh awan yang tampak mampat tapi begitu kau sentuh dia berurai. Seperti air matamu. 

Suara isak melesak ke dinding-dinding yang gagu membisu. Membayangkan tak akan ada lagi aroma kopi tercium di samping tempat tidurmu setiap pagi, membuatmu merasa betapa sepinya perpisahan yang dilakukan seorang diri.

Kau yang selama ini menggenggam cinta dengan erat, begitu nelangsa sewaktu kulihat dia tak mau lagi terlibat. Kau terpikat pada cumbuannya yang singkat, pada kebebasannya yang tanpa sekat. 

Cintamu buta dan kehilangan kendali atas dirimu. Cintamu yang manis membuat hatiku terkikis. 

Cintamu mutlak. Cintamu adalah sebuah keutuhan yang hanya bisa kau bagi untuk satu orang. 

Sungguh aku iri. Aku ingin menggantikannya. Dia yang keberadaannya memenuhi ruang hatimu. 

Aku tak pernah paham kenapa kau begitu rela. Rela memberikan cinta yang begitu besar tanpa keraguan. 

Diam-diam aku pun mulai mengamatimu, menjelajahi isi pikiranmu, hingga di ujung kutemukan satu. Cinta yang mengendap dalam hatimu tidak butuh dipertanyakan kehadirannya. Cintamu tunggal untuk dia seorang. 

Aku menandai kesetiaanmu. Aku ingin merengkuhmu ke dalam pelukan agar kau tetap hangat dan tidak merasa kesepian. Aku ingin kau tahu bahwa aku di sini untukmu. Menjagamu. Menjadi seorang teman untuk merayakan kebebasan hatimu yang telah lama terbelenggu. 

Betapa cinta bisa menjadi sangat sia ketika satu hati tak lagi berjalan seirama. Betapa cinta bisa menjadi tak berdaya ketika satu hati mulai terperdaya.

Tahukah kau betapa aku ingin bersamamu? Duduk berdua dan bercengkrama. Bagai dua orang sahabat yang lama tak bersua. Aku membayangkan kita akan betah bersama berlama-lama. Seperti hari-hari yang telah kita lalui, dalam kesadaranku.

Aku masih setia di sini, mengikuti ayunan jarimu yang masih menorehkan nama-nama yang sama atas nama luka. Aku masih setia bersamamu, menemanimu baik esok, lusa, tulat, selamanya. 

Tak ingin kumelihatmu merana seorang diri. Tubin adalah hari lahirmu. Kuingin merayakannya bersamamu.

Kamu mulai takut. Takut karena di hari istimewa itu kau akan berdiri sendiri tanpa ada sepotong kue, cahaya lilin, juga dia. Dia yang masih memiliki kunci hatimu. 

Kamu mulai berfantasi. Menjejakkan kakimu di ujung langit, membebaskan jiwamu dan melepaskan rasa cintamu yang disakiti. Kau menari. Melakukan gerakan nan gemulai diiringi oleh pusaran kepastian. 

Tidak ada kepastian yang dibangun di atas tanah yang berongga. Tidak ada kepastian dalam cinta. Cinta itu ketidakpastian. 

Kamu mulai berdeklamasi, menyebut namanya berkali-kali. Berharap dia akan muncul dan rasa sakit itu pergi bagai sebuah mimpi. 

Lambat laun kamu mulai menyadari bahwa luka itu nyata adanya. Bahwa kepergiannya menyisakan perih. Bahwa kelogisan angka cintamu tak lagi bisa menjadi sebuah pegangan. Kamu pun mulai putus asa. Seperti layangan yang benangnya putus tiba-tiba karena angin kencang datang menerpa. 

Lorong jiwamu mulai dipenuhi penyesalan, hatimu mulai didera rasa rindu. Kau berhenti menyapukan kenangan ke dalam selarik bait, kau lelah. Kau terbaring di atas tempat tidur berselimutkan sepi. 

Setiap malam, setiap kau menuju pembaringan, kau mengeluh hatimu pilu. Ngilu. Ada rasa sakit yang tidak kunjung menyingkir meski kau usir. Kau pasrah, mendekap lara dalam isakan tak berkesudahan. Ada perih yang tak kunjung pulih meski telah disapu buih. 

Laramu adalah laraku. Tak perlu ribuan kata untuk menyelami isi hatimu. Aku mencintaimu dalam diam dan kenangan. Aku ingin melihatmu bahagia dalam penerimaan. 

Sinar pagi menghangatkan kedua matamu yang sembab. Tubuhmu bergerak lemas tak bertenaga. Kau bangun dan mendapati bahwa kesendirianmu seharusnya patut dirayakan. Hari ini adalah perulangan kelahiranmu. Kau ingin hari lahirmu kau suka-citakan tanpa mengenang dia yang pergi meninggalkan.

Kau pupuri wajahmu dengan bedak, kau poles bibirmu dengan gincu warna kesayanganmu. Magenta. Merah keunguan membuatmu tampak sempurna menyambut hari istimewa meski tanpa seorang teman.

Aku melihatmu mematut-matutkan diri di depan kaca. Sudah waktunya kau mencari kebahagiaan di hari ulang tahunmu, Nay! 

“Selamat tinggal, Diary!” Kau menyapaku dengan salam perpisahan. Aku tahu betapa kau ingin melupakannya. Kebahagiaanmu adalah bahagiaku. Meski aku harus kau benamkan ke dalam panasnya bara api.

Selamanya aku adalah penjaga hatimu, saksi bisu ratusan miliar milisekon cintamu, penjaga yang memendam kesedihanmu. Sebuah buku catatan usang yang cintanya bertepuk sebelah tangan. [red/na-red]

Sandra Srengenge, Pembakul buku, suku menulis cerita dan nongkrong di ghibahin.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *