Semua Demi Steak Daging Terenak

“Kepalaku begitu pusing. Suara-suara di kepalaku berteriak semakin nyaring. Aku merintih, malam ini ada tulisan pesanan yang harus kuselesaikan.”

Aku tahu keberadaanku tak pernah benar-benar berarti bagi keluargaku. Menyedihkan bukan kata yang paling tepat untuk menggambarkannya. Tak ada satu hal pun yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa dalam lubang di dadaku tiap kali pertanyaan tentang arti keberadaanku mendera pikiranku, seperti malam ini. 

Kadang terlintas keinginan untuk mati. Namun kutahu, mati sebelum seharusnya hanya menyisakan tangis dan kutukan yang lain. 

Pikiran seperti ini hanya hadir di malam hari. Saat kepalaku rebah di bantal dan aroma liur anak-anakku menguar. Di siang hari, pikiran-pikiran itu tak pernah muncul.

Siang membuat kakiku terus berjalan. Dengan terus melangkahkan kaki, tak ada yang tahu bahwa sebenarnya aku sudah separuh mati. Melangkahkan kaki membuatku terlihat sama seperti mereka semua yang sejak belum dilahirkan sudah diberi tugas dan tujuan penting untuk dilakoni dalam kehidupan. 

Jika bisa, aku ingin sirna saja. Bukankah memang lebih baik jika aku tak pernah ada? Namun, memikirkan tentang sirna dan mati tak membuat bebanku semakin ringan. Toh, kenyataannya aku punya anak yang harus diberi makan, dimandikan, bahkan masih butuh dibantu membersihkan kotoran dari duburnya. 

Sayangnya, mereka begitu sial karena telah lahir lewat sobekan di rahimku. Begitulah, untuk melahirkan mereka saja aku kepayahan. Ibu lain bisa menceritakan bagaimana kisah heroik mereka saat melahirkan anak. Tidak denganku. Mengeluhkan hal ini juga tak mudah, mereka bilang aku tak tahu bersyukur. 

Aku bosan dengan nyeri yang belakangan mendera kepalaku. Dulu, nyeri kepala bisa dengan mudah kuatasi. Cukup beli obat sakit kepala di warung tetangga. Sebutir saja sudah bisa meredakan nyeri yang kurasa. 

Namun, kini nyeri itu bersuara. Ia begitu gaduh, membuat pekik yang menembus tulang di sebelah kanan dan kiri mataku. Obat sakit kepala itu tak bisa menghentikan gaduh itu. 

Aku mengerti, ada obat yang lebih baik. Aku bisa dengan mudah mendapatkannya jika aku pergi ke psikiater. Tapi, pergi ke psikiater membutuhkan biaya. Kurasa aku akan menghabiskan uang susu untuk anakku, uang sekolah untuk anakku yang lain, dan uang untuk beli beras. 

Mana bisa aku menempatkan kebutuhanku di atas kebutuhan anakku? Ibu macam apa aku jika tak bisa mengutamakan keluargaku dulu? 

Aku sudah lelah menjadi tak berguna. Meski sudah kuusahakan memberi nyawa pada setiap peluh yang mengucur dari tubuhku, masih saja aku tak berguna. 

Peluh-peluh itu mengalir seiring usahaku untuk menjadi lebih punya arti. Kadang mereka menetes saat aku membersihkan kotoran yang menempel di celana dalam anakku, menjemur kasur, atau membersihkan rumah. Tapi peluh semacam itu tak ada artinya, toh tak ada uang yang kudapat dari peluh yang menetes di dalam rumahku. 

Aku pikir, jika berhasil mendapatkan uang dari peluhku maka aku akan menjadi lebih berharga. Bukankah demikian juga yang terjadi pada orang lain? Siapa pun akan menjadi berharga saat bisa menghasilkan uang. 

Seperti Laksmi, sepupuku yang kini menjanda. Hidup di kampung nenekku. Lulusan SD yang kini punya warung kopi untuk pria yang tak dibuatkan kopi di rumah oleh istrinya. 

Laksmi selalu punya uang. Meski katanya ada pelanggan yang berutang. Tapi ia selalu punya uang. Saat ada pelanggan yang menggoda dan mencoba menawarkan janji manis pernikahan padanya, ia tak tergoda. Laksmi sangat bermartabat, karena ia punya uang sendiri. 

Laksmi menghiasi jemurannya dengan kutang brokat merah berenda hitam. Ia pernah membeli tiga lusin kutang, tanpa perlu meminta uang dan menunggu jatah bulanan sepertiku. Sungguh, ia cerminan perempuan tangguh yang selama ini hanya kubaca dari postingan-postingan aktivis gender di Facebook.

Pendidikanku lebih tinggi dari Laksmi. Namun, peluh Laksmi jelas lebih berharga daripada peluhku. 

Kesukaanku membuat logo untuk toko daring memang bisa menghasilkan uang, tapi hanya sedikit. Keadaan ini sudah lumayan jika dibandingkan dengan tiga tahun silam saat aku diombang-ambingkan hormon pasca melahirkan. Setidaknya dari hasil membuat logo, aku bisa punya modal untuk ikut kelas menulis. 

Pikirku, menulis dapat membebaskanku dari kemiskinan. Satu yang kulupa, berisik di kepalaku membuatku kesulitan untuk menulis. 

Untungnya, tulisanku sudah pernah laku. Saat itu, aku bisa membelikan steak daging yang enak dari restoran yang papan namanya menyala. Kuingat betul, anakku menatapku dengan sorot lembut saat aku menyajikan steak yang enak itu. 

Tujuan hidupku samar-samar terlihat. Aku ingin membuat lebih banyak tulisan supaya bisa membeli steak daging yang enak setiap hari untuk anakku. Tatapan anakku telah membuatku merasa lebih berharga.

Sejak hari itu, aku semakin rajin menulis dengan ponselku. Kurasa, jika kata-kata yang kutulis itu disusun berderet, panjangnya menyerupai rangkaian gerbong kereta dari Bandung hingga Surabaya. Untuk punya uang, aku harus menulis sebanyak mungkin. Bahkan tak apa kalau isinya hanya bualan. 

Aku pun berubah. Kini aku menjadi seorang ibu yang pandai membual. Namun, steak daging tetap belum bisa terhidang setiap hari. Bulan ini, aku hanya bisa membeli steak daging sekali saja. 

Kepalaku begitu pusing. Suara-suara di kepalaku berteriak semakin nyaring. Aku merintih, malam ini ada tulisan pesanan yang harus kuselesaikan. 

Dua bulan lalu, seorang bapak menghubungiku. Katanya ia ingin dibuatkan tulisan. Ia menjanjikan sejumlah uang, cukup untuk membeli steak daging tiga puluh kali. Aku menemuinya di sebuah warung sate. Warung itu tak terlalu ramai. Mungkin karena masih terlalu pagi. 

Bapak itu berusia lebih tua sedikit dariku. Ia memakai kaos berwarna hitam polos. Bibirnya tipis dengan kumis tipis di atasnya. Ia memintaku menulis buku, tentang seorang pejabat tua yang tersohor di ibu kota. Ini adalah tawaran terbaik yang pernah datang padaku yang tak berharga ini. 

Tentu saja aku segera setuju. 

Meski kelak namaku tak akan disebutkan di buku itu. Kupikir tak jadi masalah, toh namaku bukan hal yang penting. Uangnyalah yang penting. Aku diberi bahan lewat surel. Aku bahkan tak perlu meriset. Aku diminta membuat tulisan tentang kebaikan pejabat tua itu pada janda dan anak yatim. 

Pejabat itu bukan orang baik. Di berita-berita ia sering disebut sebagai dalang dari segala kekisruhan di negeri ini. Ia beringas dalam membungkam para aktivis yang mengritiknya. 

Tapi kusudahi membaca berita-berita tentangnya. Semakin banyak aku membaca, semakin sulit rasanya menuliskan hal-hal indah sesuai permintaan klienku. Aku meyakinkan diri bahwa tak mengapa membuat bualan, yang penting nantinya aku bisa membelikan steak daging untuk anakku setiap hari. 

Kukatakan pada suamiku, aku akan menghasilkan banyak uang dari proyek ini. Ia diam saja, seperti biasa. Ah, mengapa pula aku harus memberi tahunya. Sudah jelas kami hanya bicara seperlunya saja. Sama seperti saat aku bilang akan menitipkan anak-anak pada tetangga kami saat menemui bapak pemberi order. Aku didiamkan.

Aku tak ditanya akan pergi ke mana. Kadang aku lupa bahwa aku masih istrinya. Selain urusan memberi nafkah, kurasa ia tak pernah benar-benar ada. 

Bisa juga, akulah yang tak pernah ada untuknya. Bukankah selama ini aku hanya sibuk dengan anak-anaknya. Aku tak peduli ia ada atau tidak. Aku tak peduli ia berperan sebagai ayah atau tidak. 

Buku itu harus selesai malam ini. Setelah itu, aku akan mulai mengerjakan pesanan yang lain. Buku-buku berisi bualan menanti untuk kubuat. 

Kadang aku kehabisan waktu untuk membersihkan kotoran anakku. Kadang kubiarkan menempel berjam-jam hingga ayahnya pulang dan membersihkan kotorannya. Bukankah yang penting aku bisa membelikan mereka steak daging yang enak? 

Buku-buku pesanan itu membuat rekeningku gemuk. Kutangku kini berlusin-lusin, berwarna-warni, menghiasi jemuran seperti taman bunga. Tentu saja aku membeli dengan uangku sendiri. Kadang sengaja kujemur bersamaan hanya untuk menyaksikan taman bunga buatan di jemuranku. 

Perlahan suara di kepalaku tak terdengar lagi. Tubuhku berkeringat. Adzan dzuhur terdengar. Tak hanya suara di kepalaku yang hilang. Suara anak-anak pun tak kudengar. 

Aku berjalan ke teras, lalu ke dapur. Rumahku sepi. Rupanya anak-anakku dibawa pergi ayahnya. Mungkinkah mereka bosan makan steak daging yang enak itu? 

Masih ada steak daging di meja makan. Kumakan sampai habis dengan tanganku. Kujilati jariku supaya bersih dari saus. Lalu aku kembali ke kamarku. Kurebahkan tubuh ke kasur yang terlihat lebih lebar dari biasanya. 

Kurasa tak mengapa jika anak-anakku tak kembali lagi. Toh aku tetap menjadi orang berharga yang bisa makan steak daging kapan pun aku mau. [red/red] 

Butet RSM, tinggal di Bantul.

2 thoughts on “Semua Demi Steak Daging Terenak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *