Sebatang Pohon Cemara Angin

“Pohonnya tinggi menjulang, dengan banyak dahan. Daunnya juga lebat. Jika musim kemarau seperti sekarang, sekumpulan daun yang kecil memanjang itu berguguran.”

Seperti tak ada bosannya, Ecce’ main berlama-lama di bawah pohon cemara angin. Langit yang tadinya panas berawan, tiba-tiba menjadi gelap mendung. Angin sepoi mendadak berubah kecepatan. Semakin lama semakin kencang. Ecce’ masih sibuk memunguti sesuatu. 

Suara teriakan Mamak terdengar kencang. Bersaing dengan suara gemerisik dedaunan pohon cemara angin yang terhembus oleh angin kencang.

“Cepatki’ masuk!”

Kraakkk!

Satu dahan patah. 

Ecce’ memandang dengan takut. Beruntung kakinya sudah sampai di tangga rumah. Nyaris saja ranting besar itu mengenainya. Sepersekian detik saja terlambat, entah apa yang akan terjadi padanya. Musim rupanya telah berganti pancaroba. 

“Baiknya kita tebang saja pohon cemara itu. Dahannya terlalu condong ke rumah,” kata Mamak. Tangannya sibuk memegang jarum dan benang beserta sehelai baju milik Bapak. 

Mamak takut jika ada angin besar, kemudian membuat dahan pohon cemara angin patah. Kalau dahan yang kecil tak apa-apa, tapi kalau dahan yang besar bisa saja membahayakan rumah kami. Belum lagi kekhawatiran jikalau pohon itu roboh. Ketakutan berbeda menjalari hati dan pikiran Ecce’. Tidak, pohon itu tak boleh ditebang, batinnya.

Setiap siang hari, anak perempuan itu selalu asyik bermain sendirian di bawah pohon cemara angin. Rambut tipisnya yang sebahu sesekali dihembus angin sepoi. Di cuaca seterik begini, desiran angin pasti mendatangkan kantuk. 

Entah sejak kapan dia punya kebiasaan begini. Di bawah pohon, asyik sendiri bermain. Kadang terlihat dia mengajak berbicara pohon itu. Kadang sambil memeluk batangnya, kadang sambil menepuk-nepuk akar besar yang nampak menonjol di permukaan tanah. 

“Terima kasih sudah jadi temanku. Siang begini tidak hauskah kau?”

Di lain waktu dia sering bercerita. Tentang temannya yang suka mengejek rambut tipisnya. Dia sedih, tapi tak ada orang yang membelanya. Berkali-kali lapor ke Mamak, selalu sama yang dibilang. “Kau itu, nah. Memang tipis rambutmu, kenapa marah?”

Daun-daun cemara angin ini juga tipis. Kecil memanjang dan rapuh. Tangannya memunguti beberapa buah yang berjatuhan. Kering berwarna coklat. Dalam kantong plastik kecil dia kumpulkan. Kata ibu guru, ini bisa dijadikan kreasi dan hiasan rupa-rupa. 

“Ecce’! Makanki dulu. Ini makananmu keburu dingin!“ Mamak berteriak dari ujung atas tangga. 

Dia menurut. Segera dia bergegas menaiki tangga dan masuk ke rumah sebelum ibunya marah. 

“Jangan kau sering-sering main di situ! Nanti malotong (hitam-red) itu kulitmu.”

“Iye’.” Singkat saja dia menjawab. Dia tak ingin ibunya berpanjang lebar mengomeli kebiasaannya.

Pohon cemara angin itu mungkin usianya sama dengannya. Sekitar tujuh atau delapan tahun. Bapaknya dulu yang menanam. Dapat bibit gratis dari kantor desa. Untuk penghijauan katanya. Letak tumbuhnya tak jauh dari rumah. Tak sampai lima meter jaraknya. 

Pohonnya tinggi menjulang, dengan banyak dahan. Daunnya juga lebat. Jika musim kemarau seperti sekarang, sekumpulan daun yang kecil memanjang itu berguguran. Apalagi ditambah tiupan angin. 

Di atas atap seng yang warnanya sudah kecoklatan itu, daun cemara angin yang kering menumpuk. Di halaman lebih-lebih. Nyaris permukaannya tertutupi daun kering. Mamak sering mengomel sebab bertambah banyak sampah daun yang harus disapu setiap harinya.

Sudah seringkali mamak usulkan ke Bapak untuk memangkas pohon itu. Tapi, Bapak selalu menundanya. Alasannya sepele, itu adalah satu-satunya pohon yang membuat rumahnya sedikit lebih teduh. 

Rumah panggung sederhana dari kayu. Tingginya tak lebih dari satu meter dari tanah. Tak ada AC, tak ada pula kipas angin. Atapnya berupa seng yang jika matahari sedang terik-teriknya, panasnya bisa menjalari setiap sudut rumah. Serupa berada dalam pemanggang kue. 

Bagaimana jika tak ada pohon peneduh? 

*

Halaman rumah nampak ramai. Beberapa pria sibuk menata tali dan gergaji mesin. Berpeluh. Oh tidak. Mereka mau menebang pohon itu. Seketika dia menghambur mendekat. 

“Jangaaan!” teriaknya. 

Tiba tiba ada yg menarik lengannya. “Masuk rumah, Nak. Bahaya kalau terlalu dekat.”

Air mata menggenang di pelupuk matanya. Dia berlari masuk rumah. Memandangi pohon cemara yang sebentar lagi ditebang dari balik jendela. Kakinya gemetar. Tangannya mencengkeram erat korden jendela. Matanya sembab. Suaranya terisak pelan ditimpali suara gergaji mesin yang semakin menderu. 

Muhimmah, Ibu rumah tangga biasa, tinggal di Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan.

[red/san]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *