Site icon ghibahin.id

Rewinda Suka Bercerita Tentang Rehan

Rewinda kembali menemuiku lagi, menangis lagi, dan bercerita lagi. Rehan jahat, Rehan berubah, begitu katanya.

Dari sekian banyak wajah ceria Rewinda, yang membuatku turut senang adalah saat awal mula ia berpacaran dengan Rehan. Saat itu, ia datang langsung dengan senyuman yang tersungging di bibirnya begitu kubukakan pintu. Senyumannya yang tanpa sebab membuat otakku penuh tanda tanya.

Tetapi aku langsung bisa menebak, pasti berhubungan dengan Rehan. Karena tiap kali ia datang, pasti sosok Rehan menjadi topik utamanya. Topik yang dibanggakan itu telah membuatnya bahagia sejak ia mengenal Rehan. 

Rewinda bercerita bahwa ia mengenal Rehan sejak SMP. Mereka satu sekolah, namun tak pernah satu kelas. Dan di SMA Rewinda mengenalku, itu pun karena Rewinda mengikuti jejak Rehan yang di mana sekolah itu adalah sekolah yang aku masuki.

Di saat pulang sekolah, tentu di saat ia membutuhkan teman curhat, ia pasti datang menemuiku. Tak hanya itu, ia juga tak peduli jam berapa, rumahku di mana (rumahku beda desa dengannya), ia akan datang menemuiku dan bercerita tentang Rehan yang ia tahu. 

Tak hanya itu, ia juga akan bercerita tentang kejadian sepele seperti halnya ia berpapasan dengan Rehan, atau Rehan memandang Rewinda sekilas; ia akan bercerita dengan senyum-senyum bahagianya. Aku pernah memperingatkan padanya tentang hal “suka”, untuk jangan terlalu berlebihan. Tetapi Rewinda malah bilang, “Halaaahh … jangan kayak orang tua.”

Pada saat Rewinda mulai berpacaran dengan Rehan, senyuman Rewinda itu adalah senyuman terakhir yang kulihat di rumahku. Setelah itu ia jarang menemuiku. Ruang tamu yang kerap penuh dengan kegirangan Rewinda tentang Rehan lenyap. 

Dalam hati aku bersyukur, karena aku bisa beristirahat dengan tidak mendengarnya bercerita tentangnya terus. Tetapi aku juga merasa kesepian, karena aku merasa kehilangan seorang teman. Teman yang biasa kuajak pergi, bertukar pikiran saat ada PR, makan bareng, itu semua kulakukan dengan Rewinda.

Hubungan mereka membuatku seolah disisihkan. Kerap kali ketika aku mengirimkan pesan singkat untuk menemaniku pergi ke suatu tempat, ia jarang mau. Itu pun ia jawab agak lama. Tetapi aku tak marah. Karena menurutku ia pasti sedang bersama Rehan atau bercakap lewat pesan singkat di rumahnya.

Dugaanku terbukti dari pesanku yang lama terbalas. Ia lebih mengutamakan membuat status kemesraannya dengan Rehan, seperti tangkapan layar pesannya yang romantis, genggaman tangan, dan dua porsi makanan yang dikasih stiker hati. Barulah setelah status itu terposting, ia membalas pesanku. 

Sepertinya Rewinda sangat menyukai Rehan, aku lihat dari statusnya, ia seolah menjadi orang paling beruntung berpacaran dengan Rehan. Aku pun tak ambil pusing, yang penting ia mau membalas pesanku. Itu sudah cukup.

Suatu hari selepas magrib ia mengunjungi rumahku lagi. Aku kaget waktu itu, tetapi dalam hati aku bersyukur ia masih ingat padaku. Tetapi kali ini berbeda, yang membuatku kaget, ia langsung memelukku begitu kubukakan pintu. Itu adalah hal tak biasa yang ia lakukan. Dan juga yang jarang sekali kulihat darinya saat ia datang: matanya sembab seperti habis menangis.

“Aku melihat Rehan dengan perempuan lain,” kata Rewinda.

Aku menarik napas kala itu. Sesuatu yang kubenci dari orang yang sedang dimabuk asmara. Sesuatu yang menyenangkan ia seperti lupa ada aku, tetapi begitu ia sedih, ia datang. Dan hari-hari berikutnya pun ia datang untuk cerita. Tak ada lagi cerita yang membanggakan tentang Rehan kepadaku. Malah sebaliknya.

Ia mengungkapkan sifat jelek Rehan. Salah satunya ketika Rewinda terlambat datang memenuhi janjinya, Rehan marah besar. ‘Kau pikir aku pengangguran, yang bebas menunggumu?’ Begitu perkataan Rehan menurut ceritanya. Mendengar ceritanya, aku mengajukan pendapat agar mereka mengakhiri hubungannya. Namun, lagi-lagi sesuatu yang kubenci dari jawabannya. Ia menggeleng.

“Kenapa … cinta?” tanyaku. Ia menggeleng lagi.

“Aku mengandung anaknya,” jawabnya.

Untuk kedua kalinya aku benci mendapat jawabannya. Seolah rasa cinta terhadap Rehan menutup semua kemungkinan hal negatif seperti itu tak mungkin terjadi. 

***

Kemudian mereka menikah, dan entah bagaimana caranya Rewinda meminta pertanggungjawaban dari Rehan. Syukurnya Rehan mau bekerja di luar kota. Walau ia jarang pulang, tetapi hasil gajinya terus ia kirimkan sebulan sekali hingga mampu menghidupinya sampai anaknya masuk SMP. 

Ketika Rehan pulang, katanya ia tak mau membantu pekerjaan rumah. Ia hanya duduk, tidur, juga bermain ponsel. Hanya itu. Lalu kalau masakan Rewinda tak pas di lidahnya, ia akan memaki masakannya.

Di saat aku sudah menikah. Rewinda masih kerap menemuiku, tak peduli juga rumahku yang bertambah jauh karena aku ikut suami. Tentu masih sama ceritanya, tentang kesedihannya. Katanya anaknya sangat bandel. 

Kerap kali uang yang disimpan Rewinda di mana pun, anaknya berhasil menemukannya. Tak hanya itu, anaknya pun sangat susah dimintai bantuan. Ia lebih memilih sibuk main game dan keluyuran entah ke mana. Ia mengadu padaku dengan menangis, maka mau tak mau aku yang harus menghiburnya.

Suatu hari Rehan pulang dari merantau. Semula Rewinda senang akan kedatangannya. Namun, kehadirannya yang diharapkan baik pada Rewinda, justru sebaliknya terjadi. Kehadirannya yang dikira tak lama, ternyata seminggu setelahnya Rehan tak kunjung kembali berangkat bekerja lagi. Rehan dipecat dari perusahaannya dan menjadi pengangguran. 

Rewinda kembali menemuiku lagi, menangis lagi, dan bercerita lagi. Rehan jahat, Rehan berubah, begitu katanya. Tak seperti dulu yang hanya memaki masakannya yang asin, kini ditambah membuang masakannya ke tempat sampah langsung di depannya. 

Masalah itu bertambah di kala tak segan-segan Rehan membawa seorang wanita ke dalam rumahnya. Rewinda diikat dan dipaksa menonton Rehan melakukan hubungan badan dengan wanita itu.

Aku akhiri paksa cerita Rewinda tentang Rehan. Ia tampak masih ingin cerita, tetapi aku tak bisa mendengar cerita sedihnya lebih lama. Karena kulihat mata Rewinda sudah mengambil alih ceritanya, bahkan bila diteruskan kalimat yang keluar dari mulutnya tak akan bisa kudengar sempurna. Dan aku sendiri juga tak kuasa mendengarnya, bahkan mungkin jika diteruskan aku pun turut menangis.

Muhamad Subchi. Berdomisili di Kebumen. Suka menulis, kadang juga menggambar.

[red/san]

Exit mobile version