Rengginang Mak Yam

Sore yang cerah setelah kemarin diguyur hujan deras disertai angin kencang. Saking derasnya ada beberapa titik atap rumah yang semula tak bocor menjadi bocor. Meski sederhana, rumah Mak Yam tergolong kuat. Rumah peninggalan suami itu masih kokoh dengan pasak kayu jati yang awet dan genteng yang berkualitas pada zamannya.

Dua hari lagi lebaran Idul Fitri. Di meja ruang tamu sudah ada beberapa toples yang berisi makanan ringan khas lebaran. Keripik pisang, madu mongso, kacang bawang, rengginang dan lain-lain. Semua dibuat sendiri oleh Mak Yam yang memang hobi membuat kue-kue kering sejak muda.

Khusus rengginang kesukaan Hardi putranya, Mak Yam tak main-main dalam memilih bahan. Ketannya harus yang berkualitas unggul agar menghasilkan rengginang yang mengembang sempurna, empuk, gurih dan renyah. Sangat cocok juga bagi Emak yang giginya sudah tak lengkap lagi.

Lima belas menit jelang berbuka, Mak Yam masih duduk termangu di kursi rotan kesayangan. Kursi yang paling berkesan sebagai tempat duduk ternyaman bagi mendiang suami. Sembari menatap toples-toples di meja, lamunan Mak Yam berkelana kemana-mana hingga ada aliran hangat di pipi yang tak ia sadari. 

“Mak, setelah lulus nanti aku mau merantau ke Jakarta untuk mencari pengalaman,” kata Hardi pada suatu hari sepulang sekolah.

Meski Mak Yam berat hati melepas Hardi, tapi seperti alasan semula, Hardi ingin mencari pengalaman di kota dan Mak Yam pun merestui.

Hardi anak Mak Yam ketiga yang lahir hidup setelah dua saudaranya yang lain meninggal saat bayi. Suami Mak Yam pergi untuk selamanya beberapa bulan setelah Hardi lahir. 

Tahun pertama dalam perantauan, Hardi masih kirim kabar ke ibunya secara berkala. Dia bekerja di sebuah bengkel besar sesuai dengan ijazahnya yang mengambil jurusan otomotif. Itu yang Emak tahu dan dia percaya anaknya tak berbohong.

Ini lebaran ketiga yang membuat Mak Yam kembali merasakan sepi, sendiri dan sedih. Jika benar Hardi tak mudik lagi di tahun ini, berarti sudah tiga kali puasa dan tiga kali lebaran Hardi tak ada kabar. Mak Yam kehilangan jejak. Teman-temannya di kampung pun kehilangan kontak, tak ada yang tahu keberadaan Hardi dan Mak Yam hanya bisa menangis sedih.

Hardi anak yang santun dan tak pernah menyakiti hati orang tua. Untuk berangkat ke Jakarta, terpaksa Emak membongkar tabungan dari hasil sawah peninggalan suami yang tak seberapa. Berharap tercapai apa yang menjadi angan-angan Hardi.

“Mak, Hardi boleh bawa rengginang, ya? Tak banyak, secukupnya saja.”

“Ya, nanti Emak bungkus yang masih utuh bentuknya, yang sudah remuk biarlah Emak yang makan.”

Remuk tak apa, Mak. Emak ‘kan tahu yang remuk pun Hardi suka?” tukas Hardi sambil tersenyum tipis.

Bayangan wajah Hardi dengan lesung pipi sebelah kala tersenyum membuat Mak Yam tak mampu menahan kepedihan hatinya. Toples-toples di meja masih membisu dan utuh seolah hanya Hardi yang boleh dan berhak membuka setiap tutupnya. Sesekali Emak hanya mengelap bagian luar toples karena debu.

Mak Yam tak putus asa. Dia tak pernah letih berdoa atas keselamatan putranya dan dia tak bosan selalu menyediakan rengginang di setiap lebaran, tak perduli Hardi mudik atau tidak. Naluri keibuannya yang kuat membuatnya yakin Hardi baik-baik saja.

“Nang, kalau memang ingin bekerja, bekerjalah yang baik. Jangan lupa ibadah di manapun kau berada,” pesan Mak Yam menjelang Hardi berangkat ke Jakarta.

“Ya, Mak. Hardi akan selalu ingat pesan Emak.”

***

Hidup di Jakarta tak semudah hidup di kampung. Apalagi bagi pendatang. Awal-awal tiba di Ibukota, Hardi beruntung bertemu dengan seorang pencari bakat saat mulai bekerja di bengkel. Kisah bermula ketika berangkat kerja dan secara tak sengaja melihat seorang ibu yang tengah dijambret tasnya dari belakang. Jiwa kepeduliannya meronta, dikejarnya jambret tersebut lalu dihajar hingga jambret itu lari tunggang langgang.

Saat itulah ada seseorang yang sempat merekam aksinya dan tertarik dengan Hardi. Kepiawaiannya dalam ilmu bela diri mengantarkannya menjadi pemain pengganti di sebuah sinetron laga yang tayang di televisi lokal. Wajah Hardi yang hitam manis dengan postur tubuh kekar merupakan daya tarik tersendiri bagi industri sinetron.

Hanya beberapa bulan Hardi bekerja di bengkel karena sinetron yang sedang kejar tayang itu menuntutnya hadir setiap saat. Penghasilannya yang tinggi dan lingkup pertemanan dengan para artis tak membuatnya berubah. Hardi tetap santun dan rajin beribadah hingga tibalah situasi buruk yang sama sekali tak ia sangka.

“Jika uangmu banyak, jangan lupa menabung lho, Nang. Emak hanya bisa mendoakan semoga kau selalu sehat,” pesan Mak Yam kepada Hardi yang ternyata itu jadi suara Emak terakhir yang didengarnya sebelum Hardi hilang tiada kabar seolah ditelan bumi.

Emak bangkit dari kursi menuju belakang mengambil air hangat untuk berbuka seperti biasanya. Dia sahur dan berbuka sendirian selama tiga tahun, tapi kali ini ada aura lain yang ia rasa. Sayup-sayup azan magrib di kejauhan tak ia hiraukan. Ada suara lain yang membuat dadanya berdebar dan tangannya gemetar dengan gelas yang di bawanya. Suara langkah kaki yang mendekat, menuju pintu rumah Emak dengan aroma yang sangat ia kenal.

“Emakkk!” teriak Hardi setengah berlari dari halaman rumah menghambur ke pelukan Emak. Mencium kedua tangan dan juga mencium kaki Emak. Bagaikan mimpi, Emak mengucap syukur, air matanya berderai, menganak sungai. Permata yang nyaris hilang kini ada dalam pelukan. Bibir Emak masih bergetar tak mampu berkata-kata. Namun ia yakin dan percaya permohonannya kepada Sang Khaliq telah terkabul.

Hardi tak ingin kembali ke Jakarta. Menjadi aktor sinetron laga biarlah sebagai pengalaman berharga dalam hidupnya. Mak Yam juga tak ingin ditinggal Hardi lagi. Dia ingin putranya hidup sederhana di kampung sambil menemaninya menjemput senja.

Dua tahun hidup di penjara bukanlah cita-cita Hardi. Di titik terlemahnya, dia terseret arus pergaulan bebas yang berujung di balik terali besi manakala coba-coba memakai obat-obatan terlarang. Sungguh sebuah kisah pahit yang tak ingin terulang.

Dipeluknya lagi Emak yang sangat ia rindukan. Mereka saling menatap haru lalu seperti dikomando, mereka pun menatap rengginang di toples yang sejak tadi berbaris rapi dengan toples-toples yang lain. Di mata Hardi, rengginang Mak Yam, Emaknya, tak ada duanya di dunia.

*Terjemahan:

remuk: hancur.

nang: panggilan sayang untuk anak laki-laki.

Wurry Srie. Ibu rumah tangga yang suka menulis.

[red/TC]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *