Site icon ghibahin.id

Rasa yang Belum Diungkapkan

Aku mau terima kasih lagi. Untuk persahabatan yang kamu jaga, meski kamu terluka.”

September Ceria, 2022

Hai, Cul …

Kamu enggak usah kaget ya, baca suratku. Surat pertama sejak tiga puluh tahun lebih persahabatan kita. Awalnya aku ragu menulis ini. Tapi, kok, aku jadi kepikiran dan enggak bisa tidur. Emm, janji, kamu enggak ngetawain, ya?

Cul,

Aku tuh, mau ngucapin terima kasih untuk pertemuan kemarin. Kayak mimpi rasanya. Soale, aku sempat merasa kehilangan kamu. Tapi aku maklum, kamu pasti sibuk berat dengan jabatanmu di kantor. 

Dan, di sela-sela kesibukanmu, ajaib banget! Setelah sekian lama enggak ketemu, tanpa perencanaan panjang, terpisah jarak dan waktu, ternyata kita bisa seharian jalan bareng. Sampai hari ini, aku kayak masih enggak percaya. Tapi emang beneran nyata, kita bisa tinju-tinjuan, seperti dulu, saat masih berseragam putih abu, ha-ha.

Cul, Cul …

Aku, kok, kepengin nangis ya, saat menulis ini. Baru terasa haru, apalagi teringat saat kamu bilang betapa hancurnya hatimu saat itu, waktu aku pergi dengan pacarku dan meninggalkanmu di rumahku bersama Ayah dan Ibuku. Padahal kamu tiba lebih dahulu, bela-belain datang dari jauh saat libur semester cuma untuk nemuin aku. 

Ya, ampun, baru nyadar, kenapa aku bisa setega itu ya, ke kamu? Maapin aku ya, Cul. Sumpah! Enggak ada niat nyakitin hati kamu. Saat itu aku merasa, kamu, tuh, sahabat sejatiku. Aku bisa minta tolong apa aja ke kamu. Manja-manja ke kamu, bahkan curhatin cowok-cowok yang ngedeketin aku. Sudah senyaman itu aku ke kamu, sampe enggak pernah berpikir lebih, ternyata kamu mencintaiku.

Cul,

Aku mau terima kasih lagi. Untuk persahabatan yang kamu jaga, meski kamu terluka. Aku kaget mendengar alasanmu, kenapa dulu kamu enggak bilang kalo kamu mencintaiku. Ternyata kamu enggak ingin persahabatan kita berakhir, andai aku menolakmu. 

Hey! Masa iya, persahabatan yang nyaris bisa dibilang sudah teruji, bisa hancur gara-gara ada penolakan? Yang ada hatimu yang hancur, kan? Lagian, tahu dari mana aku akan menolakmu? Wong kamu enggak bilang, ya, aku mana tahu, ada cinta di hatimu?

Cul, maaf, Cul. Maaaf … banget.

Aku enggak bermaksud membuat kamu merasa menyesal seumur hidup karena enggak menyatakan cintamu. Kayaknya sekarang enggak perlu lagi ada pertanyaan mengapa dulu begini, mengapa dulu begitu. Aku meyakini, Tuhan sudah mengatur dalam skenario-Nya yang paling sempurna. 

Nyatanya, keputusanmu untuk enggak bilang ke aku, itu juga terbaik, kok. Terbukti, kan? Kita masih bisa menjaga persahabatan hingga kini, di usia kita yang sudah setengah abad. Kita bisa mengenang hal indah yang pernah kita lewati dengan tawa dan canda, tentu saja sambil menertawai “kebodohan” kita dulu, ya, ha-ha-ha.

Cul, ada lagi!

Aku jadi teringat orang tua kita. Betapa Ayah dan Ibuku sayang banget ke kamu. Jadi, dulu tuh, Ayah pernah ngingetin aku dengan guyonan, waktu kukenalkan pacarku yang seniman, ber-jeans belel, lengkap dengan bolong di lututnya: “Katanya mau punya suami yang berdasi?” Ha-ha, coba, apa maksudnya? Terus, Ibu sempat tanya juga: “Nis, kalian itu pacaran enggak, sih?” Ha-ha. Begitulah orang tuaku. 

Mereka hanya bisa bertanya, menyerahkan keputusan kepada anaknya, meski sesungguhnya berharap kelak kamu yang jadi menantunya. Sementara Mama, orang tuamu yang tinggal semata wayang itu, juga sayang banget ke aku. Kami pernah ngobrol hampir seharian, waktu aku nengokin Mama yang sedang sakit. Waktu itu kamu masih pendidikan di luar kota. Ternyata bener, kan? Aku Cuma nyengir waktu kamu cerita, Mama pengin aku yang jadi menantunya, ha-ha.

Cul, 

Kamu enggak menyesali semua yang terjadi, kan? Jangan, ya, Cul! Jangan! Lagian semua sudah terjadi dan enggak mungkin kita kembali ke masa itu. Biarlah kita tetap jaga persahabatan ini. Benar katamu, rasa yang baik harus disimpan baik-baik di tempat yang baik. Kita kabarkan saja kepada orang tua kita yang kini sudah berada di surga. Mereka pasti senang melihat kita masih “akur” seperti dulu. Eh, kapan-kapan, semoga kita bisa ziarah bareng ya, ke makam Ayah, Ibu, dan Mama.

Cul,

Waktu setengah hari rasanya nggak cukup ya, untuk kita melepas kangen dan bernostalgia. Di mataku, kamu masih seperti dulu, tenang dan penyayang. Eh, makasih ya, kamu masih manggil aku dengan nama kecilku. Kamu masih memperlakukan aku seperti dulu. Duh, masih kangen! Kangen berantem sama kamu. Jadi pengin nangis lagi, deh. Ha-ha, dasar aku, si cengeng! 

Cul, 

Aku enggak tahu, apakah kita masih ada kesempatan untuk berjumpa kembali, mengingat kamu akan bertugas ke luar negeri dan membawa serta keluargamu. Rasanya enggak adil kalo kamu menyimpan berpuluh-puluh tahun rasa sayang untukku sendirian, hingga saat ini, seperti katamu, saat kita berjumpa kemarin. 

Melalui surat ini, aku pun ingin berbagi rasa, meski aku sendiri enggak paham bentuknya seperti apa. Tak ada seorang pun yang tahu. Rasa ini tentu saja aku simpan juga berpuluh-puluh tahun lamanya, sama seperti kamu menyimpan rasamu. Ah, sayangnya, dulu kita belum belajar bagaimana caranya mengungkapkan rasa, ya, he-he. 

Cul, 

Meski kita akan terpisah kembali oleh jarak dan waktu, mari saatnya kita menyatukan rasa ini. Akan kuingat kata-katamu, rasa yang baik harus disimpan dengan baik di tempat yang baik. Selebihnya kita serahkan kepada semesta, ya. Aku berharap kamu baik-baik di sana.

Cul: Aku (juga) sayang kamu!

Jauza Imani. Ibu dua anak, menulis beberapa antologi cerpen dan puisi sejak 2016.

[red/han]

Exit mobile version