Pulang

“Daripada benci, aku justru merasa sedih. Tetapi, aku maklum kok. Aku juga merasa selama ini selalu merepotkan Bapak. Jadi nggak heran kalau Bapak marah. Cuma Bapak, yang aku punya.”

Jalanan aspal yang becek, membuat suara setiap langkah kakiku terdengar cukup keras di tengah derasnya hujan. Kedua sepatuku sedikit meninggalkan bercak coklat karena terkena genangan air. 

Meskipun hujan turun semakin deras, aku tidak membiarkan kakiku berhenti berlari. Aku harus terus berlari. Bagaimanapun caranya. Pikiranku tentang para polisi yang mengejarku tadi masih terbayang-bayang. Mestinya di sekitar sini ada tempat persembunyian yang cocok. 

Napasku memburu tak karuan. Kupelankan langkahku dan berhenti. Aku menjadikan kedua lututku sebagai tumpuan dan menarik napas pelan, menenangkan diri. Aku celingak-celinguk memandang sekitar. Tak ada siapa pun selain diriku, padang rumput di kedua sisi jalanan, dan rintik hujan yang masih belum berhenti, “Untuk saat ini aman,” ujarku lega. 

Aku menyeka peluhku yang bercampur dengan darah dan air hujan. Sedari tadi, kejar-kejaran terus dilakukan selama hujan turun dengan derasnya.

Aku menoleh ke arah sisi kanan kiri jalan. Berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan tempat berteduh sekaligus bersembunyi. Namun, aku baru menyadari ada sesuatu yang berbeda begitu aku melihat sekitarku. 

Hamparan padang rumput menghampar luas di kedua sisinya. Rumput-rumputnya cukup tinggi, mirip ilalang. Tetesan air hujan terlihat jelas di hijaunya rumput yang kuperhatikan. Aroma tanah basah menyeruak di antara rerumputan, terasa sangat segar saat aku menghirupnya. 

“Oh, sudah berapa lama aku tidak melihat pemandangan ini?” kataku kagum. Sudah sekian lamanya aku tak mengindahkan eloknya pemandangan sekitar. Aku terlalu sibuk melakukan hal tak berguna. Salah satunya, bertengkar dengan papa.

Ingatanku tentang pertengkaranku dengan papa pagi tadi muncul kembali. Aku meminta papa untuk hadir ke acara promenade di sekolahku. 

“Kamu kan tahu Papa sibuk sekali. Kan biasanya kamu juga apa-apa sendiri. Nggak usah manja!”

Kata-kata papa sangat menusuk hatiku. Aku sudah cukup lama bersabar, setiap kali ada undangan orang tua ke sekolah selalu diwakilkan oleh Mbok Yem, pengasuhku.

Sejak mama meninggal, papa menjadi sangat sibuk. Aku tahu dia begitu untuk menafkahiku yang seorang piatu ini. Tetapi, waktuku untuk berbincang dan berkumpul bersama papa menjadi sedikit atau bahkan jarang. Akhirnya, aku menjadi tidak akrab dengan papa dan malah sering cekcok dengannya. 

“Pa—papa jahat!” pekikku menahan genangan air di pelupuk mata yang tak perlu menunggu lama untuk tumpah. 

Tak tahan lagi, aku meraih tas selempangku. Kuambil kunci mobil dari meja dan kutinggalkan papa sendirian di ruang tamu.

Papa yang kaget pun berteriak, “Milly! Jangan kurang ajar kamu!”

Namun, aku tak peduli. Aku menyabet sepatu ketsku dan bergegas ke garasi untuk mengambil mobilku. 

Dengan cepat, aku tancap gas secepatnya keluar dari garasi. Meninggalkan rumah dengan hati yang terluka. Aku ingin pergi dari papa. Kalau bisa, untuk selamanya saja. 

Kali ini aku tak peduli. Mau papa marah, banting barang, yang penting sekarang adalah melarikan diri sejauh-jauhnya. Aku memang tak berencana untuk menginap di rumah Destiny—sahabat karibku. Karena pasti papa akan menjemputku di sana. 

Namun, entahlah aku semakin tenggelam dalam pikiranku, atau aku semakin menikmati bermain-main kecepatan dengan SUV 1.8L Prestige hadiah papa di ulang tahunku ke-18 bulan lalu.

BRAKK! 

Suara benturan yang dihasilkan cukup keras. Saking kerasnya, pohon Mahoni yang kutabrak bergetar hebat. Kalau saja sampai tumbang, nyawaku pasti sudah melayang. 

Sejenak aku membeku. Tanganku masih melingkar tak bergerak di atas stir mobil. Aku tak tahu apa, di mana dan mengapa bisa terjadi. Sampai akhirnya, aku menyadari banyak orang yang mengerumuniku. 

“Mati aku! Aku nabrak! Mereka pasti sudah lapor polisi.”

Secepat mungkin aku harus keluar. Untungnya benturan tadi tidak meninggalkan kerusakan parah. Aku masih bisa membuka pintu samping dengan mudah. 

Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil langkah seribu. Tidak peduli orang-orang itu meneriakiku. 

“Itu dia orangnya, Pak!” 

“Berhenti! Ini polisi!” 

Aku tidak mempedulikan teriakan-teriakan itu. Kupacu kedua kakiku dengan seluruh sisa tenagaku. Suara-suara itu semakin menjauh, semakin tak terdengar. Bayanganku pun semakin tak terkejar. 

***

Entah sudah sejauh apa aku melarikan diri. Yang jelas, pemandangan di sekitarku terasa sangat asing. Memang, lokasi tempat aku kecelakaan itu sudah bukan daerah perkotaan lagi. Ini adalah daerah pinggiran, kalau tak bisa aku bilang sebagai pedesaan.

“Ouch!” teriakku, saat kuusap mukaku dari tetesan air hujan. Sisa-sisa darah di pelipis yang bercampur dengan air hujan menempel di tanganku. Kepalaku tadi sempat membentur stir. Aku sendiri tidak mengerti mengapa fitur keselamatan airbag di mobilku tidak berfungsi. Namun, ah! Sudahlah. Yang penting aku masih hidup.

“Sejauh ini mereka tidak kelihatan,” batinku sedikit lega, “tapi … ini di mana ya? Apa aku bisa pulang?” 

“Bodo amat! Entah pulang entah tidak, yang penting aku harus berteduh dulu!” tekadku.

Pandangan mataku kemudian menangkap sebuah titik yang tak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Hatiku membuncah, riang tak terperi, “Ohhhh, ituu …!” 

Segera, aku berlari menerobos barisan rerumputan kehijauan yang tinggi. Perasaan ringan menyebar ke seluruh jiwaku. Setelah cukup lama mencari, akhirnya ketemu juga tempat persembunyian. 

Di depanku kini, berdirilah sebuah rumah berukuran sedang. Rumah itu terbuat dari kayu yang sudah lapuk. Jendelanya pun retak di sana-sini. Atapnya terbuat dari daun rumbia berwarna antara coklat pudar mendekati abu-abu. Meski begitu, pintunya masih terlihat kokoh berdiri. 

Ketika aku memasukinya, ukuran dalamnya ternyata tak terlalu luas. Di dalam rumah, hanya terdapat sebuah kursi kayu, meja kayu yang telah dimakan rayap, dan sebuah dipan kayu. Semuanya tertutup debu, sarang laba-laba menghiasi hampir setiap sudut ruang. Kalau diperkirakan, rumah ini sudah cukup lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Tapi mengapa? 

Sepertinya, perkiraanku keliru besar. Dari pintu, terdengar suara langkah kaki kecil memasuki rumah. Dengan waspada, aku langsung membalikkan badan. 

Di belakangku, berdiri seorang anak laki-laki kecil. Rambut hitamnya seperti tidak dipotong dengan rapi. Warna putih seragam sekolah yang dipakainya lebih terlihat seperti abu-abu, bukan putih utuh. Warna hitam sepatunya pun tampak mulai pudar. Anak itu menatapku aneh. Wajahnya terlihat bengong. 

“Kamu siapa?”

“E—eh …” 

Sontak aku menggaruk-garuk kepalaku yang mendadak terasa gatal. Banyak tanda tanya yang bermunculan di kepalaku, “Aku harus menjawabnya bagaimana? Tamu?” 

“O—oh, aku … aku cuma kebetulan lewat. Maaf kalau sudah masuk sembarangan ke rumahmu.”

Tiba-tiba sebersit pikiran muncul di kepalaku, “Eh, tunggu sebentar. Kalau rumah ini sudah lama tidak ditinggali, kenapa anak ini—”

“Minumlah,” tangan anak itu menyodorkan sebuah mug yang terbuat dari seng bercorak putih dan hijau muda kepadaku. Tawaran anak itu membuyarkan lamunanku. 

***

“Segar sekali! Makasih ya,” ujarku, lalu duduk di tepi dipan kayu. Aku minum air itu cepat-cepat. Rasanya ingin kutelan sekalian mug pemberian anak itu. Seharian melarikan diri dari kejaran orang-orang membuat tenggorokanku kering bagai musim kemarau. 

“Kamu kehausan rupanya?” tanya anak itu polos. Dia mengambil kursi dan duduk tepat di depanku. 

Aku mengangguk dalam-dalam. “Siapa namamu?” tanya anak itu. Pertanyaan itu membuatku panik seketika. Kalau aku jujur aku takut identitasku akan cepat terungkap, itu artinya aku cari mati, menyerahkan diriku ke polisi. 

“Cent,” celetukku. Nama lengkapku Millicent. Aku sengaja mengambil nama belakangku.

“Namamu sendiri siapa?” tanyaku balik.

“Aart,” jawab anak itu.

“Wah, namamu bagus!”

Dan kami pun lama terdiam. Aku paling tidak suka suasana canggung seperti ini.

“Hmm … omong-omong, apa aku boleh bertanya sesuatu?”

“Tanya apa?” 

“Ke—kenapa kamu tinggal di rumah sekecil ini? Kamu tinggal sendiri atau ada ayah ibumu?” tanyaku hati-hati, takut anak itu menjadi tersinggung.

“Ehm, gimana ya? Kata Bapakku, rumah ini adalah rumah warisan dari kakek buyutku. Meski kecil, rumah ini sudah seperti warisan turun temurun,” jelas Aart.

“Berarti, kamu tinggal di sini bersama bapakmu ya?” tebakku, “ibu?”

Mendengar kata ‘ibu’, muka Aart seketika berubah menjadi murung, “Ibuku sudah lama meninggal.”

Deg! 

“Ah … maaf. Aku nggak tahu kalau—”

“Nggak papa, kok. Dari dulu, aku sudah terbiasa hidup berdua bareng Bapak. Bapaklah tulang punggung keluargaku sekarang.”

Aku mengangguk-angguk mengerti, “Bapakmu kerja apa, Aart?”

“Bapakku kerja jadi buruh tani. Pagi-pagi sebelum aku bangun, Bapak udah berangkat. Malamnya kalau aku beruntung, aku masih bisa melihat wajah lelah Bapak sehabis pulang kerja.”

“Ooh, begitu. Berarti bapakmu kerjanya dari siang sampai malam ya, Aart?”

“Persis dengan Papa,” batinku seketika teringat dengan sosok Papa yang selalu pulang dengan wajah letihnya. 

“Papaku juga sama. Dia selalu pulang malam. Sayangnya Papaku berbeda dengan Bapakmu. Papaku suka banget marah-marah sama aku. Padahal aku hanya melakukan kesalahan kecil. Menyebalkan sekali bukan?” tukasku, sembari menghentakkan kakiku karena kesal. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin bercerita ke anak ini tentang papaku.

“Mungkin karena kecapekan sehabis kerja, Bapakku juga gitu kok. Kadang-kadang suka marah-marah kalau pulang ke rumah. Kalau aku rewel, marahnya lebih parah lagi. Bahkan aku dijewer,” ujar Aart lirih.

“Astaga … kamu pasti kesakitan banget,” ucapku tak habis pikir. Kukira hanya Papaku saja yang jahat. Ternyata, ada yang lebih parah lagi, “Kamu nggak benci sama bapakmu?”

“Kenapa benci? Daripada benci, aku justru merasa sedih. Tetapi, aku maklum kok. Aku juga merasa selama ini selalu merepotkan Bapak. Jadi nggak heran kalau Bapak marah. Cuma Bapak, yang aku punya. Aku lebih takut Bapak nggak pulang daripada dimarahi olehnya tiap malam.”

Aku sempat terdiam. Mendengar kata-kata Aart, rasanya ngena sekali. Dia benar-benar hebat. Padahal tipe bapaknya adalah tipe yang keras. Tapi dia tidak menyalahkan bapaknya. Dia sadar bapaknya sudah bekerja keras untuk menafkahinya.

Ingatanku langsung melayang ke papa. Kenapa aku jadi kangen papa ya? 

“Wah, hujan sudah reda,” ujar Aart memecah keheningan. Aku spontan melirik ke jendela. 

Benar. Suara rintik-rintik hujan sudah tak terdengar lagi. Perlahan-lahan, sinar matahari menerobos masuk melalui jendela rumah Aart. 

“Hujannya sudah reda, aku mau pulang ya, Aart. Terima kasih untuk air dan nasihat yang kamu berikan tadi!” ucapku, seraya bangkit dari dipan dan meletakkan mug di atas meja. 

“Mug itu untukmu saja,” ujar Aart. 

“Eh?” aku terheran-heran. Buat apa aku bawa mug usang seperti ini. Mug model kayak gini seperti pernah aku lihat. Tapi di mana ya?

“Tak apa, Cent. Anggap saja sebagai kenang-kenangan dariku,” tukas Aart sambil tersenyum. Akhirnya dengan perasaan sungkan, kuambil cangkir tersebut. Kubalas senyuman Aart sebelum benar-benar pergi dari tempat itu. 

“Sampai jumpa, Aart! Semoga kita bisa bertemu kembali!” seruku, sambil melambai-lambaikan tangan kepada sosok Aart yang semakin mengecil dari pandanganku. 

Aku benar-benar meneguhkan tekad. Aku akan kembali ke tempat kecelakaanku tadi. Aku sudah siap jika nanti polisi akan menangkapku atau kena marah papaku, aku tak peduli. 

“Tak apa, Milly. Kamu bisa!” batinku penuh keyakinan. 

Kulangkahkan kedua kakiku menyusuri jalan yang aku lewati sebelum ini, sampai ke pinggiran jalan besar tempatku menabrak pohon tadi. Dari tempatku berdiri, di seberang jalan tampak kerumunan orang dan beberapa petugas dari kepolisian ….

“Aduuhh!” teriakku kencang.

Aku terjatuh di pinggir aspal. Kakiku terpeleset rerumputan yang sangat licin akibat hujan barusan. Mug yang kudapat dari Aart pun terlepas dari genggaman. 

“Mugku!” jeritku. Aku berusaha merangkak, demi menggapai mug yang tergeletak tak jauh dari tempatku terjatuh. 

“Dapat!” sahutku lega, “Apa ini?” Mataku tertuju pada sebuah inisial dengan 2 huruf miring kapital seperti sebuah paraf di bagian bawah mug ini.

AT?” 

“Bukankah ini paraf Papaku? Arthur Theodoric. Jadi, Aart tadi …?” 

[red/san]

Kim Yumna Halim, Seorang pelajar SMP, pecinta buku, kucing, dan corat-coret tulisan.

3 thoughts on “Pulang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *