Pria yang Mencari Pohon Akasia yang Tumbuh di Bulan Maret

ghibahin

“Sudah setahun yang lalu, dan lukamu masih juga belum kering?”

“Mungkinkah bisa mengering?” tanyanya balik.

Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa ada orang yang keras kepala plus bebal seperti dia?

Sudah berkali-kali kubilang kalau tak ada pohon yang dimintanya itu. Tapi, dia tetap datang.

Kalau tak salah, ini adalah kedatangannya yang keempat. Dan kedatangannya kali terakhir harus disudahi dengan adu mulut yang lumayan seru dari kami berdua.

Yah, pemilik toko mana yang tidak marah kalau dikatakan tidak niat buka toko karena barangnya kosong. Padahal, sedari awal sudah kukatakan kalau aku tidak pernah menjual pohon.

“Bapak punya pohon akasia yang tumbuh tanggal dua puluh sembilan Maret?” tanyanya setelah menyapaku.

Memang cara bertanyanya sopan. Tapi, pertanyaan yang diajukannya itu tidak lumrah. Juga sudah berulangkali ditanyakan. Dan itu membuatku senewen.

“Hei! Berapa kali harus kubilang, saya jualan bunga, bukan pohon!” bentakku.

“Baiklah, Pak. Makasih.” Ekspresinya sedih. Hal itu membuatku tidak lagi bersemangat untuk marah.

Dia balik badan. Hei, hei, kenapa tidak ada cemoohan seperti sebelumnya?

Kalau saja dia hanya beli pohon akasia, tentu tidak akan masalah bagiku. Aku punya banyak kenalan yang menjual bibit pohon-pohon akasia.

Hanya saja masalahnya ada pada syarat kedua. Tumbuh di tanggal dua puluh sembilan Maret? Bagaimana aku tahu mulai kapan akasia itu tumbuh? Mau tanya ke orang yang jual bibit? Aku bisa disangka orang gila.

“Kenapa tidak beli sembarang pohon saja ke Umar. Nanti bilang saja itu tumbuh di tanggal 29 Maret,” usul Istriku. Usul yang bagus sebenarnya, bahkan sudah berulangkali juga aku pikirkan cara itu.

Hanya saja, aku trauma berbohong dalam berjualan. Pernah aku berbohong, satu kali saja.

Namun, satu kebohongan itu sangat kusesali dalam hidup. Karena satu kebohongan itu hampir saja menghancurkan toko bunga peninggalan Ayahku ini.

“Kau tahu aku sudah tidak bisa berbohong dalam berjualan, bukan? Kau juga sudah jadi istriku saat itu, bukan?” tanyaku meradang. “Jadi, kenapa kau menyarankan hal itu!” bentakku marah.

Istriku terdiam. Dia tahu kalau ini adalah satu topik yang sangat diharamkan dibahas di dalam toko ini. “Maaf, Bang,” kata Istriku pelan.

“Sudahlah. Dari kemarin-kemarin orang itu memang membuatku senewen terus-terusan.” Aku sadar, aku tidak boleh memarahinya seperti itu. Bagaimanapun, dia adalah ibu dari ketiga anakku. “Kalau dia datang lagi dan tetap cari akasia, aku akan melarangnya untuk datang lagi.”

Pria itu datang seminggu sekali. Selalu di Jumat sore antara jam 4 sampai jam 5. Kalau melihat kemeja yang sedikit terlihat dari balik jaket yang dia pakai, sepertinya dia baru pulang kerja.

Anehnya, dia membawa tas ransel besar yang sangat tidak cocok untuk kerja. Mendadak aku teringat akan sesuatu. Apa mungkin dia …?

“Mas, Mas!” teriakku. Dia sudah berada lumayan jauh dari toko. Tapi, jalanan sepi saat itu, dan suaraku sangat keras. “Ke sini dulu,” sambungku saat dia menoleh ke arahku.

“Ada apa, Pak?” tanyanya sesaat setelah dia ada di depanku.

“Boleh Bapak tahu alasan Masnya nyari akasia?” tanyaku balik.

“Itu ….” Wajahnya menunjukkan keengganan. Bisa juga rasa malu menjawab pertanyaanku itu.

“Melihat sikap Mas, sepertinya berkaitan dengan wanita, ya?” tebakku.

Pria itu dengan malu-malu melihat ke kiri dan kanan. Sepertinya dia agak tidak nyaman dengan keberadaan pembeli yang lain.

Aku mengajaknya duduk  di deretan meja kursi di samping toko, agar perbincangan kami tidak terdengar oleh orang lain. Di tempat inilah biasanya kami menjamu tamu, tempat duduk pembeli yang menunggu barang pesanannya, dan juga tempat aku dan Istriku seharian menunggu pembeli.

***

Akasya namanya. Akasya Marsyanti nama lengkapnya.

Gadis berambut panjang sepunggung yang biasanya dikuncir kuda. Matanya besar dan berwarna hitam sangat cemerlang. Alisnya lentik. Tidak dapat disangkal kalau bagian terindah dari gadis itu adalah matanya.

Hidungnya mungil, tapi jelas bukan pesek. Bibirnya juga mungil, dengan pink selalu jadi pilihan lipstiknya.

Perpaduan hidung dan bibir yang mungil itu membuatnya terlihat seperti baru belasan tahun. Tapi, dia sebaya denganku.

Sejak TK, SD, SMP, dan SMA dia satu sekolah denganku. Beberapa kali juga satu kelas. Bahkan, kuliah juga di kampus yang sama, walaupun beda jurusan.

Aku tahu aku menyukainya sejak pertama kali dia menguncir rambutnya. Akhir SMP atau awal SMA kalau tak salah. Entahlah.

Satu yang pasti, saat itu dia sekelas denganku. Aku ingat pagi itu hanya ada tiga orang termasuk kami berdua yang ada di kelas. Dengan senyumnya yang menawan, Akasya memperlihatkan kuncir rambutnya. Aku tertawa terbahak-bahak saat itu.

Dia menjadi cemberut dan marah. “Kenapa kau tertawa seperti itu? Jelek ya?”

“Tidak, tidak. Bukan begitu. Kau terlihat sangat lucu, imut, dan … juga cantik,” pujiku.

Mendadak pipinya memerah dengan sedikit rona jingga yang membuatnya terlihat semakin cantik. Ah, kini baru kusadari alasan dibalik banyaknya temanku yang menitipkan salam untuknya.

“Kau tahu, aku menguncir rambutku karena dua alasan. Alasan pertama karena ini ulang tahunku, yang kedua karena aku ingin menunjukkannya padamu,” ujarnya sambil tersipu malu. Jadi, ulang tahun Akasya tanggal 29 Maret. Aku baru tahu.

Sejak itu, Akasya sering mampir di mimpi-mimpi malamku. Lalu tak lama setelahnya, dia menjadi tujuan. Sayangnya, tujuan itu tak pernah bisa tercapai.

***

“Akasya menikah dengan orang lain?” tanyaku.

“Tidak,” jawabnya pendek saja.

“Jadi, belum nikah?” tanyaku lagi.

“Belum nikah, dan pasti tidak akan pernah nikah.” Dia mengedarkan pandangan, mengembuskan napas lalu berkata, “Dia sudah meninggal setahun yang lalu.”

Aku menyampaikan turut berduka saat Istriku datang membawakan dua gelas teh hangat. Kupersilakan dia minum, dan dia langsung meminumnya sampai habis tak bersisa.

“Boleh bapak tahu kenapa dia meninggal?” tanyaku.

“Sakit.” Dia diam sesaat sebelum kembali berkata, “Maaf, saya tidak bisa menceritakannya. Itu seperti menabur garam di luka saya.”

“Sudah setahun yang lalu, dan lukamu masih juga belum kering?”

“Mungkinkah bisa mengering?” tanyanya balik.

Kami diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Oh, iya, Anda ini mau naik kereta jurusan mana?” tanyaku memecah kebisuan antara kami.

“Ke kota J, Pak. Ngomong-ngomong, darimana Anda tahu aku akan naik kereta?”

“Setelah puluhan tahun di sini, Bapak bisa mengetahui hal-hal seperti itu dengan sekali lihat,” jawabku sambil tertawa ringan. “Begini saja, Mas. Seminggu lagi datanglah lagi ke sini. Aku akan mencarikan akasia yang sesuai keinginanmu.”

“Benarkah, Pak?” tanyanya tak percaya.

“Benar. Sudah, percaya saja pada Bapak, dan cepat pergi dari sini. Keretamu sebentar lagi akan datang.”

***

Seminggu kemudian pria itu datang lagi. Wajahnya terlihat berseri-seri. Ia langsung menagih janji.

“Sabar, Mas. Bapak siapkan bentar. Masnya tunggu saja dulu di sebelah sambil minum kopi yang sudah disiapkan istri saya,” jawabku.

Beberapa saat kemudian, aku dan istriku membawa beberapa pot berisi bunga melati, mawar, anggrek, dan tulip. Kami meletakkannya di depan pria itu. Dia memandangku dengan heran.

“Maaf, apa ini?” tanyanya.

“Akasia yang tumbuh di tanggal 29 Maret,” jawabku.

“Maksudnya?”

“Lihatlah ini.” Aku berkata sambil memutar sebuah pot sebanyak 180 derajat, sehingga sebuah tulisan yang ada di badan pot itu terbaca olehnya. AKASYA, 29 MARET. Itulah tulisan yang terpahat di badan pot. Di tiga pot yang lain juga terpahat tulisan yang sama.

“Jangan main-main dengan saya, Pak!”

“Bapak tak pernah main-main kalau sudah urusannya dengan bunga,” kataku tak mau kalah.

“Lalu ini apa?”

Aku mengambil pot pertama yang berisi melati, dan membantingnya. Berturut-turut kemudian pot berisi mawar, anggrek, dan tulip. Semuanya kuambil lalu kupecahkan.

“Pot itu adalah Akasya, orang yang sangat kau cintai. Kalau kau mencari Akasya, maka sebagaimana pot itu, dia sudah tiada. Tapi kalau kau mau berusaha mencari, di balik pot itu ada melati, mawar, anggrek, dan tulip. Yang perlu kau lakukan hanyalah mencarinya dengan sabar.”

Kami berpandangan. Aku bisa melihat keterkejutannya. Kupungut keempat bunga tersebut dan memasukkannya ke pot-pot lain.

“Dasar tua bangka sialan!” Nada suaranya menunjukkan emosi yang menggelegak di dalam dadanya.

Aku ingin membalasnya. Tapi, dia meninggalkan toko bunga membawa kemarahannya.

Sehari, seminggu, sebulan, hingga akhirnya setahun berlalu. Aku tidak pernah melihatnya lagi lewat di depan toko ini. Sepertinya dia mencari jalan memutar untuk sampai di stasiun kereta dekat toko.

Hingga sore itu ….

“Permisi, selamat sore, Pak. Apakah Bapak punya pohon Akasia yang tumbuh di tanggal 29 Maret?” tanya pria itu. Lagi.

Nanang Ardianto, Buruh. Terkadang sesuatu yang berkeliaran di kepala memang harus dikeluarkan.

[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *