Site icon ghibahin.id

Petualangan Emil di Labirin Ajaib (Bagian 1)

Cernak

Foto oleh Matthias Zomer dari Pexels

“Rasa ingin tahunya yang tinggi membuatnya melongokkan matanya mendekat ke permukaan lubang. Hingga Emil melihat ada sesuatu yang bergerak menggeliat-liat di dalam lubang. Emil menjadi semakin penasaran dibuatnya.”

Emil menopang dagu di balik jendela rumahnya. Matanya melihat ke arah luar dan wajahnya tampak murung. Ya, sudah beberapa hari ini hujan deras selalu turun setiap jam satu siang. Itu membuat Emil sedikit kesal karena waktu bermainnya jadi semakin singkat.

Sudah lebih daru satu tahun ini Emil hanya bermain bersama Agra, tetangga samping rumahnya. Emil dan Agra bermain setelah jadwal sekolah daringnya berakhir. Tugas daringnya masih belum terlalu sulit karena mereka masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar. Biasanya Emil atau Agra langsung secepat kilat mengambil bola dan memainkannya di jalan beton depan rumah yang lengang selepas kelas daring selesai.

Pandemi yang belum usai ini membuat mereka tidak terlalu bisa bermain jauh, juga tak bisa membuat mereka bermain dengan teman-teman yang lain secara bebas seperti dulu. Banyak teman-temannya yang terpaksa tidak bisa bermain keluar rumah. Sudah begitu hujan sekarang sering turun, membuat Emil hanya bisa menghabiskan waktu di dalam rumah dan bertopang dagu. Persis seperti saat ini.

“Lho, sup jagungnya kok belum dimakan, Mil?” Ibu mengagetkan Emil yang melamun.

“Emil bosan, Bu,” keluhnya.

Ibu mendekati Emil dan mengusap-usap lembut rambutnya. “Nanti kalau hujan sudah reda, Ibu ijinkan kamu jalan-jalan sebentar ke luar.”

“Wah, asyiiik! Aku boleh main dengan Agra, Bu? Nanti kami mau lihat apa kami bisa bertemu dengan kecebong-kecebong kecil di parit depan rumah.” Emil tampak antusias.

“Ibu dengar dari mamanya Agra, mereka sekeluarga sedang pergi mengunjungi kakek neneknya di Solo. Kelihatannya, Agra akan beberapa hari menginap di sana, Mil. Sejak pandemi ini, Agra kan belum menengok kakek neneknya. Mungkin Agra sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.”

“Tapi, bukannya kita sedang tidak boleh pergi jauh-jauh, Bu?”

“Boleh, selama sebelum pergi jauh kita cek kesehatan dulu di rumah sakit. Dan hasilnya memang baik.”

“Yaaah, aku bakal kesepian dong!” Emil cemberut.

“Lihat, Mil. Hujan sebentar lagi kelihatannya reda. Kamu jadi mau jalan-jalan keluar?” Ibu mencoba mengalihkan perasaan sedih Emil.

“Jadiii!” Emil berseru riang sejenak melupakan rasa sepinya.

“Ya, sudah, makan dulu sup jagungmu sampai habis, keburu dingin. Setelah itu kamu boleh jalan-jalan sebentar ke luar.”

***

Emil dengan sepatu boot merahnya asyik bermain genangan air di depan rumah. Hujan deras sejak tadi siang membuat areal kompleks perumahan Emil tergenang air. Di depan rumah Emil genangan air mungkin tidak terlalu banyak, tapi di depan rumah Agra air tampak banyak menggenang. Bahkan, air hampir mencapai batas lantai terasnya.

Selokan air di depan rumah Agra kelihatannya tidak mampu menampung air hujan yang tadi turun deras. Kelihatannya ada yang mampat. Halaman depan rumah Agra tampak seperti kolam ikan. Emil segera masuk rumah dan melaporkan apa yang baru saja dia lihat kepada ibunya.

“Ibuuu … Ibuuu … Ibu! Kemari, Bu, cepat! Coba lihat, halaman rumah Agra banjir!” Emil berteriak dari halaman depan rumahnya.

Ibu tampak tergopoh-gopoh menengok halaman rumah keluarga Agra. Ibu pun mulai terlihat sibuk dengan ponselnya. Kelihatannya, Ibu sedang berusaha mengabarkan kejadian itu pada Mama Agra.

Emil yang merasa girang karena banyak genangan di sana-sini mulai kembali menjelajah di jalan depan komplek rumahnya. Berjalan dari ujung ke ujung. Mengamati genangan air yang tampak bermunculan di sana sini. Sesekali Emil sengaja menghentakkan kakinya ke tengah-tengah genangan air, membuat air terciprat ke sana-sini. Emil sangat senang mendapati bajunya basah.

Jalanan kompleks depan rumah Emil hampir selalu sepi. Pagi hari para Ayah sibuk bekerja hingga sore, kadang malam. Sebagian besar para Ibu bekerja juga. Banyak teman-teman bermain Emil di kompleks yang berdiam diri di dalam rumah, bersama nenek atau asisten rumah tangga mereka.

Tentu saja, mereka tidak boleh ke mana-mana. Apalagi di saat hujan kerap datang seperti akhir-akhir ini, banyak anak lebih senang berdiam diri di dalam rumah, menghangatkan diri dengan minum secangkir susu panas atau coklat hangat. Tapi Emil berbeda. Dia anak yang tidak bisa berdiam diri terlalu lama di dalam rumah. Dia selalu bergerak, bergerak, dan bergerak.

Seperti saat ini, di saat hujan baru saja berhenti turun, dia malah sibuk melompat, melompat, dan melompat di antara genangan air. Genangan-genangan air tampaknya juga turut gembira menyambut loncatan Emil.

Sambil terus berlompatan, lalu berjalan, kadang berlari, dan sesekali berhenti, Emil mengamati laju aliran air yang deras di parit sepanjang rumah di kompleks. Rupanya, banyak halaman rumah tetangganya yang juga terendam air. Kenapa begitu ya? Apa ada aliran air yang tidak lancar?

Emil mulai asyik mengamati dari satu selokan ke selokan yang lain. Parit-parit sepanjang deret di depan rumahnya ditengok satu per satu. Bangunan rumah satu sama lain rata-rata sama tinggi, mungkin yang berbeda hanya pada bagian halaman depan rumah yang besarnya hanya sepetak kecil.

Sebagian besar rumah membeton bagian halamannya agar terlihat bersih. Hanya beberapa yang nampak ditanami dan dibiarkan bagian permukaannya tetap berlapis tanah.

Emil berjalan dan terus berjalan. Sesekali kakinya menyipak, mendorong air ke atas dengan boot-nya. Hingga Emil menuju kembali ke rumahnya lagi, dan mendapati halaman rumahnya tidak ikut terendam air. Hanya tergenang sedikit, itu pun cepat surut.

Wah, kenapa begitu ya? Emil sangat penasaran dibuatnya.

Emil kemudian berjalan menuju halaman rumahnya yang tidak terlalu luas, tapi cukup asri. Sebatang pohon pepaya menjulang, dengan bunga-bunga putih yang tampak mekar di bagian pucuk. Beberapa buah pepaya yang masih kecil sudah mulai tampak tumbuh bergerombol. Beberapa pot tanaman dan bunga hasil berkebun Ibunya berjajar rapi membuat halaman kecil itu tampak lebih indah.

Langkah Emil terhenti tatkala dia menemukan ke mana aliran air hujan itu mengalir selain menuju ke parit. Ada beberapa lubang berpenutup kawat-kawat berjaring tampak menyeret aliran air hujan dan membentuk arus-arus kecil di sekitarnya.

Emil penasaran. Lubang itu biasanya digunakan ibunya untuk membuang sisa sampah dapur setelah selesai memasak. Kupasan kulit buah, sayuran, atau sisa kulit-kulit kupasan bawang biasanya dibuang Ibu ke dalamnya. 

Tapi kenapa lubang ini tidak membuat mampat ya? Kan sampahnya dibuang di dalam?” Emil terus bertanya-tanya dalam hati. 

Rasa ingin tahunya yang tinggi membuatnya melongokkan matanya mendekat ke permukaan lubang. Terus mendekat, mendekat, dan mendekat. Hingga Emil melihat ada sesuatu yang bergerak menggeliat-liat di dalam lubang. Emil menjadi semakin penasaran dibuatnya.

Emil pun meletakkan tangannya ke atas penutup lubang dan mencoba membuka penutup lubang yang terbuat dari kawat berjaring itu dengan memutar-mutarnya ke kanan dan ke kiri. Tapi tidak ada hasil yang terlihat. Penutupnya tidak mau terbuka.

Dengan susah payah Emil berusaha lagi membuka penutup lubangnya. Kali ini, ditariknya penutup itu ke atas, sayangnya penutup dari kawat itu tetap tidak bergerak dari tempatnya.

Emil tidak menyerah. Diamati lagi penutup di sekitar lubang itu dengan lebih teliti. Rupanya ada tali yang dikaitkan antara penutup berjaring kawat itu dengan ujung pipa yang digunakan sebagai pelapis lubang di hadapannya. Tanpa menunggu lebih lama, Emil menggeser kaitan itu ke samping dan menarik penutupnya pelan-pelan ke atas.

Voila! Lubangnya telah berhasil dibuka. [red/hh]

Sandra Srengenge, pembakul buku, suka menulis cerita dan nongkrong di ghibahin.id.

Exit mobile version