Site icon ghibahin.id

Pertemuan

Pertemuan

Foto oleh EKATERINA BOLOVTSOVA dari Pexels

Sesungguhnya apakah simbol-simbol pada diriku ini penting baginya? Yang aku tahu, ia begitu percaya diri dengan segala yang ia tampakkan di sosial media.”

Aku menyiapkan yang perlu aku bawa sebelum berangkat. Keberangkatanku kali ini tidak hanya membuatku merasa senang karena akan bertemu banyak orang. 

Tapi, lebih dari itu, aku akan bertemu dengan seseorang. Seseorang yang sudah lama aku niatkan untuk bertemu. Elsa.

Perkenalan kami diawali di sebuah group Facebook. Elsa menurutku adalah seorang perempuan tangguh. Ia adalah seorang ibu tunggal yang membesarkan ketiga anaknya. 

Kami berkenalan dalam sebuah group parenting. Caranya bertutur dan merespon setiap komentar membuatku semakin kagum padanya. Ia perempuan mandiri dan tangguh. Itulah yang ada dalam pikiranku.

Sesungguhnya kondisiku tidak jauh beda dengannya. Aku juga seorang ibu tunggal yang membesarkan satu orang anak. 

Ya, aku hanya memiliki satu anak. Berbeda dengan Elsa yang harus membesarkan tiga anaknya sendirian setelah memilih bercerai dari mantan suaminya yang kasar dan suka melakukan kekerasan. 

Bagaimana denganku? Aku pun seorang janda yang bercerai dari seorang suami. 

Aku sulit menjelaskannya. Yang jelas mantan suamiku seorang pengekang dan posesif. 

Aku tak tahan lalu mengajukan cerai. Anak perempuanku sesungguhnya jatuh pada pengasuhan ayahnya. Tetapi sesekali aku bisa mengambilnya untuk tinggal bersamaku saat liburan.

Di saat aku terpuruk dalam kegundahan, aku sering membaca tulisan-tulisan Elsa di beranda Facebook-nya. 

Tulisannya begitu menenangkanku. Perasaan bersalah selalu mengintaiku. 

Perasaan itu muncul saat Arumi, anakku, menginginkanku bersama kembali dengan ayahnya. Memang akulah yang menggugat cerai. Aku yang menginginkan perceraian itu. Namun, tidak semua adalah salahku. 

Ada saat aku membenci diriku sendiri. Ada saat aku merasa keputusanku sudah benar. 

Elsa tak pernah berhenti untuk terus memberiku semangat. Kisah dan kehidupannya tak jarang diceritakan di beranda Facebook-nya. 

Ia juga sering menampilkan foto dirinya bersama ketiga anaknya. Ia sudah menjadi sahabatku. 

Ya, setidaknya aku sudah menganggap seperti itu. Meski aku belum pernah berjumpa dengannya. Aku merasa begitu dekat dengannya.

Kereta yang kunaiki sebentar lagi akan tiba di stasiun. Aku segera mengirim pesan kepada Elsa. 

Padahal seharusnya aku lebih dulu mengabari pihak panitia. Namun, justru yang kuingat di kepalaku hanya Elsa. Aku mengabarinya jika aku sudah sampai di kotanya dan berencana bertemu.

Aku sampai di sebuah hotel bintang lima. Acara pelatihan akan berlangsung selama tiga hari dan aku didapuk sebagai pembicara. 

Sudah lama aku rindukan momen ini setelah pandemi. Aku bisa berbicara kembali di depan orang banyak. Terlebih momen yang paling penting kemudian adalah aku akan bertemu Elsa yang selalu berpikir positif.

Aku dan Elsa akan bertemu di hari ketiga aku di kota itu. Ah, masih menunggu dua hari lagi, pikirku. Tak mengapa, mungkin Elsa memang sibuk. 

Dari akun sosmed-nya, aku bisa melihat rutinitasnya setiap pagi. Setelah ia membereskan seluruh keperluan anak-anaknya, ia akan mengantar anaknya ke sekolah. Kemudian ia pergi bekerja. 

Ia bekerja di sebuah instansi kantor pemerintah sebagai tenaga honorer. Lagi-lagi aku melihat dari foto-foto Elsa yang ditampilkan di akun instagram miliknya. 

Ia mengenakan seragam khaki khas aparatur sipil di kantor dinas di mana ia bekerja. Meskipun seorang tenaga honorer, ia tampak begitu sibuk mengikuti berbagai pelatihan di kantornya.

Kereta yang kunaiki telah sampai di stasiun. Aku segera melangkah ke luar. Seorang panitia menghubungiku dan mengatakan bahwa aku telah dijemput oleh salah satu kru dengan mobil hitam. 

“Bu Marta, ya?” Seorang perempuan yang tampaknya berusia sangat muda menyapaku.

 Aku mengangguk. Tak lupa ia menyalamiku dan memperkenalkan dirinya. 

“Saya Nia, Bu. Panitia pelatihan. Mari, Bu saya antar ke parkiran mobil.”

Dengan tersenyum ramah ia mengantarku menuju parkir mobil. Kami lalu melaju menuju hotel yang sesungguhnya tidak begitu jauh dari stasiun. 

Selama pelatihan, aku tak sabar untuk sampai pada hari ketiga yang berarti hari terakhirku ada di kota itu. Aku akan berjumpa dengan Elsa. 

Selama lebih dua tahun kami berkenalan melalui sosial media, itu adalah kesempatan pertama aku akan bertemu dengannya. Pertemuan dua orang sahabat yang kupikir pasti akan menjadi momen yang sangat kami tunggu.

“Marta, maaf aku agak telat. Kita ketemu jam setengah delapan gimana?” Elsa menghubungiku tiba-tiba. 

“Oh, nggak apa-apa. Santai aja. Sesiku sampai sore kok. Aku free di malam harinya,” jawabku santai. 

Ah, dia hanya mengundurkan waktu tiga puluh menit dari janjian kami di awal. Tak mengapa, pikirku. Mungkin ada hal penting yang harus ia lakukan

Pukul tujuh, aku menuju tempat pertemuan kami. Sebuah pusat perbelanjaan paling mewah di kota itu. Aku berjalan-jalan sejenak. 

Tak apa aku masih punya waktu tiga puluh menit sebelum bertemu dengannya. Aku akan bertemu dengannya di sebuah food court lantai atas mall itu. 

Saat jam menunjukkan angka pukul tujuh lewat dua puluh menit aku sengaja langsung menuju tempat kita akan bertemu. Aku menunggu hingga pukul delapan kurang lima belas menit. 

Kulihat ia datang. Ya, itu pasti Elsa. Hatiku seakan ingin menjerit. Aku ingin memeluknya erat, pikirku.

Suara musik sebuah lagu grup boy band Korea mendengung-dengung ke seluruh area terbuka itu. Kami saling bertatapan sebelum aku memutuskan untuk memeluknya erat. Matanya menangkap sejurus ke arahku. 

“Marta,” ucapnya. Pandangannya menangkapku. Entah, apa ia merasa heran, kagum atau asing padaku.

“Iya, aku Marta. Kamu, Elsa kan?” Aku mencoba memastikan, walau sesungguhnya pertanyaanku begitu penuh basa-basi. 

Aku dan ia sudah saling melihat foto-foto dari layar telepon. Bahkan kami sempat untuk saling menyapa dengan panggilan video.

“Ternyata kamu cantik sekali. Lebih cantik dari foto yang kulihat,” ujarnya.

“Ah, kamu juga cantik kok,” balasku. Sesungguhnya aku tak berharap pujian semacam itu. Aku hanya ingin bisa ngobrol sebanyak mungkin seperti yang sudah sering dilakukan di media sosial. 

Kami berdua kemudian memesan makanan. Ia masih tampak canggung di hadapanku. 

Aku berusaha untuk terlihat santai. Sungguh kekakuan ini sangat tidak kuharapkan. Elsa yang aku lihat dari media sosial adalah Elsa yang kuat dan mandiri. Ia juga sosok yang supel.

“Marta, maaf, mungkin kamu kaget melihat aku secara langsung. Aku mungkin beda dengan yang sudah sering kamu lihat di sosmed,” jelasnya.

Ah, Elsa andai kau tahu aku sama sekali tidak mempermasalahkan beda atau tidaknya dengan apa yang dilihat di layar telepon. Aku hanya ingin memiliki hubungan hangat yang sudah dibangun secara virtual.

“Aku kaget, kamu ternyata cantik dan ternyata kamu lulusan S3. Kenapa nggak bilang? Karena kupikir harusnya kamu memberitahuku tentang ini. Dan kamu jadi pembicara di acara seminar akademisi. Aku merasa bukan siapa-siapa di depanmu.”

“Elsa, aku ingin mengenalmu bukan karena apa-apa yang menempel pada diriku. Aku nyaman saja.”

Pembicaraan tiba-tiba terhenti begitu saja. Kekakuan merambah pada diriku. Sesungguhnya apakah simbol-simbol pada diriku ini penting baginya? Yang aku tahu, ia begitu percaya diri dengan segala yang ia tampakkan di sosial media.

Makanan pesanan kami belum sepenuhnya habis. Chicken teriyaki dan dua gelas minuman bersoda masih tersaji rapi. Aku mencoba memecah keheningan dengan mengambil segelas soda dan meneguknya.

Tiba-tiba terdengar suara telepon berdering. Bukan teleponku, tapi telepon milik Elsa.

Ia mengangkatnya. Aku mendengar suara tangisan anak kecil.

“Ma, adik nangis, Mama cepet pulang, ya?” Suara si penelepon terdengar karena volume suara cukup keras. 

“Kamu kok nggak becus amat sih ngurus adikmu? Mama masih ada urusan! Kamu urus adikmu supaya nggak nangis!”

Elsa segera mematikan teleponnya. Ia kembali menatapku. “Itu tadi anak sulungku yang aku suruh mengasuh adiknya. Sudah biarkan saja, kita makan saja ya.”

Ia mengambil sendok dan sibuk dengan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Aku kembali menyibukkan dengan santapanku juga. Kami kembali mengobrol. Namun, kemudian kecanggungan menyelimuti. 

Ada berbagai pertanyaan yang ingin kuungkapkan. Tetapi aku mencoba menahan sekuat mungkin. 

Kemudian ia segera berpamitan karena sudah cukup malam. Aku sempat berfoto dengannya dan kembali menuju hotel. 

Ah, Elsa banyak yang sesungguhnya kau tidak ketahui tentang aku. Aku yang sesungguhnya tidak sepenuhnya seorang janda. Aku diam-diam menikah dengan suami orang dan memiliki anak darinya, hingga aku memutuskan untuk berpisah. 

Mungkin sama halnya dengan dirimu, Elsa. Engkau yang sesungguhnya memiliki kisahmu sendiri yang aku tidak tahu. 

Engkau yang tampak begitu penyabar saat mengisahkan bagaimana engkau mengasuh ketiga anakmu sendirian. Meski ternyata … ah, mungkin lebih baik begini. 

Sungguh tak perlu saling mengungkap rahasia. Cukup simbol-simbol yang ada di media sosial yang menggambarkan hubungan kita berdua. [red/san-red]

Hanifatul Hijriati, Guru SMA yang suka menulis di beberapa media online.

Exit mobile version