Pertanyaan yang Tidak Kamu Tujukan Padaku (1)

Pertanyaan Yang Tidak Kamu Tujukan

“Jadi, kamu mencintaiku juga tidak?” tanyamu. Ekspresimu menunjukkan bahwa pertanyaan itu adalah satu bagian dari formulir lamaran pekerjaan atau semacamnya.

“Aku sudah menunggumu di sini,” katamu. Kamu sedikit mengangkat tangan kiri, tempat jam tanganmu melingkar. “Sepuluh menit.”

Aku mengangguk. Terlambat. Aku memang terlambat. Tidak perlu membela diri.

Pelayan meletakkan dua gelas berembun di hadapan kita. Satu berisi es jeruk, dan satu berisi es teh. Melihat itu, aku sadar kita berbeda sejak hal kecil semacam minuman dingin ini.

“Aku sudah pesan makan untuk kita. Sejujurnya aku sudah menahan lapar sejak tadi,” katamu lagi. Pelayan kedua datang dan meletakkan dua piring di meja.

“Maaf,” kataku pelan. Aku selalu ingat kata-katamu untuk tidak perlu menjelaskan alasan meminta maaf. Lagipula, aku tak berminat menjelaskan apapun kali ini.

Kamu selalu memesan olahan daging ayam. Kali ini juga.

Aku menarik piringku lebih dekat. Kulirik kamu langsung menusuk daging ayam itu dengan garpu. Tanganmu yang lain cekatan mengiris daging yang lembut itu.

Irisanmu begitu rapi. Rasanya aku seperti melihat garis lurus hasil bantuan penggaris besi yang panjang. Serat-serat daging terlihat. Lalu sesuatu yang mereka sebut saus berwarna cokelat tua itu meleleh perlahan. Lelehannya mengingatkanku pada lelehan cokelat yang perlahan turun dari mangkuk es krim.

“Kamu harus latihan menghargai waktu, Sayang,” katamu lagi. Aku tahu kamu hanya bicara jika makanan di mulutmu telah tertelan sempurna.

Aku mengangguk. Perlahan kutusuk daging ayam berbalut tepung dengan lelehan saus itu. Aku tak sungguh-sungguh ingin makan. Tapi, aku sungguh menikmati menyayat daging ini perlahan.

“Aku sibuk. Kamu tahu itu, bukan?” tanyamu lagi. Setelah mengajukan pertanyaan itu, kulihat kamu memasukkan potongan daging ke dalam mulut.

Aku mengangguk kembali. Aku terus menusuk dan menyayat. Kamu mungkin menatapku dengan pandangan tak suka. Tapi, mungkin pula kamu memaklumi bahwa aku hanya ingin kepraktisan.

Aku ingin menyelesaikan kegiatan memotong kemudian baru memulai memakannya. Persetan dengan aturan makan yang baik dan benar. Kamu tahu aku tidak pernah peduli dengan hal semacam itu. Norma dan aturan yang mengikat ini dan itu. Termasuk soal aku dan kamu.

Kali ini aku betul-betul menikmati acara memotong daging ini. Potongan daging itu berserak di piring putih yang kini memiliki pola bercak saus yang tak beraturan.

Aku menggeser selembar selada. Warnanya hijau. Sedikit kering di ujung-ujungnya. Aku menyeringai melihat ketidaksempurnaan itu.

Irisan tipis sayuran berwarna putih dicampur parutan sesuatu yang berwarna jingga semarak di antara irisan tipis timun yang pucat dan tomat yang merah. Sepotong daging menimpa mayones yang seharusnya hanya mengenai sayuran-sayuran itu.

“Kamu mendengarku?”

Hah?

Aku mengalihkan perhatian dari piring dengan isi yang berserakan itu. Kupandangi wajahmu yang cantik. Bulu matamu lentik. Pipimu tirus. Rambut ikalmu kali ini diikat ke belakang, sedikit tinggi hingga bisa kulihat lehermu yang menggiurkan.

Bagaimana jika leher itu kukecup? Hmm, sedikit kugigit, boleh?

“Kamu mendengarku?” tanyamu sekali lagi. Aku melirik piringmu. Tampaknya separuh isinya sudah berpindah ke perutmu. Sedemikian laparnyakah kamu?

“Hm, tentu saja,” kataku berbohong. Bukankah sesekali berbohong tak masalah?

Kamu mengangguk. Tanganmu terulur pada gelas berisi es teh. Kamu memutar pipet. Dan aku mendengar gemerisik batu-batu es bertabrakan di dalam gelas itu.

“Aku ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu. Posisimu begitu penting bagiku. Hanya, aku memang tak bisa menjelaskan padamu. Sungguh, aku bingung bagaimana mengatakannya padamu,” katamu di sela suara riuh batu es yang bertabrakan di dalam gelasmu.

“Kamu mengajakku makan siang untuk membicarakan kebingungan?” tanyaku. Jemarimu yang lentik dengan kuku berwarna merah menyala itu masih saja mengaduk isi gelas.

Sebenarnya apa gunanya kamu melakukan itu? Supaya manisnya bercampur atau supaya dinginnya berbaur?

“Jangan salah paham. Di hatiku hanya ada kamu. Jantungku berdetak seperti menyerukan namamu setiap waktu.” Bibirmu yang berpulas merah menyala itu mendekat ke ujung pipet. Tiba-tiba aku ingin berubah wujud menjadi pipet agar bisa merasai bibirmu. 

Aku ingin tertawa. Kamu bicara cinta seperti orang pada umumnya. Kata-kata klise yang memuakkan.

“Jadi, kamu mencintaiku juga tidak?” tanyamu. Ekspresimu menunjukkan bahwa pertanyaan itu adalah satu bagian dari formulir lamaran pekerjaan atau semacamnya.

Aku tersenyum. Senyum yang kuyakin bentuknya itu-itu saja. Sebuah senyum standar yang memang selalu kupasang dalam berbagai keadaan. “Apakah kamu sedang mengajukan pertanyaan untuk dirimu sendiri?” tanyaku.

Kamu mendorong gelasmu. Kemudian mengiris daging dan menyuapnya. Aku menunggu kamu menelan makanan itu. Sebab aku memang menunggu jawabanmu.

“Begini, aku tampaknya sulit menjelaskan padamu betapa berartinya kamu buatku. Begini saja, bolehkah aku tahu posisiku di hatimu?” Kamu menatapku lurus-lurus. Rasanya aku tahu apa yang akan kamu katakan. Kamu akan bilang sesuatu yang sama atau sebaliknya. Kemungkinannya hanya dua itu saja.

Aku menatap isi piringku. Potongan daging. Saus. Mayones. Sayuran. Garpu dengan sekerat kecil daging di ujungnya. Pisau yang terkena saus dan sedikit kemilau karena minyak dari tepung goreng yang membalut daging.

“Kamu seperti isi piringku ini,” kataku. Kudorong piring itu mendekat padamu. Aku melihat kamu sedikit melotot. Mulutmu setengah terbuka.

Aku menyeringai. Kulirik sekilas gelas es jerukku. Gelas itu berembun. Dingin. Meski di bagian bawah warna jeruk itu begitu menawan, di bagian atas warnanya mendekati putih.

Aku menunjuk gelas es jerukku. “Kamu pun seperti es jerukku,” kataku.

Kamu diam. Aku pun diam. Tapi aku mendengarnya lagi. Denting lonceng kecil, raungan ambulan, bisik-bisik perempuan. Ramai. Ramai sekali.

“Apa artinya?” tanyamu perlahan. Sepertinya kamu sedikit tercekat hingga suaramu jadi seperti cicit tikus yang terperangkap.

Aku meletakkan kedua telapak tanganku dengan rapi di sisi kanan dan kiri piring. Seperti seorang anak sekolah dasar yang tengah diperiksa kukunya oleh guru paling disiplin di sekolah.

Aku menggeleng. Sebenarnya aku menggeleng bukan karena tidak ingin menjawab pertanyaanmu. Aku melakukannya untuk mengusir suara yang kudengar. Suara yang memintaku mengulurkan tangan, memasukkannya ke dalam mulutmu, terus masuk ke dalam, merogoh jantungmu. Kemudian mengeluarkannya dan menikmati jantung hangat yang berdetak-detak, menyeru-nyeru namaku. [red/han]

Katarina Retno Triwidayati, Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia.

2 thoughts on “Pertanyaan yang Tidak Kamu Tujukan Padaku (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *