Site icon ghibahin.id

Nisbi

nisbi

Photo by cottonbro from Pexels

“Lelaki itu menoleh. Tangannya kirinya terulur menangkup sisi kanan wajahku. Ibu jarinya mengusap bibirku. Sedikit menekan dan bergerak perlahan menimbulkan sensasi yang tak bisa kuhindari.”

Bisa kau sebut angka nol hingga sembilan? Tidak. Aku tidak bermaksud mengetesmu. Aku hanya ingin bilang nol hingga sembilan itu bisa kau kombinasikan. Ah, iya. Kau sudah tahu itu, bukan?

Jadi, soal nol hingga sembilan ini membuatku muak. Aku membenci diriku sendiri yang memikirkan nol hingga sembilan itu terlalu sering sebab aku enggan bilang itu selalu. Itulah yang membawaku kembali ke bar malam ini. Baiklah. Aku memang selalu ke sini meski aku tidak sedang memikirkan angka-angka sialan itu.

Sebenarnya tidak ada yang menarik dari lelaki itu. Namun, aku mengamatinya. Rasanya aku mengenal lelaki itu. Atau jangan-jangan aku hanya merasa-rasa mengenalnya. Bisa juga aku hanya ingin mengenalnya.

Rambutnya sebahu sedikit bergelombang. Ah, seksi sekali. Dari belakang bisa kulihat punggung lapang itu. Sungguh bisa kubayangkan rasa nyaman bersandar di sana dengan memeluk perutnya yang rata.

Seseorang memeluk seraya berbisik. Sebenarnya aku tidak mendengar apa yang dibisikkannya. Kudorong tubuhnya. Dengan acuh aku melangkah menuju lelaki yang menarik minatku itu. Aku tidak ingin bermain-main dengan yang lain. Aku menginginkan lelaki itu. Hanya lelaki itu.

Seseorang yang lain menepuk pantatku. Aku menoleh dan mengangkat jari tengah. Orang itu terbahak. “Kosong?” tanyanya. Kubiarkan saja pertanyaan itu mengambang di udara. Aku sudah memutuskan tidak ingin bersama siapa-siapa. Aku hanya ingin mendekati lelaki yang menarik perhatianku.

Sialnya dua pasangan dimabuk birahi menabrakku. Tubuhku jadi terdorong dan menabrak lelaki yang ingin kudekati. “Berengsek,” umpatku.

“Kau ….” Tangan lelaki itu begitu cepat mendorongku hingga aku terlempar dan jatuh. Apakah dia marah? Ataukah merasa terganggu?

Seorang lelaki yang lain mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Bram. Lelaki yang biasa berkencan denganku. Matanya berkilat marah. Dikecup kepalaku sekilas dan dihampirinya lelaki itu. “Berengsek! Beraninya kau berlaku kasar padanya!”

Bugh! Pukulan mendarat di pipi kiri lelaki itu. Jeritan terdengar. Meski situasi ricuh seperti ini biasa terjadi setiap malam. Namun, kali ini aku tak nyaman. Bram memukul lelaki itu. Mungkin lima atau enam kali sebelum aku menarik tangannya. Bram menatapku, bertanya tanpa kata.

“Sudah cukup,” kataku.

Bram mengangguk. “Ikutlah denganku,” katanya. Ada kilat gairah di mata Bram. Masalahnya aku tidak ingin bersamanya. Sudah kukatakan tadi padamu. Aku hanya ingin bersama lelaki yang aku mau.

Melihatku diam, Bram tahu jawabanku. Ia mendekat, menciumku dengan kasar. Kemudian meninggalkanku yang terengah. Sialan. Aku hanya mampu mengumpat. Orang-orang tak pernah peduli dengan perkelahian. Tentu saja sepanjang mereka tidak terkena imbasnya. Kulihat lelaki yang dihajar Bram itu berusaha bangun. Aku membantunya duduk. Lalu duduk di sebelahnya. Begitu dekat.

Ia menatapku sekilas. Ah, dia tidak sepenuhnya mabuk. Aku mengenali tatapan kritis menilai di matanya. “Siapa dia?”

“Bram?” Aku balik bertanya.

“Jadi namanya Bram?” Aku diam saja. Lelaki itu tertawa. Kepalanya menunduk hingga menyentuh meja bar.

“Apa yang lucu?” Aku tidak tahu harus marah, tersinggung, atau bingung. Lelaki itu menoleh. Tangannya kirinya terulur menangkup sisi kanan wajahku. Ibu jarinya mengusap bibirku. Sedikit menekan dan bergerak perlahan menimbulkan sensasi yang tak bisa kuhindari. “Tidak ada,” katanya.

Matanya sayu dan bekas pukulan Bram menciptakan lebam di wajahnya. Sudut bibirnya pecah. Ada darah di sana. “Bibirmu berdarah,” kataku seraya menekan getar di seluruh tubuh akibat sentuhan kecilnya di bibirku.

“Aku tahu,” katanya.

“Apakah itu sakit?”

“Aku tak tahu.”

Aku mendekat. Kutarik kepalanya, lalu kulahap bibir yang setengah mati menggoda itu. Dentum musik menyamarkan erangan sarat gairah. Untuk menit-menit yang tak kuhitung, aku terbuai. Saat kulepaskan bibir itu, aku sudah di pangkuannya. Kedua tangannya berada di punggungku.

“Jadi apakah itu sakit?” tanyaku. Suaraku serak dan aku tidak berusaha berdehem untuk menetralkannya.

Ia tertawa dan kami beradu dahi. “Tidak. Sama sekali tidak.”

“Kalau begitu, sekarang katakan padaku, kenapa kau ada di sini? Bukankah kau tak pernah ada di sini sebelumnya?” Aku tahu siapa saja yang sering datang, baru beberapa kali, atau baru hari ini menginjakkan kaki di tempat ini. Tentu saja, aku mudah mengingat wajah orang. Hanya seperti yang kukatakan di awal tadi, jangan bicara soal angka.

“Aku mencarimu.”

“Mencariku?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Kalau aku bilang aku mendengar banyak hal tentangmu dan mengagumimu, apakah kau akan mempercayaiku?”

Aku tertawa. Sepertinya sedikit sumbang. “Kau mencariku atau mencari dirimu sendiri? Kalau kau mencariku, kau tidak akan mabuk ….”

“Kau pikir aku mabuk?”

Aku menarik jarak, bermaksud turun dari pelukan dan usapan tangannya yang lebih memabukkan dari semua minuman di bar ini. Namun, tangannya menahanku. Justru ditariknya hingga tubuhku kembali menempel padanya. Sialan. Apa dia tidak tahu bahwa tubuhnya menjelma menjadi candu bagiku?

“Katakan padaku, berapa nomor ponselmu?” kataku sedikit terengah. Belaian sialan di punggung itu mengacaukan ritme napasku.

“Entahlah. Dari nol hingga sembilan. Buatlah kombinasinya!”

“Ah, kalau begitu, apakah kau ingin tahu nomor ponselku?” Berengsek sekali. Aku merasa murahan karena menawarkan informasi ini padanya.

“Kau bisa menyebutkan semua kombinasi nol hingga sembilan.”

“Kau akan mencatatnya?”

Lelaki itu menggeleng. Ada senyum di bibirnya.

“Kau akan mengingatnya?”

“Mungkin.”

“Aku anggap itu artinya kau tak mau menyimpannya.”

“Jadi sekarang kombinasi angka itu penting?”

Aku mati-matian bicara di sela erangan yang sesekali lolos. “Kau … ugh … kau harusnya … hmmm … cukup tahu … saat ini … ugh … saat ini nomor ponsel … akan menghubungkanmu dengan seseorang yang kau cari …. Kau perlu … eeerrr … men … menyimpannya … setidaknya di sini ….” Kataku seraya mengetuk lembut pelipisnya.

“Kalau aku tak mau menyimpannya?” bisiknya diakhiri dengan gigitan kecil di telinga kananku.

Aku melepaskan diri meski sesuatu masih membara tapi jelas meredup dengan cepat. Aku kembali tertawa. Kali ini aku yakin suaraku memang sumbang. Hanya aku tak tahu apakah itu penuh kepedihan atau … entahlah.

Matanya yang tenang serupa danau membuatku memutuskan pergi. Padahal mulanya aku ingin bersamanya. Harusnya aku tahu, semua yang ada di sini palsu belaka. Tak ada yang sungguh menginginkanku meski aku menginginkannya. Tidak ada. Tidak pernah ada.

Ah, bisakah kutegaskan padamu tentang sesuatu? Ya. Aku muak dengan nol hingga sembilan, juga kombinasinya. Sialnya mereka terus berputar dan mencoba mengisi kepalaku yang kosong. [red/red]

Katarina Retno, Ibu dua anak, merdeka, dan bahagia.

Exit mobile version