Site icon ghibahin.id

Merah Putih Enggan Berkibar

Gambar oleh Urbanoir net dari Pixabay

“Bagaimana mungkin bendera yang melambangkan kejayaan bangsa dipasang di tanah yang pelepasannya terjadi dengan rasa terpaksa.”

Jemari tangannya yang mulai keriput memilah dengan cepat tumpukan baju di lemari. Sementara matanya meloncat-loncat dan hatinya resah setiap kali helai kain tersingkap. Hela nafas berat terdengar setelah seluruh isi lemari ia periksa.

Bu’ne, bendera kita di mana, ya?” tanyanya pada sang istri yang sedang bersiap memasukkan nasi ke dalam soblok. Sang istri diam saja tidak menjawab. Baginya, pertanyaan itu tidaklah penting. Toh biasanya di pagi hari sang suami menanyakan soal cangkul, sabit, atau celana kolor untuk ke sawah, bukan bendera.

“Ya di lemari to, Pak’e, masa ya di sini,” sahut sang istri setelah si suami mengulang pertanyaan untuk kedua kalinya. Dan sang suami kembali ke dalam rumah, mengecek lemari lain di dekat televisi 14 inci yang lebih sering menampilkan gambar bersemut.

Tumpukan baju bekas selesai ia buka namun yang dicari tetap saja tidak ditemukan. Tumpukan kedua ia buka. Matanya berbinar saat menatap lipatan kain berwarna merah dan putih. Akhirnya selesai dan bisa segera pergi ke sawah, begitu batinnya.

Sial, saat ia tarik kain itu, yang muncul adalah beberapa lembar kaus pemberian seorang kader partai pada pemilu dua tahun lalu. Saat ia buka, yang muncul adalah gambar seorang calon anggota DPR yang kini katanya gila karena gagal terpilih.

Malam sebelumnya, Kepala Dusun memberikan perintah agar semua warga memulai memasang bendera di depan rumah. Kasak-kusuk selanjutnya mulai terdengar. Katanya, dusun mereka akan dikunjungi Pak Lurah dalam beberapa hari ke depan. Si Lurah sendiri adalah sosok yang terkenal aneh sekaligus nyeleneh.

Orang-orang masih ingat betul, seorang warga dusun pernah gagal mendapat bantuan gara-gara telat memasang bendera pada Agustus tahun lalu. “Kamu saja tidak pasang bendera kok mau dapat bantuan negara,” begitu kilah si Lurah dengan santainya.

Lemari kedua selesai dibuka dan bendera belum juga ditemukan. Angannya bergerak liar, bagaimana jika ia tidak menemukan bendera dan kelak tidak bisa mendapatkan bantuan. Padahal, bantuan dari pemerintah bagi petani sederhana sepertinya adalah sebuah kebahagiaan kecil yang tiada terperi. Ya, walaupun kadang ia harus rela mengantri seharian demi kebahagiaan itu.

Ia berpindah ke lemari ketiga. Lemari ini berada di sudut ruang makan. Di sampingnya, tertumpuk berbagai perabot rumah tangga milik sang istri. Pintu lemari berderit, sesaat setelahnya terdengar uring-uringan istrinya karena ia tidak segera pergi ke sawah.

“Sudah jam berapa ini?” seru sang istri.

Lemari kali ini berisi baju-baju bekas milik keluarganya. Ada seragam SMP milik anaknya yang kini sudah lulus SMK dan bekerja sebagai tukang bangunan. Ada pula beberapa baju batik miliknya yang sudah lusuh karena seringnya dipakai.

Bendera yang ia cari adalah sebuah bendera merah putih kecil. Ia membelinya sekitar 15 tahun lalu di pasar secara tidak sengaja. Kala itu Agustus menjelang dan ia ingat jika benderanya sudah rusak karena terjatuh ke tanah lalu terinjak-injak bebek tetangga yang lewat. Ia pilih bendera paling kecil semata karena harganya paling murah.

Pencariannya dimulai dari atas. Bau apak menyeruak saat tumpukan baju istrinya terbuka. Ia tiba-tiba tersenyum geli mengingat baju-baju itu. Ia ingat betul, baju itu adalah baju ketika kulit istrinya masih kencang. Ah, waktu ternyata berjalan begitu cepat.

Kini sudah tumpukan ketiga ia buka. Lagi-lagi ia harus berjibaku membuka setumpuk kaus bergambar para calon anggota DPR. Beberapa wajah itu menang, beberapa lainnya kalah, dan beberapa lainnya konon ditangkap aparat karena ketahuan korupsi. Dulu, baju-baju itu datang bersama janji-janji dan uang tunai 100 ribu. Uang habis dalam sehari, janji hilang tidak sampai hitungan bulan, sementara kausnya pun kini sudah sobek karena bahannya yang jelek. “Kaos saringan tahu” begitulah orang-orang menyebut.

Di tumpukan terakhir, matanya berbinar menemukan sehelai bendera merah putih yang sudah setengah jam lebih dicari. Ah, itu sebenarnya tidak lagi pantas disebut merah putih. Warna merahnya sudah tidak lagi merah darah melainkan merah muda. Sementara warna putihnya sudah menguning dengan bercak-bercak noda. Ia bentangkan benda itu di depannya sembari ditatap tajam. Gayanya mirip dengan atlet nasional yang menang lomba.

Ia beranjak ke depan rumah. Kini matanya celingukan mencari bambu untuk memasang bendera itu. Mulanya ia ingin memotong bambu di belakang rumah namun akhirnya ia urungkan. Ia lupa jika pohon bambunya telah dijual beberapa minggu lalu untuk tambahan biaya sekolah anak bungsunya.

Saat tidak tahu harus berbuat apa, ia ingat dengan sebilah bambu di belakang rumah. Nekat ia ambil bambu itu. Seperti dugaannya, sang istri protes keras saat sang suami menggunakan bambu itu untuk tiang bendera.

“Itu kan dipakai buat jemuran! Ngawur!” 

“Sudah, nanti tak carikan bambu lagi yang lebih bagus.”

Bendera sudah terpasang, ia melihat bagian depan rumahnya untuk mencari lokasi paling pas demi memasang bendera sesuai perintah Kepala Dusun pada malam sebelumnya. Tidak sampai 15 menit, bendera telah terpasang. Angin pagi mulai menggoyang dengan malas bendera yang tidak lagi se-merah putih seharusnya.

Satu tugas sudah usai. Sepertinya. Hingga, sang istri keluar rumah.

Pak’e, tanah itu kan sudah bukan punya kita, kan sudah diminta dusun buat pelebaran jalan!”

Lututnya lemas mendengar itu. Ia kembali mengingat bahwa halamannya yang tidak seberapa sudah terpotong selebar dua meter untuk pelebaran jalan kampung. Rasa jengkelnya menyeruak saat ingat bagaimana Kepala Dusun dengan enteng memintanya untuk mengikhlaskan.

Wong cuma dua meter kok, kan ini juga demi kemajuan bersama,” begitu ujarnya. Si Kepala Dusun tidak pernah tahu bahwa akibat pembangunan itu ia harus dipusingkan mencari tempat baru untuk menjemur gabah saat musim panen. 

Lebih sial lagi, saat pembangunan dimulai dua minggu lagi, warga sekitar proyek jalan juga diwajibkan menyediakan minuman dan kudapan bagi warga yang kerja bakti. Sudah kehilangan tanah dua meter, masih harus mengeluarkan uang untuk makani orang kerja bakti.

Pak’e, copot saja, daripada nanti dicopot Pak Dukuh saat lewat, itu sudah bukan tanah kita,” ulang sang istri.

Tiang bendera dari bambu jemuran itu akhirnya dilepas dan hanya disandarkan di sudut teras. Ia dan sang istri harus segera ke sawah untuk menyiangi rumput. Setidaknya, itu menjadi hiburan setelah ingatan soal tanah dua meter kembali hadir. Bahwa, keluarga kecilnya masih memiliki beberapa petak sawah yang jarang tersentuh hama tikus.

Yang ia dan sang istri tidak tahu, Kepala Dusun dan Lurah sudah menyepakati pembangunan sebuah kebun buah di dusun kecil itu. Beberapa sawah warga akan disewa, termasuk sawah milik si petani tadi. Nantinya, petani akan mendapatkan bagi hasil rutin setiap bulan dari pengembang.

“Jadi, petani tidak harus menunggu tiga bulan untuk dapat keuntungan,” demikian kata-kata pengembang. Hal itu dianggap jalan keluar bagi masalah kemiskinan oleh si Kepala Dusun yang seumur-umur belum pernah bekerja jadi petani. Janji lain yang ia ingat adalah soal hadiah pribadi dalam bentuk nominal uang dari si pengembang padanya.

Agustus sudah dimulai hari ini dan bendera merah putih di rumah seorang petani desa enggan berkibar sempurna. Di teras rumah, bendera sudah tidak punya daya untuk bergerak karena angin pagi pun enggan masuk ke teras.

Ruh bendera itu mungkin enggan berkibar sempurna. Bagaimana mungkin bendera yang melambangkan kejayaan bangsa dipasang di tanah yang pelepasannya terjadi dengan rasa terpaksa. Bagaimana mungkin pula bendera dwi warna suci tersimpan 12 bulan lamanya di tumpukan kaus berisi janji-janji kosong.

Agustus sudah dimulai dan bendera di rumah Kepala Dusun juga enggan berkibar sempurna. Tidak penting juga, toh baginya yang penting adalah proyek pembuatan kebun buah bisa dimulai secepatnya sebelum akhir bulan tiba.

Diam-diam, ia membayangkan mobil apa yang kelak akan ia beli setelah proyek itu selesai. Baginya, itulah sebenar-benarnya merdeka. Bendera yang enggan berkibar? Tidak apa, asalkan papan nama kebun buah bisa terpasang di salah satu sudut dusunnya.

Syaeful Cahyadi. Penulis dan pekerja sosial. Tinggal di Yogyakarta.

[red/af]

Exit mobile version